Kamis, 20 Juni 2013

CERITA BALI

Cerita Bali
oleh Gavrilla Gertruida/11140110298

Penumpang, koper, kabin, dan antrian menuju nomor kursi adalah gambaran suasana dalam pesawat terbang tujuan Bali. Saya bersama teman – teman larut dalam suasana riuh. Menjaga satu dengan yang lain tetap aman. Menanti detik –detik penerbangan.

Pesawat mulai diisi bahan bakar. Siap melakukan penerbangannya. Semua petugas pun memastikan kesiapan pesawat dan keselamatan penumpang. Memperingatkan hal yang tidak boleh dilakukan selama penerbangan.

Pilot dan co-pilot mengambil posisi. Pramugari mengarahkan para penumpang. Degup jantung semakin memacu seiring dengan cepatnya gerakan (instruksi keamanan) pramugari. Senang, khawatir, cemas, tidak sabar. Berlomba – lomba mengisi suasana hati.

“cabin crew, take off position” kata terakhir yang disampaikan oleh pilot dalam penerbangan. Pesawat menembus 34.000 kaki atau sekitar 11.000 meter. Berada diantara sekumpulan awan membentuk gerakan perjalanan tersendat sendat. Bak menaiki wahana roller coaster.

Tekanan udara semakin meningkat. Membuka mulut, membuat gerakan- -gerakan seolah menguap, menutup hidung dengan menjepitkan tangan dan menghembuskan nafas sekuat tenaga, adalah cara – cara untuk mengusir pengang yang datang menyerang.

Langit menggoreskan keindahan dengan warna seindah violet. Mataku berpaling. Menarik perhatianku untuk menikmati suguhan warna yang ada diluar. Sentuhan lembut warna di langit dipadukan dengan bentuk awan yang menawan, seolah menguji kemampuan berimajinasiku dan membuatku terbuai selama penerbangan.

 “Terima kasih telah terbang bersama Air Asia. Sampai jumpa pada penerbangan Air Asia selanjutnya.” Kalimat penutup dalam kebersamaan kami selama penerbangan 2 jam. Saya pun melakukan doa penutup setelah perjalanan.

Terik matahari dan hamparan orang asing (bule) menyambut kedatangan saya bersama teman – teman diiringi dengan taxi driver yang mengikuti dan menanti tumpangan dari kami. Hanya tatapan lelah yang kami balas. Dengan sisa tenaga yang kami miliki, salah satu langkah taxi driver menuntun kami dalam perjalanan menuju hotel.

“yuk masuk sini, tahun lalu gue pernah nginep di sini.” Ujar temanku memastikan. Sebagian dari kami menatap khawatir. Tempat penginapan tua, tidak terawat. Sudah menampakkan kerapuhan. Murah, biaya semalam hanya Rp 50.000,00 saja. Namun, harus punya nyali besar untuk menghabisi tiap malam di tempat tersebut.

Saya takut. Tidak suka tempat itu. Sungguh! Untuk mengakalinya, saya pun membuat segala aktivitas di siang hari. Dengan harapan, saya lelah di malam hari, dan tidak menghiraukan suasana mencekam di malam tersebut.

Pantai Sanur, Uluwatu, Ubud, dan beberapa tempat kami telusuri satu per satu. Terik tidak menurunkan semangat kami dalam indahnya tempat – tempat di Bali. Baju pantai dengan corak bunga, menggambarkan keindahaan jika di padu padan kan dengan suasana pantai.

Tatto, kepang rambut, surfing, paraseling adalah segalintir pemandangan yang dapat kami lihat di setiap pantai di Pulau Dewata. Hal yang paling asik untuk dilakukan pasti nya bermain dengan air. Paraseling, banana boot.

Aktivitas hari pertama, pergi mengunjungi Uluwatu. Ungu dan kuning menjadi pilihan yang baik. Warna yang kain yang digunakan. Upaya melindungi diri dari serangan monyet – monyet di tempat tersebut.
“Hati – hati, kacamata saya habis dicuri dan dipatahkan oleh monyet – monyet jahil itu.” Bisik turis kepada kami sambil menunjuk - nunjuk ke gerombolan monyet.

Gentar. Sontak kami merapatkan barisan. Memaksakan mendapat foto di dekat para monyet, diiringi dengan rasa gemetar. Dapat beberapa foto. Walau tidak sebagus yang kami harapkan, namun rasa takut kami terhadap mamalia berbulu abu –abu tersebut lebih besar.

Senja tidak lagi merah. Kini sudah berganti dengan gulita dengan kerlip bintang. Semangat kami belum hilang. Langkah kaki kami membawa kami menuju tugu bom Bali. Mataku tidak lepas memandang deretan tulisan di tugu tersebut. Besar, meninggalkan goresan nama yang menyisakan kepedihan yang mendalam. Takjub dan prihatin.

“cakk… cakkk… cakk… caakkk…” ucapan saat upacara tarian kecak di mulai. Panasnya api yang ada, menyalur dan membakar semangat kami untuk menikmati tarian tersebut. Kami hanya perlu mengganti uang untuk menyaksikan tarian tersebut. Hanya Rp 60.000,00 per orang. Rasanya setimpal dengan yang kami saksikan.

Tari kecak yang terdiri dari 20 – 50 orang menari secara seirama. Menghangatkan suasana malam. Ciri khas yang dimiliki oleh Bali. Tari kecak, upacara,

Namun, satu yang perlu kalian ingat, jangan pernah menginjak/menendang sesajen dengan sengaja. Dapat di temukan di tiap – tiap depan rumah, toko, dll. Menurut kepercayaan mereka, itu merupakan suatu keberuntungan yang akan mereka dapatkan di hari tersebut.

