Cerita Bali
oleh Gavrilla Gertruida/11140110298
Penumpang, koper, kabin, dan antrian menuju
nomor kursi adalah gambaran suasana dalam pesawat terbang tujuan Bali. Saya
bersama teman – teman larut dalam suasana riuh. Menjaga satu dengan yang lain
tetap aman. Menanti detik –detik penerbangan.
Pesawat
mulai diisi bahan bakar. Siap melakukan penerbangannya. Semua petugas pun
memastikan kesiapan pesawat dan keselamatan penumpang. Memperingatkan hal yang
tidak boleh dilakukan selama penerbangan.
Pilot
dan co-pilot mengambil posisi. Pramugari mengarahkan para penumpang. Degup
jantung semakin memacu seiring dengan cepatnya gerakan (instruksi keamanan)
pramugari. Senang, khawatir, cemas, tidak sabar. Berlomba – lomba mengisi
suasana hati.
“cabin crew, take off position” kata terakhir
yang disampaikan oleh pilot dalam penerbangan. Pesawat menembus 34.000 kaki atau sekitar
11.000 meter. Berada diantara sekumpulan awan membentuk gerakan perjalanan
tersendat sendat. Bak menaiki wahana roller coaster.
Tekanan
udara semakin meningkat. Membuka mulut, membuat gerakan- -gerakan seolah
menguap, menutup hidung dengan menjepitkan tangan dan menghembuskan nafas
sekuat tenaga, adalah cara – cara untuk mengusir pengang yang datang menyerang.
Langit
menggoreskan keindahan dengan warna seindah violet. Mataku berpaling. Menarik
perhatianku untuk menikmati suguhan warna yang ada diluar. Sentuhan lembut
warna di langit dipadukan dengan bentuk awan yang menawan, seolah menguji
kemampuan berimajinasiku dan membuatku terbuai selama penerbangan.
“Terima kasih telah terbang bersama Air Asia. Sampai jumpa
pada penerbangan Air Asia selanjutnya.” Kalimat penutup dalam kebersamaan kami
selama penerbangan 2 jam. Saya pun melakukan doa penutup setelah perjalanan.
Terik
matahari dan hamparan orang asing (bule) menyambut kedatangan saya bersama
teman – teman diiringi dengan taxi driver yang mengikuti dan menanti tumpangan
dari kami. Hanya tatapan lelah yang kami balas. Dengan sisa tenaga yang kami
miliki, salah satu langkah taxi driver menuntun kami dalam perjalanan menuju
hotel.
“yuk
masuk sini, tahun lalu gue pernah nginep di sini.” Ujar temanku memastikan.
Sebagian dari kami menatap khawatir. Tempat penginapan tua, tidak terawat.
Sudah menampakkan kerapuhan. Murah, biaya semalam hanya Rp 50.000,00 saja.
Namun, harus punya nyali besar untuk menghabisi tiap malam di tempat tersebut.
Saya
takut. Tidak suka tempat itu. Sungguh! Untuk mengakalinya, saya pun membuat
segala aktivitas di siang hari. Dengan harapan, saya lelah di malam hari, dan
tidak menghiraukan suasana mencekam di malam tersebut.
Pantai
Sanur, Uluwatu, Ubud, dan beberapa tempat kami telusuri satu per satu. Terik
tidak menurunkan semangat kami dalam indahnya tempat – tempat di Bali. Baju
pantai dengan corak bunga, menggambarkan keindahaan jika di padu padan kan
dengan suasana pantai.
Tatto,
kepang rambut, surfing, paraseling adalah segalintir pemandangan yang dapat
kami lihat di setiap pantai di Pulau Dewata. Hal yang paling asik untuk
dilakukan pasti nya bermain dengan air. Paraseling, banana boot.
Aktivitas
hari pertama, pergi mengunjungi Uluwatu. Ungu dan kuning menjadi pilihan yang
baik. Warna yang kain yang digunakan. Upaya melindungi diri dari serangan
monyet – monyet di tempat tersebut.
“Hati – hati, kacamata saya habis dicuri
dan dipatahkan oleh monyet – monyet jahil itu.” Bisik turis kepada kami sambil
menunjuk - nunjuk ke gerombolan monyet.
Gentar.
Sontak kami merapatkan barisan. Memaksakan mendapat foto di dekat para monyet,
diiringi dengan rasa gemetar. Dapat beberapa foto. Walau tidak sebagus yang
kami harapkan, namun rasa takut kami terhadap mamalia berbulu abu –abu tersebut
lebih besar.