Kepercayaan di Bali, dengan meletakkan canang di depan toko maupun rumah mereka dianggap sebagai pembawa keberuntungan (hoki) dalam usaha maupun kesejahteraan hidupnya. Canang sendiri yang berarti bunga, dapat juga berisi permen (rarapan) dan nasi (segehan). Untuk mengusir bala, kerugian, dan semua hal – hal buruk.

Peletakkan canang ini di taruh di pagi hari. Kegiatan di pagi hari, yang tidak pernah di lupakan oleh orang Bali. Meski tidak semua penduduk Bali melakukan kegiatan tersebut. Canang ini hanyalah sebuah kepercayaan sebagian orang Bali.

Canang ini tidak boleh dengan sengaja kita injak, tendang, ataupun hal yang dilakukan  dengan sengaja. Karena dihormati adannya canang ini. canang ini dapat diganti saat sore hari atau tidak sama sekali.
Kain persegi panjang. Bermotif kotak – kotak dan berwarna hitam dan putih. Hampir di setiap per-empatan kami temukan. di pohon besar, gerbang pura, bahkan kain ini juga digunakan sebagai kain (jarig) penari kecak dan para pengawal/petugas keamanan tradisional (pelacang).

Selain digunakan untuk dililit di pohon-pohon maupun di gerbang pura, kain poleng ini dililitkan ke benda sakral dan profan. Di pura, kain poleng juga digunakan untuk tedung (payung), umbul-umbul, untuk menghias palinggih, patung, dan kul-kul.

Demikian pula dalam kesenian Bali, baik itu seni drama, dramatari, maupun pedalangan. Dalam drama gong, yang sering memakai kain pleng adalah penakawannya. Sedangkan dalam wayang kulit, tokoh yang memakai hiasan poleng, selain penakawan Tualen dan Merdah, juga tokoh penting seperti Hanoman, Bima. 

Kain poleng juga banyak digunakan untuk menghias benda-benda profan baik di perkantoran maupun di hotel. Misalnya untuk meja makan dan benda-benda lain yang ada di sana. Namun, kain poleng untuk benda profan ini sering dicampuri dengan corak atau motif baru sehingga disebut kain poleng anyar.

Kain Poleng Sudhamala dan Tridatu Saput poleng sudhamala merupakan cerminan rwabhineda yang diketengahi oleh perantara sebagai penyelaras perbedaan dalam rwabhineda. Sedangkan,  saput poleng sudhamala merupakan cerminan rwabhineda yang diketengahi oleh perantara sebagai penyelaras perbedaan dalam rwabhineda.

Kain Poleng Tridatu melambangkan ajaran Triguna yakni satwam, rajah, tamah. Warna putih identik dengan kesadaran atau kebijaksanaan (satwam), warna merah adalah energi atau gerak (rajah) dan warna hitam melambangkan penghambat (tamah).

Kain Poleng yang seakan-akan sudah menjadi busana seragam bagi pecalang (petugas keamanan desa adat) juga terilhami oleh konsep ini, dimana seorang yang dipercayai oleh warga untuk menjadi “pengaman” hendaknya mampu dengan tegas memilah yang benar dan buruk.


Diharapkan pecalang bercermin pada saput poleng yang dikenakan, yakni mengetahui adanya rwabhineda, keadaan aman dan kacau, baik maupun buruk, yang selanjutkan melalui kedewasaan intelektual dan kesigapannya (celang), dapat mengendalikan situasi sehingga ketertitaban Desa Pekraman dapat diwujudkan.

Rabu, 19 Juni 2013

Mengenal Paul Darminto dan Kiprahnya dalam Industri Media


Tugas Matakuliah Penulisan Feature 
(Heribertus Ratu 11140110300)

 “Mengelola media itu gampang-gampang susah di zaman sekarang. Jika berminat, prosesnya mudah, dan anda pun bisa memulainya sekarang. Tetapi yang sulit adalah bagaimana menjawab tuntutan pasar dan menghadapi persaingan antarmedia.” Kalimat itu diungkap oleh Paul Darminto.

Nama Paul Darminto tidak banyak dikenal oleh para pengguna media. Ia bukan seorang wartawan atau penulis buku. Ia bukan juga tokoh yang menjadi sorotan berita media massa. Akan tetapi di kalangan pengelola media, Paul Darminto bukanlah sosok yang asing. Paul, demikian sapaannya, sudah lama berkecimpung di dunia media.

Setelah menyelesaikan studi manajemen di University of Western Sydney pada 2001, Pria kelahiran Semarang dan bapak dari dua anak ini bergabung dengan Grup Kompas Gramedia dengan menduduki posisi Licensing Manager di Kelompok Majalah Kompas Gramedia. 
Ia mengakui, Grup Kompas Gramedia memang telah berkembang menjadi salah satu industri media raksasa di Indonesia.“Kompas Gramedia memiliki manajemen yang sudah mapan dan didukung oleh sumber daya yang bagus,” ungkap Paul saat diwawancari penulis di sela-sela kesibukan kantornya yang terletak di Ruko Virgin Islands NB002 De Latinos BSD Tangerang pada Jumat (7/6).

Bekerja selama hampir sepuluh tahun di Kompas menambahkan segudang pengalaman bagi Paul untuk memulai usaha sendiri pada bidang yang sama. Oktober 2009, Paul memilih untuk keluar dari Grup Kompas Gramedia. Ia lalu merintis usaha penerbitan sendiri dengan label International Media Licensing (IML) Indonesia.

Untuk mendukung penerbitan itu, Paul mendirikan CV Media Center dan percetakan M33 pada 2012. Pendirian percetakan ini didasari oleh pertimbangan bisnis juga. Menurut Paul, memiliki percetakan sendiri lebih menguntungkan daripada menyewa percetakan lain untuk penerbitan majalah.



Produk-Produk International Media Licensing

Sejak didirikan pada 2009, International Media Licensing (ILM) menangani penerbitan beberapa majalah cetak. Majalah-majalah yang sedang beredar adalah J-POP Culture, AIRLINER World Indonesia,  KOREA DRAMA, dan SUPERKIDS. Selain majalah, ILM menerbitkan Military Series Books.

Dari namanya, kelihatan jelas bahwa majalah-majalah bulanan tersebut membahas tema-tema khusus dan menargetkan konsumen-konsumen tertentu. Kesan yang sama terlintas dalam pikiran penulis saat melihat dan membuka halaman-halamannya. Mereka yang tidak berminat pada tema yang disajikan mungkin akan beralih melihat majalah lain. Sebaliknya mereka berminat pasti langsung terpikat.

Majalah memang mempunyai tradisi penampilan yang berbeda dari surat Kabar. Kalau suratkabar memuat berita-berita apa saja,  majalah dituntut lebih fokus untuk menjangkau khalayak atau target audiens tertentu. “Majalah tampil dengan strategi segmentasi, mengupayakan kemasan yang eye cathing, permainan warna, desain, dan kualitas kertas sebagai selling point,” kata Iwan Awaluddin Yusuf pada blog pribadinya (http://bincangmedia.wordpress.com). Iwan Awaluddin adalah seorang Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA) Yogyakarta.

ILM menawarkan produk-produk mereka ke publik tidak hanya karena mengikuti tradisi konvensional penerbitan majalah. Paul menambahkan satu pertimbangan. Menurut Paul, pola konsumsi media masyarakat sekarang sudah berubah. Masyarakat tidak hanya aktif mengonsumsi media. Mereka juga bisa memilih media yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka.

“Kami mengikuti trend yang berkembang. Beberapa tahun terakhir, kalangan remaja dan juga orang-orang dewasa menggandrungi budaya-budaya populer Korea dan Jepang. Kami pun menerbitkan majalah yang sesuai. Kami pernah menerbitkan majalah Korean Enternainment. Akan tetapi karena animo masyarakat terhadap topik-topik majalah itu kurang tinggi, kami menghentikan penerbitannya,” jelas Paul dengan mengambil contoh dari fenomena yang melatari penerbitan J-POP Culture, dan Korea Drama.

Dengan latarbelakang itu, ILM meluncurkan produk-produk mereka ke pasar. J-POP Culture menyajikan informasi dan topik pembahasan tentang pop culture, entertainment dan lifestyle yang berasal dari Jepang. Majalah ini membahas secara tuntas, mulai dari anime, tokusatsu, musik, film, dan berbagai hiburan lainnya.

Korea Drama mengemas informasi seputar drama-drama Korea yang sedang populer. Majalah yang sudah terbit beberapa edisi ini secara membahas sinopsis dan behind the scene dari drama-drama Korea. Tidak ketinggalan gosip-gosip hot tentang aktor dan aktris Korea, lengkap dengan poster-pospter mereka disertakan dalam majalah.

AIRLINER World Indonesia merupakan versi Indonesia dari majalah AIRLNINER World yang diterbitkan oleh Key Pubishing LTD di Inggris. Isinya aneka informasi mengenai dunia penerbangan, baik lokal maupun internasional. Selain itu, ada juga profil selebriti, hotel, tempat wisata, dan lain-lain.

Versi Indonesia majalah ini mempunyai sejarah yang cukup menarik. Awalnya diterbitkan oleh Ganesha pada tahun 2010. Namun Ganesha hanya mengorbitkannya selama satu tahun. Airliner World Indonesia lalu diterbitkan lagi oleh Kartini Group. Akhirnya, sejak awal 2013, ILM mengakuisisi majalah ini dari kartini.  Di bawah ILM, Airliner World Indonesia edisi lima sudah terbit pada Mei lalu dengan Konten yang bervariasi yaitu 80% konten internasional 20 % konten lokal.

ILM menerbitkan majalah SUPERKIDS secara khusus untuk anak-anak. Rubrik-rubrik di dalamnya lebih edukatif. Cerita-cerita dan informasi disesuaikan dengan selara anak-anak. Hampir setiap halaman dihiasi dengan foto-foto dan gambar yang menarik.



Pilihan pada media Cetak

Sejalan dengan perkembangan internet, dewasa ini sedang berkembang apa yang disebut media digital. Format digital, seperti PDF, memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan majalah cetak. Dengan format digital, industri media tidak lagi membutuhkan biaya percetakan yang mahal. Pengguna media tidak perlu menunggu berjam-jam, bahkan berhari-hari, untuk mendapatkan majalah atau surat kabar langganan mereka karena distribusi yang membutuhkan waktu lama. Sekali diterbitkan, konsumen dapat menikmati informasi yang dibutuhkan dalam sekecap mata. Pengguna juga tidak perlu repot-repot membuka lembaran – lembaran majalah dan koran yang umumnya lebar dan berat.

Kelebihan-kelebihan media digital itu telah membawa kegelisahan pada sejumlah media konvensional. Sejumlah industri media dewasa ini mulai menerbitkan tulisan-tulisan dalam format digital di samping versi cetak yang biasa. Bahkan beberapa industri media raksasa dunia telah meninggalkan penerbitan majalah cetak dan beralih sepenuhnya ke versi digital. Contohnya adalah News Week, yang setelah bertahun-tahun diedarkan ke berbagai penjuru dunia, penerbitan versi cetaknya dihentikan pada 2012 silam.

Tidak demikian halnya dengan ILM. Sejauh ini ILM masih tetap bertahan pada penerbitan majalah dalam bentuk cetak. Menurut Paul, pilihan untuk tetap pada penerbitan media cetak memiliki sejumlah alasan. Alasan pertama adalah konsumen media di Indonesia belum banyak yang berminat dengan media digital. Hasil pantauannya menunjukkan fenomena ini.

“Dulunya kita gelisah juga dengan perkembangan media digital, tetapi saya mengamati di lapangan, masyarakat kita masih lebih suka membeli majalah dan koran cetak di lapak-lapak atau toko majalah. Mungkin negara kita masuk area pengecualian dari perkembangan media digital,” ungkapnya.