Senja
tidak lagi merah. Kini sudah berganti dengan gulita dengan kerlip bintang. Semangat
kami belum hilang. Langkah kaki kami membawa kami menuju tugu bom Bali. Mataku
tidak lepas memandang deretan tulisan di tugu tersebut. Besar, meninggalkan
goresan nama yang menyisakan kepedihan yang mendalam. Takjub dan prihatin.
“cakk…
cakkk… cakk… caakkk…” ucapan saat upacara tarian kecak di mulai. Panasnya api
yang ada, menyalur dan membakar semangat kami untuk menikmati tarian tersebut.
Kami hanya perlu mengganti uang untuk menyaksikan tarian tersebut. Hanya Rp
60.000,00 per orang. Rasanya setimpal dengan yang kami saksikan.
Tari
kecak yang terdiri dari 20 – 50 orang menari secara seirama. Menghangatkan
suasana malam. Ciri khas yang dimiliki oleh Bali. Tari kecak, upacara,
Namun,
satu yang perlu kalian ingat, jangan pernah menginjak/menendang sesajen dengan
sengaja. Dapat di temukan di tiap – tiap depan rumah, toko, dll. Menurut
kepercayaan mereka, itu merupakan suatu keberuntungan yang akan mereka dapatkan
di hari tersebut.
Kepercayaan
di Bali, dengan meletakkan canang di depan toko maupun rumah mereka dianggap sebagai
pembawa keberuntungan (hoki) dalam usaha maupun kesejahteraan hidupnya. Canang sendiri
yang berarti bunga, dapat juga berisi permen (rarapan) dan nasi (segehan). Untuk
mengusir bala, kerugian, dan semua hal – hal buruk.
Peletakkan
canang ini di taruh di pagi hari. Kegiatan di pagi hari, yang tidak pernah di
lupakan oleh orang Bali. Meski tidak semua penduduk Bali melakukan kegiatan
tersebut. Canang ini hanyalah sebuah kepercayaan sebagian orang Bali.
Canang
ini tidak boleh dengan sengaja kita injak, tendang, ataupun hal yang
dilakukan dengan sengaja. Karena
dihormati adannya canang ini. canang ini dapat diganti saat sore hari atau
tidak sama sekali.
Kain
persegi panjang. Bermotif kotak – kotak dan berwarna hitam dan putih. Hampir di
setiap per-empatan kami temukan. di pohon besar, gerbang pura, bahkan kain ini
juga digunakan sebagai kain (jarig) penari kecak dan para pengawal/petugas
keamanan tradisional (pelacang).
Selain
digunakan untuk dililit di pohon-pohon maupun di gerbang pura, kain poleng ini
dililitkan ke benda sakral dan profan. Di pura, kain poleng juga digunakan untuk tedung (payung), umbul-umbul, untuk menghias
palinggih, patung, dan kul-kul.
Demikian pula dalam
kesenian Bali, baik itu seni drama, dramatari, maupun pedalangan. Dalam drama
gong, yang sering memakai kain pleng adalah penakawannya. Sedangkan dalam
wayang kulit, tokoh yang memakai hiasan poleng, selain penakawan Tualen dan
Merdah, juga tokoh penting seperti Hanoman, Bima.
Kain
poleng juga banyak digunakan untuk menghias benda-benda profan baik di
perkantoran maupun di hotel. Misalnya untuk meja makan dan benda-benda lain
yang ada di sana. Namun, kain poleng untuk benda profan ini sering dicampuri
dengan corak atau motif baru sehingga disebut kain poleng anyar.
Kain
Poleng Sudhamala dan Tridatu Saput poleng sudhamala merupakan cerminan
rwabhineda yang diketengahi oleh perantara sebagai penyelaras perbedaan dalam
rwabhineda. Sedangkan, saput poleng
sudhamala merupakan cerminan rwabhineda yang diketengahi oleh perantara sebagai
penyelaras perbedaan dalam rwabhineda.
Kain Poleng Tridatu
melambangkan ajaran Triguna yakni satwam, rajah, tamah. Warna putih identik
dengan kesadaran atau kebijaksanaan (satwam), warna merah adalah energi atau
gerak (rajah) dan warna hitam melambangkan penghambat (tamah).
Kain Poleng yang
seakan-akan sudah menjadi busana seragam bagi pecalang (petugas keamanan desa
adat) juga terilhami oleh konsep ini, dimana seorang yang dipercayai oleh warga
untuk menjadi “pengaman” hendaknya mampu dengan tegas memilah yang benar dan
buruk.
Diharapkan
pecalang bercermin pada saput poleng yang dikenakan, yakni mengetahui adanya
rwabhineda, keadaan aman dan kacau, baik maupun buruk, yang selanjutkan melalui
kedewasaan intelektual dan kesigapannya (celang), dapat mengendalikan situasi
sehingga ketertitaban Desa Pekraman dapat diwujudkan.