Alasan kedua, menurut Paul, media digital sangat rentan akan pembajakan.

“Masyarakat Indonesia itu sangat kreatif dalam bidang komputer, termasuk dalam mengopy ataupun menjual produk-produk digital secara ilegal. Kami memilih jalan paling aman dengan tetap memproduksi majalah cetakan,” kata Paul.

Pemikiran Paul tidak salah. Negara Indonesia memang masih dihantui oleh maraknya aksi pembajakan. Tidak heran jika Amerika -  sebagaimana diberitakan Vivanews.com pada Selasa, 1 Mei 2012 - turut prihatin dan menggolongkan Indonesia dalam daftar negara sangat bermasalah dalam pelanggaran hak cipta atau kekayaan intelektual.

Pilihan untuk setia pada penerbitan majalah cetak tidak berarti ILM sama sekali mengabaikan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh perkembangan teknologi komunikasi digital. Internet memudahkan komunikasi di antara redaksi dan sumber-sumber tulisan. Paul menceritakan kontent pada majalah mereka bersumber dari majalah versi internasional. Untuk itu mereka bekerjasama dengan penerjemah di luar perusahan mereka. Selain itu, sumber-sumber tulisan lainnya adalah para penulis dan fotografer lepas. Fasilitas internet digunakan untuk memperlancar komunikasi dengan sumber-sumber tersebut.

Halaman website (www.licensing-media.com) dan media jejaring sosial (facebook dan twitter) memberikan dukungan yang cukup signifikan bagi kelancaran bisnis media ini. Penulis sendiri menemukan sejumlah aktivitas menarik saat memasuki akun-akun tersebut. Fasilitas internet tidak hanya menjadi tempat promosi tetapi juga saluran komunikasi dengan para agen dan pelanggan setia. Media komunikasi digital itu mempertemukan sejumlah orang dengan minat sama dan memfasilitasi diskusi yang seru terkait topik pemberitaan majalah terbitan ILM. Selain itu, sejumlah permintaan (request), anjuran, dan kritikan untuk redaksi juga terlihat pada komentar-komentar di jejaring sosial.

Salah satu manfaat yang paling besar pengaruhnya bagi industri media adalah pengurangan jumlah karyawan. Dulu, industri media membutuhkan banyak karyawan, mulai dari para wartawan, redaksi, layout, keuangan, sampai distribusi dan pemasaran. Dengan adanya internet, proses penerbitan setiap edisi majalah hanya membutuhkan beberapa karyawan. Dan ini mengurangi sebagian besar biaya produksi.

“Kami banyak memakai tenaga lepas untuk mendapatkan tulisan berita, artikel, dan foto-foto. Koordinasinya berjalan lancar dengan melalui komunikasi internet. Untuk penerbitan satu majalah, kami hanya membutuhkan beberapa karyawan tetap; seorang editor, penata letak, dan bagian sirkulasi” jelas Paul.



Menghadapi Persaingan di antara industri media

Hal yang paling menarik dari cerita Paul Darminto tentang kiprahnya di industri media adalah bagaimana menyiasati persaingan antarmedia.  Dia katakan, “Mengelola media itu gampang-gampang susah di zaman sekarang. Jika berminat, prosesnya mudah, dan anda pun bisa memulainya sekarang. Tetapi yang sulit adalah bagaimana menjawab tuntutan pasar dan mengahadapi persaingan antarmedia.”

Sebagai sebuah penerbit yang baru dan kecil, PT International Licensing Media menghadapi tantangan persaingan ketat di antara industri media. Paul mengakui bahwa beberapa industri media di Indonesia, seperti Kompas Gramedia dan Media Indonesia, terbilang raksasa. Perusahan-perusahan media itu memiliki sumber daya yang kuat. Mereka juga telah menguasai sebagian besar konsumen media.

Sementara itu, pada era reformasi, sejak kejatuhan Soeharto, perusahan-perusahan media baru terus bermunculan. Hal ini terjadi karena proses pendirian sebuah penerbit tidak lagi serumit pada era Soeharto. Demikian pula pengawasan terhadap kontent, para awak media mengalami kebebasan untuk berkarya tanpa harus takut dibredel karena dianggap mengkritik pemerintah.

Persaingan menjadi semakin ketat ketika sejumlah media menawarkan tema yang sama. Bayangkan saja kalau seseorang berdagang di pasar, menjual produk-produk yang sama dengan pedagang-pedangan di sebelah kiri dan kanannya. Seperti tulah yang terjadi saat majalah-majalah terbitan ILM ada di antara majalah-majalah lain yang berisikan tema yang sama. Majalah AIRLINER World Indonesia, contohnya, bukanlah satu-satunya majalah tentang penerbangan. Majalah Angkasa dari penerbit lain juga membahas hal yang sama. Demikian pula SUPERKIDS. Majalah anak-anak ini berada di antara majalah Bobo yang usianya jauh lebih tua.

Menghadapi persaingan antarmedia, Paul menceritakan beberapa strateginya. “Kalau pun tema sama, kita harus tetap tampil beda,” katanya. Bagi Paul, kreativitas sangat penting baik dalam pengolahan kontent maupun strategi pemasaran.

Kreativitas dalam pengolahan kontent terlihat jelas dalam fokus yang khas pada majalah-majalah ILM. AIRLINER World Indonesia mengupas topik-topik seputar perkembangan terbaru dan gaya hidup dalam dunia penerbangan sipil. Dengan itu ia tampil beda dengan majalah lain yang lebih menyoroti penerbangan militer.

Untuk menjangkau para pembaca, ILM menerapkan berbagai strategi penjualan. Sebagian produk mereka dititipkan di toko-toko buku, seperti Gramedia, dan lapak-lapak penjualan koran dan majalah. Bagian pemasaran ILM juga melayani pengiriman langsung bagi mereka yang berlangganan. Belakangan, ILM bekerja sama dengan Indomaret untuk distribusi dan penjualan majalah, sebuah langkah baru yang belum banyak dilakukan perusahaan media lainnya.

Akhir kata, Paul Darminto boleh dikatakan sebagai seorang pengelola media yang ulung. Sepak terjangnya dalam industri media menyingkapkan apa yang terjadi di balik halaman-halaman majalah yang dibaca. Liku-liku perjalanannya menghadapi persaingan industri media kiranya memberikan gambaran bagi setiap pembaca tentang arti sebuah perjuangan untuk meraih kesuksesan.

Dua, Sumber Penghubung

doc. Albert Brando 2013



1 Juni 2013
Tiga bocah berseragam batik bergelantungan pada seutas tali tambang yang mulai getas. Tali yang tebalnya tak lebih dari lima sentimeter itu diayun oleh tangan-tangan kecil. Dengan lincah, naik-turun beratraksi layaknya tokoh George dalam film populer kegemaran anak-anak di tahun 1999, Tarzan. Berayun dari pohon satu ke pohon lain, sama persis seperti yang dilakukan tiga bocah ini, marayap pada seutas tali yang menghitam.
Bahaya adalah tantangan yang wajib dihadapi oleh anak-anak pondok pesantren Bojong Asem. Saban hari jembatan yang telah usang ini digunakan sebagai arena bermain. Tak sedikit bocah yang membuka bajunya sambil tergesa-gesa melompat dari atas dengan gaya atlit loncat indah. Meskipun di bawahnya terdapat batu-batu kali yang ukurannya cukup besar dan kedalaman kali tersebut yang kurang lebih 1,5 meter.
 Tali tersebut adalah sebuah penghubung antara desa Bojong Asem dengan desa Kalang Anyar, Rangkas Bitung, Banten. Tak heran bila sekumpulan serat bambu tersebut sudah getas dan menghitam, sejak tahun 1980 warga setempat sudah menggunakan jembatan sepanjang 80 meter ini sebagai jalan pintas sehari-hari. Memang jembatan ini bukan akses satu-satunya, tetapi bila warga melewati jalur darat mereka harus menempuh jarak tujuh kilometer. Tentunya memakan waktu lebih lama dan melelahkan. 

Kisah Dibalik 30 tahun lalu
“Hati-hati neng, licin!” seru pak Affan mengingatkan saya.
Pria ini mengajak saya pada sebuah jalan menuju desa tetangga. Jalannya belum beraspal, tetapi sudah berkerikil, sepertinya pemerintah setempat sudah pernah mengadakan perbaikan jalan untuk desa ini. Sisanya sepanjang jalan ini dihiasi penuh oleh rumput liar, pepohonan, dan  binatang-binatang kecil yang menggeliat muncul dari celah tanah. Beruntung hari belum petang, sehingga tidak terlalu sulit bagi kami untuk berjalan.  
 “ini lihat aja jalan masih begini, lampu nggak ada, ya apalagi jembatan, neng.” ucapnya meninggalkan desah.
Sisa kenangan tiga puluh tahun lalu bersama jembatan rakit masih jelas tergambar di atas kening pria setengah abad yang mengabdikan dirinya demi sebuah fasilitas desa. Sesekali dahinya mengerutkan tiga garis lengkung ketika menyebut fasilitas apa saja yang belum terpenuhi.
Tepat di hadapan saya, kurang lebih lima langkah lagi terdapat sebuah jembatan. Ya, kembali saya temui jembatan yang kondisinya tidak kalah parah dengan jembatan yang digelantungi anak-anak pondok pesantren sebrang. Maklum, desa ini masih di atas naungan sungai dan dikelilingi oleh jurang. Jembatan sepanjang 50 meter ini merupakan satu-satunya akses terdekat menuju Desa Awe. Anak-anak sekolah, para petani, dan penggembala biasa melewati jembatan ini menuju lokasi. Tak berbeda jauh dengan jembatan rakit bojong asem, jembatan ini juga terbilang berbahaya. Materialnya hanya terdiri dari bambu dan tali tamban imitasi berwarna biru. 
“Ya kurang lebih di tahun 80-an, jembatan itu sudah ada dan aktif digunakan oleh warga.” Tutur Affan Effendy, pria yang menjawab seua rasa penasaran saya tentang jembatan.
Affan Effendy mengaku menjadi saksi usia jembatan itu  semenjak dirinya membangun bahtera rumah tangga dengan Iin di tahun 1987. Tak heran bila jembatan ini sederhana adanya, warga secara inisiatif membangun dan merawatnya secara mandiri selama 33 tahun. Tidak ada campur tangan pemerintah daerah saat pembangunan awal, hanya sesekali pemerintah memberikan tunjangan tak lebih dari satu juta rupiah untuk perbaikan tahunan. 
“Ini murni aset warga, neng. Pemerintah mana ada ikut bangun. Ya, dulu pernah sekali kasih tunjangan, sejuta. Itu udah lama waktu banjir bandang, tepatnya tahun berapa lupa. Mungkin 2004.” tutur Affan Effendy selaku ketua RT Desa Bojong Asem.
Melihat kondisi jembatan yang sudah usang Affan berkata bahwa tidak sedikit usaha yang dilakukan oleh warga untuk terus membangun jembatan permanen. Ya, sesederhana bahan material yang digunakan untuk membangun jembatan rakit. Tali tambang setebal lima sentimeter itu digunakan sebagai pengait badan jembatan. Pengait  yang berfungsi sebagai fondasi utama jembatan pun diragukan kekuatannya. Sebagai alas berpijak, warga menggunakan kayu-kayu sisa bangunan atau kayu yang ditemukan di hutan. Ukuran kayu yang tidak sama menghasilkan alas yang tidak rata dan bercelah. Selanjutnya, kayu-kayu tersebut hanya dijajarkan tanpa dibaut menjadi satu dengan badan jembatan, sehingga sering kali kayu-kayu tersebut bergejolak dan berserakan bila dipijak, terlebih lagi bila dilewati oleh kendaraan bermotor. 
“Tidak kurang-kurang. Banjir bandang datang tiap tahun, dan pasti hanyut jembatan kami. Jadi rasanya seperti sia-sia kalau diperbaiki terus-menerus.” Keluhnya mengenang kisah merawat jembatan rakit bojong asem.
Suka dan duka merawat jembatan turut dirasakan oleh Ayah dari seorang anak ini. Katanya, setiap tahun banjir bandang datang dan menyapu jembatan rakit desa tercinta. Kemudian jembatan yang memang diragukan kekuatannya itu hanyut bersama air kali yang meluap tak diharapkan.
30 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mengajukan sebuah permohonan. Berpuluh-puluh tahun tidaklah sebentar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Affan pun mengaku sudah puluhan proposal diajukan hanya untuk mewujudkan satu jembatan impian. Jembatan yang diidam-idamkan warga setempat selama ini.
“Saya memang baru satu tahun jadi ketua RT disini. Tapi, saya sudah ikut andil dalam pembangunan dari dulu. Ya ikut komunitas pemuda, dan lain sebagainya. Kita-kita ini mengajukan proposal terus-menerus, dan Alhamdulillah akhirnya di tahun 2012 dibangun jembatan permanen.” Hassan Effendy.
Berbagai usaha sudah dilakukan. Penggalangan dana mandiri oleh warga ternyata tidak mencukupi biaya perawatan jembatan yang sederhana itu. Satu-satunya hanyalah bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki jembatan tersebut menjadi permanen. Berpuluh-puluh proposal, berkali-kali diskusi warga digelar, sering kali terdapat visit oleh pemerintah daerah. Namun, semua itu hanyalah harapan. 
“Per kepala keluarga setiap bulan ditarikin 5000 rupiah.” ujarnya 
Ketika usaha berbanding terbalik dengan ekspektasi yaitu ketika pemerintah hanya melegakan masyarakat dengan jawaban iya dan harapan-harapan yang dibuihkan melalui janji. Janji pembangunan infrastruktur teratur untuk masyarakat makmur. Dimulai dari jalan, transportasi, dan jembatan yang diharapkan selama ini.
“Kalau boleh jujur, bapak ini sampai capek, neng….” Tukasnya diakhiri dengan tawa ringan. 

Perjuangan 33 Tahun Terbayar
Ada upah yang harus dibayar untuk kesabaran yang diberikan oleh warga Bojong Asem dan sekitarnya selama kurang lebih 33 tahun. Akhirnya di tahun 2012 pun pemerintah mendirikan sebuah jembatan permanen untuk menggantikan jembatan rakit Bojong Asem.
Jembatan itu sangatlah megah dan kokoh. Fondasinya tak perlu diragukan lagi karena dirancang oleh seorang insiyur pemerintah. Rangka yang digunakan pun merupakan baja, bukanlah lagi kayu yang disusun menggunakan perasaan. Jembatan ini 100 kali lipat dijamin lebih kuat dan aman dibandingkan dengan jembatan rakit.
Kini warga dengan bebas dan tanpa was-was melewati jembatan permanen ini setiap hari. Mulai dari pejalan kaki, kendaraan beroda dua-tiga seperti pedagang jajanan anak-anak. Semua kalangan bisa menggunakan fasilitas ini.
“Perjuangan selama lebih dari 30 tahun akhirnya terbayar di tahun 2012. Jembatan yang kami idamkan dibangun juga.” 
Dua jembatan menghubungkan empat desa secara langsung. Dua jembatan sebagai penyalur penghidupan. Dua jembatan sebagai kaki warga yang efisien. Dan dua jembatan yang kebanggan warga. 
“Masih ada satu jembatan yang tadi, neng. Masih ada jalan yang belum di-lus (diaspal), dan masih gelap sekali neng kalau malam.” tukas Affan Effendy menutup perbincangan petang itu.
Mungkin dua puluh tahun lagi, pak.



oleh Sekar Rarasati
11140110068

‘Dibalik Kekurangan ada Kelebihan’ dari sosok Sutrisno


 Kekurangan ada Kelebihan’ dari sosok Sutrisno



Ia memulai hidup barunya dengan menyadari bahwa organ tubuh yang dimilikinya kini berkurang. Sosoknya sebagai seorang Suami juga seorang Ayah ini dikenal memiliki semangat yang tidak biasa, lengkungan di bibirnya yang selalu hinggap itu juga membuat Ia selalu ceria dimata semua orang disekitarnya.

Oleh Mira Elsya Nadia/11140110297

Sang fajar di siang itu seolah sedang berada di puncaknya. Memberikan sinar sempurna yang terasa menembus tubuh. Membuat tetes demi tetes keringat tanpa terasa telah jatuh di sekitar pelipis mata. Jam pun tertawa karna mataku slalu tertuju padanya yang sedang setia menunggu. Di sebuah kursi kayu panjang Aku menyandarkan badanku, di depan sebuah Toko Sepatu yang terletak di Tiga Raksa.

Tak lama kemudian Aku melihat sosok yang Aku tunggu. Ia datang dengan memiliki ciri khas alis tebal, muka yang bulat dan senyum lebarnya yang selalu menghiasi wajahnya. Terlihat Ia mengendarai sebuah sepeda motornya kesayangannya yang berwarna biru. Rasa haru yang mendalam, bahwa ini adalah kegiatan sehari-hari nya yang biasa Ia lakukan.

‘Saya memang tidak sempurna, tapi saya masih mempunyai semangat yang sempurna,’ kata Pak Sutrisno.

Pak Sutrisno adalah seseorang yang bekerja sebagai penjaga serta pelayan dari sebuah Toko sepatu kecil, dengan keadaan beliau yang sudah kehilangan salah satu organ tubuh dimana orang-orang yang berdatangan ke tokonya untuk bisa membeli sepatu dan memakainya, yaitu kaki. Ia memiliki 1 orang istri, serta 3 orang anak, 2 laki-laki dan 1 perempuan, anak pertamanya kini sudah berkeluarga, anak keduanya juga sudah bekerja, dan yang ketiga masih duduk di bangku kelas 3 SD. Kecelakaan yang terjadi 7  tahun silam telah membuatnya harus mengikhlaskan salah satu kaki yang selama ini telah banyak membantunya untuk bekerja mencari nafkah, yaitu kaki kanannya, posisi kecelakaan itu terjadi pada saat anak-anaknya pun masih memerlukan banyak biaya untuk menyelesaikan sekolahnya.

Dimana perekonomian pada tahun tersebut masih maraknya antusias banyak orang untuk dapat bekerja keras dalam pekerjaannya demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Uang sepuluh ribu rupiah pun masih cukup besar untuk dimiliki dan dapat membeli sesuatu dengan harga yang masih cukup murah, jauh jika dibandingkan perekonomian sekarang yang makin meningkat mengikuti perkembangan zaman. Dimana orang yang tidak bekerja keras akan terasa kesusahan pada hidupnya di kemudian hari, karena perkembangan zaman yang semakin meningkat.

Sebelum kecelakaan itu terjadi, Pak Sutrisno masih seperti orang-orang biasanya yang normal dan masih mampu bekerja proyek di PT Iron Wire Works Indonesia (1WWI) yang terletak di Jl. Daan Mogot Km. 18,  Batu Ceper, Tangerang. Ia bekerja selama 6 tahun. Bekerja pun masih menggunakan motornya. Namun, ketika kecelakaan itu telah menimpanya, Ia tidak berputus asa untuk tetap menyetir motor kembali.





        

Kecelakaan yang menimpanya di awali oleh firasatnya yang tidak enak. Namun, apa boleh buat jika hari itu benar sesuatu musibah terjadi pada dirinya.

‘Saat itu posisi Saya sedang di perjalanan pulang dari rumah orang tua karena emang sengaja mau mengunjungi rumah orang tua bersama istri dan anak-anak. Pada saat itu Saya harus pulang karena ada urusan, posisi sendiri karena keluarga masih berada disana, perasaan emang udah ga enak, istri juga meminta jangan hari ini keesokan hari saja pulangnya, tetapi Saya tidak mengikuti mungkin ini hanya perasaan biasa saja,’ tutur Pak Sutrisno

Rasa sesal yang dimiliki Pak Sutrisno pun sudah menjadi bubur. Ternyata benar adanya akan perasaan yang tidak enak yang dimilikinya itu menyebabkan kecelakaan yang menimpa dirinya, tapi beliau juga berpegang teguh pada kekuasaan takdir, tidak ada yang bisa melawan takdir yang telah ditentukan Tuhan.

‘Hingga Saya ingat pada saat posisi Saya masih di motor dan akan melewati tikungan, ada sebuah bis besar di arah yang berlawanan yang menabrak Saya, dan tepatnya lebih kena ke bagian kanan tubuh Saya, dari situ Saya udah gak sadar lagi dan akhirnya dibawa ke rumah saki,’ cerita Pak Sutrisno

‘Pas sadar ternyata udah dirumah sakit, keluarga juga udah ada disana dan mengetahui bahwa kaki ternyata tinggal satu karena diamputasi,’ kata Pak Sutrisno dengan penuh keharuan.

Keharuan menyelimuti suasana pada saat Ia menceritakan kejadian itu, embun-embun yang hinggap di matanya seolah membasahi luka lama yang telah kering. Namun, berbagai motivasi datang silih berganti, membuatnya lebih kuat meenghadapi semua trauma yang dirasakannya.

‘Saya tentunya sempat down setelah kecelakaan, sempat berdiam lama dirumah ah udah deh sedih banget kalo diingat, jadi ingat dosa, ingat masa lalu tapi kalo inget keluarga, ada istri, anak-anak dan orang-orang sekitar suka sedih, udah takdirnya jadi lebih semangat ingat mereka, cuma buat keluarga, Alhamdulillah masih diberi kesempatan hidup’ kata seorang bapak yang memiliki 3 anak bersaudara ini.

Sedikit demi sedikit, Ia belajar mengikhlaskan kelanjutan hidup bersama keluarga untuk kedepannya, dengan menyadari bahwa Ia sudah tidak bisa bekerja di tempat yang lama, karena pada 2006 itu Ia sudah dikeluarkan dengan terhormat karena pekerjaannya yang cukup baik selama Ia bekerja. Namun, rezeki tidak akan kemana jika terus berdoa dan berusaha. 


Sehingga Ia pun ditawarkan untuk bekerja di salah satu Toko sepatu kecil milik tetangganya, bekerja sebagai pelayan sekaligus penjaga Toko tersebut.

Terlihat Ia membawa sebuah sepeda motornya sendiri menuju Toko tersebut untuk bisa bekerja, dengan perjalanan yang tidak terlalu jauh Ia juga menempuhnya dengan senang hati. Rasa haru yang mendalam, bahwa itu adalah kegiatan sehari-hari nya yang biasa Ia lakukan. Menyetir sepeda motor dengan tangan yang membawa sebuah tongkat dan hanya satu kaki. Serta sebelum berangkat ke Toko biasanya beliau harus mengantarkan anak perempuan bungsunya ke Sekolah.

Di sisi lain pekerjaan rutin yang selalu Ia kerjakan setibanya Ia di Toko sepatu yaitu, bersiap untuk bekerja dan membuka Tokonya sendiri. Sulit.. terlihat sangat kesulitan dan tidak tega melihatnya harus jongkok dan berdiri berulang ulang, serta harus menggantung-gantung sepatu ke paku-paku yang ada di luar, pada saat ingin dibantu pun beliau hanya bilang

‘Udah gak apa-apa neng bapak mah udah biasa kaya gini setiap hari, naik motor menuju kesini juga awalnya karena belajar lagi, nyoba-nyoba biar gak nyusahin orang buat nganterin, akhirnya bisa karena terbiasa hehehe,’ Ujar Pak Sutrisno dengan senyuman yang meyakinkan dan membuat orang disektiranya beranggapan bahwa Ia baik-baik saja.

 



Sangat menginspirasi dimana biasanya orang-orang di luar sana yang masih memiliki organ tubuh lengkap, terkadang kalah sama kemalasan yang datang, mereka seharusnya belajar bahwa tidak semua orang dapat dengan mudah untuk menikmati sesuap nasi di setiap harinya.

‘Awalnya Saya cukup kesulitan untuk menaruh sepatu dan menggantungnya harus bolak-balik menggunakan tongkat, kadang kalau jaraknya dekat saya jingke dengan menggunakan satu kaki ini dan memegang tembok, tapi setelah dijalani Saya bisa menikmati nya, jadi lebih terbiasa, ada orang baik yang menolong Saya dan mempersilahkan untuk kerja disini saja Saya sudah sangat bersyukur, jadi senang hati aja supaya gampang ngejalaninnya’ kata Pak Sutrisno yag mempunyai hobi menyanyi dan dikenal humoris oleh orang-orang disekitarnya.

Inilah hidup dibalik ketidaksempurnaan yang dimiliki seseorang, disana ada kelebihan yang diberi lebih oleh Tuhan, yaitu semangat lebih yang dimiliki Pak Sutrisno. Kita juga bisa melihat tentunya para atlet-atlet di luar sana yang hanya memiliki satu kaki, mereka mampu meraih juara Internasional, baik dari lari menggunakan besi yang menyerupai kaki, ataupun kursi roda khusus untuk berlomba dan banyak lagi kelebihan yang bisa mereka tonjolkan dibalik kekurangannya.


Pak Sutrisno juga memiliki istri yang cantik dan sabar. Beliau juga dengan setianya merawat Pak Sutrisno dari sehat sampai Pak Sutrisno kecelakaan. Dari kesetiaannya itu juga beliau menumbuhkan semangat untuk memotivasi suaminya. Pak Sutrisno juga memiliki usaha kecil-kecilan di rumahnya yaitu dengan memiliki warung untuk berdagang jajanan anak, sayuran serta  bumbu-bumbu untuk memasak. Mereka berdua mencari rezeki  demi anak bungsunya yang masih SD, karena mereka juga tidak ingin terus menyusahkan anak pertama dan keduanya.

‘Iya Alhamdulillah lumayan dengan berdagang dapat rezeki tambahan buat jajan-jajan sama anak, setiap harinya tetangga yang udah terbiasa belanja disini juga pasti dateng buat beli-beli keperluan masak, dan anak-anak kecil juga pada jajan cemilan disini,’ kata Istri Pak Sutrisno sambil tersenyum.

Istri Pak Sutrisno terlihat sangat bersemangat. Ia perempuan yang bisa mengatasi sesuatu dengan belajar ikhlas dan mengambil hikmah dari setiap kejadian. Sedih pun terasa saat mengetahui suaminya tidak memiliki salah satu kakinya lagi, tetapi Ia harus lebih kuat untuk suaminya, agar suasana tidak terus sedih dan hidup pun tetap terus berlanjut.

‘Saya percaya dari setiap kejadian pasti ada hikmahnya, kejadian ini bukan hanya menimpa untuk suami Saya sendiri. Namun, untuk keluarga juga. Kita sama-sama shock awalnya, tapi lama kelamaan dapat menerima kenyataan bahwa semuanya hanya titipan Tuhan, termasuk kaki kanan suami Saya dan pekerjaan yang dimiliki beliau sebelumnya. Suami Saya orang yang hebat, tidak kenal putus asa, Ia memang sempat down, tapi Ia tidak membiarkan itu merusak hidupnya, Ia belajar dari ketegaran. Hingga akhirnya Ia bisa beraktivitas kembali seperti waktu Ia sehat dulu,’ tutur Istri Pak Sutrisno sambil bercerita.

Terlihat kekuatan itu telah melekat di istrinya. Seperti pepatah yang mengatakan bahwa ‘Kebahagiaan itu Sederhana’ apapun yang terjadi di dalam hidup adalah skenario yang Tuhan berikan untuk kita. Keluarga Pak Sutrisno juga sangat mensyukuri semuanya, keluarganya terasa lebih erat dengan menerima semua keadaan yang jatuh bangun ini. Dari segala hal tidak ada alasan untuk tidak bahagia. Karena kebahagiaan kita sendiri yang memiliki dengan cara selalu bersyukur dengan apa yang masih kita miliki. Kita lah yang menciptakan kebahagiaan.

Toko Sepatu yang menjadi tempat bekerja Pak Sutrisno itu juga cukup laku dibeli oleh konsumen. Mereka yang berdatangan awalnya hanya mampir dan ternyata menemukan beberapa yang cocok, karena di Toko tersebut tidak hanya terjual sepatu untuk orang dewasa, tetapi anak-anak juga ada, beserta sandal-sandal lainnya.

Dengan keramahan dan humoris yang dimiliki Pak Sutrisno kepada setiap konsumennya, tidak membuat semua orang merasa iba dan kasihan padanya, justru membuat mereka melihat beliau itu sama dengan kita semua. Tidak ada yang berbeda darinya walaupun dengan hanya memilki satu kaki. Sehingga para konsumen juga mengenal dekat Pak Sutrisno di setiap kali mereka datang ke tokonya. Inilah sebuah ketidaksempurnaan yang sangat menginspirasi, bahwa dibalik kekurangan pasti ada kelebihannya.