Oleh :
Johanes Agung Kurniawan
Jurnalistik 2011 / Penulisan Feature B1 / 11140110071
Johanes Agung Kurniawan
Jurnalistik 2011 / Penulisan Feature B1 / 11140110071
BEDA.
Siang hari ini berbeda. Tidak seperti biasanya. Dimana gaduhnya suara klakson
saling beradu. Kemacetan akibat angkot bermanufer tidak terkendali, atau lagak bus
kota yang tidak tahu diri. Menempatkan diri di sela – sela deretan mobil,
seolah badannya ramping. Hari ini itu semua tidak ada.
Hanya
jalanan lenggang, sesekali motor dengan tumpukan rumput lewat. Gedung – gedung
bertingkat digantikan hamparan perkebunan hijau. Sejuk. Segar. Tidak lagi sesak
oleh asap. Ya, ini tidak lagi Jakarta. Ini Dieng, salah satu dataran tinggi di
Pulau Jawa.
Dua buah tugu besar berwarna hitam tertancap
gagah di kanan dan kiri jalan. Sebuah besi melengkung di atasnya, menyambung di
ujung atas tugu. Di besi itu tertulis, ‘KAWASAN DIENG PLATEAU’ dengan warna
orange menyala. Dieng merupakan dataran tinggi yang berada di Jawa Tengah.
Uniknya, dataran tinggi ini terletak di 2 kabupaten yang berbeda, yakni
Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Perbatasan antar kabupaten hanya
berupa sebuah sungai kecil, dekat dengan puncak kawasan Dieng.
Terletak di atas 2000m permukaan air
laut, membuat kawasan Dieng bersuhu dingin. Di bulan kemarau, suhu bisa
mencapai 00celcius dan di pagi hari jangan harap bisa menemui embun
yang cair. Embun pagi akan berbentuk lapisan es tipis di permukaan tanah.
Alam
memang adil. Udara dingin ini sangat mendukung mata pencaharian utama masyarkat
Dieng, bertani. Sebagian besar bertani sayur dan buah. Komoditi utamanya adalah
kentang dan carica, pepaya khas Dieng.
Suhu
dingin di Dieng melahirkan sebuah tradisi di tengah masyarakat. Gegenen begitu mereka menyebutnya.
Aktivitas ini sebagian besar dilakukan oleh para kamu laki – laki, tetapi tidak
menutup kemungkinan para wanita untuk ikut. Gegenen
di ambil dari bahasa jawa, geni yang
berarti api. Dari asal katanya, memang tradisi ini bertujuan untuk mencari api
sebagai penghangat tubuh di suhu dingin. Api dihasilkan dari arang kayu, kayu
bakar atau tempurung kelapa, yang diletakkan di sebuah tungku. Masyarakat Dieng
akan duduk mengitari tungku tadi. Biasanya dilakukan di dapur rumah, sambil
ditemani camilan dan kopi.
DIENG
berasal dari bahasa Sansekerta. ‘Di’
berarti tempat dan ‘Hyang’ yang
berarti Dewa. Konon, masyarakat sekitar mempercayai bahwa Dieng adalah tempat
dari para Dewa bersemayam. Tidak mengherankan masyarakat percaya akan hal ini.
Dahulunya, Dieng dipercaya sebagai pusat spiritualitas dan peradaban Hindhu
Budha di tanah Jawa. Di Dieng, banyak ditemukan candi – candi bercorak Hindu
Budha, mirip dengan corak candi Borobudur.
Walaupun dengan corak yang hampir
sama, candi – candi yang ada di Dieng tidak dibangun pada masa yang sama dengan
candi Borobudur. Candi di Dieng, diperkirakan dibangun pada abad ke 7 zaman
Wangsa Sanjaya, yang beraliran Hindu Syiwa, sedangkan Borobudur dibangun saat zaman Wangsa
Syailendra, yang beraliran Budha Mahayana.
Kedua wangsa ini berjaya di era yang
sama. Wangsa Sanjaya dengan daerah kekuasaan di bagian utara Jawa Tengah,
sedangkan Wangsa Syailendra, berada di bagian selatan Jawa Tengah. Hal ini
terbukti dengan, persebaran candi di Dieng yang letaknya berada di utara Jawa
Tengah (mendekati arah Semarang) dan Borobudur yang berada di Magelang,
terletak di bagian selatan Jawa Tengah (mendekati arah Yogyakarta). Percampuran
Hindu dan Budha terjadi saat pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari
Wangsa Sanjaya dan Pramodyawardhani dari Wangsa Syailendra.
Candi
di Dieng tergabung dalam sebuah kompleks seluar 1,9 x 0,8 km persegi. Kompleks
candi ini terdiri dari 3 kelompok gugusan candi dan 1 candi yang berdiri
sendiri. Semua kelompok candi ini dinamai berdasarkan tokoh – tokoh perwayangan
yang tertuang dalam Kitab Mahabharata. Ada kompleks Candi Gatotkaca, kompleks
Candi Arjuna, kompleks Candi Dwarawati dan 1 candi bernama Candi Bima.
Kepercayaan
masyarakat akan lahirnya Dieng tidak hanya pada masa kerajaan Hindu di tanah
Jawa. Masyarakat juga meyakini, Dieng lahir dari usaha leluhur Dieng, Kyai
Kolodete dan Nini Roro Ronce. Beliaulah yang melakukan babat alas atau membuka sebuah hutan dan dijadikan pemukiman warga.
Dalam
kisah di masyarakat Dieng, Kyai Kolodete ingin terus menjaga dan membantu
masyarakat Dieng. Akhirnya ia bertapa dan meminta kepada Sang Kuasa untuk
memenuhi permintaanya. Namun, kematian memang suratan takdir manusia. Kyai
Kolodete tidak kuasa menolak takdirnya. Keinginan Kyai Kolodete tetap terwujud,
hanya saja bukan lagi raganya, tetapi jelmaan Kyai Kolodete, yang dipercaya
oleh masyarakat Dieng dalam rupa rambut gimbal yang tumbuh di kepala anak –
anak Dieng. Mereka menyebutnya Anak Bajang.
Najwa (5) salah satu anak rambut gimbal |
NAJWA seorang anak
perempuan berusia 5 tahun. Sekilas terlihat sama dengan anak kecil pada
umumnya, hanya saja Najwa sedikit pendiam dan pemalu. Mencoba mengenal Najwa
lebih dekat, barulah terlihat ada rambut gimbal yang tumbuh di belakang kepala
Najwa.
“Sudah
dari umur 2,5 tahun Najwa punya gembel (sebutan warga Dieng untuk rambut
gimbal) sampai sekarang belum minta dipotong,” ujar sang ibu. Ternyata, rambut
gimbal ini tidak boleh dipotong semabarangan. Rambut gimbal boleh dipotong saat
sang anak meminta sendiri. Dalam pemotongannyapun terdapat banyak aturan dan
prosesinya, salah satunya adalah pemenuhan keinginan si anak rambut gimbal.
Ketika
rambut gimbal tumbuh, sang anak akan meminta
sesuatu.
Rambut gimbal Najwa yang tumbuh di belakang kepalanya |
Penasaran mengundang saya
untuk bertanya kepada Najwa. Jawaban yang saya peroleh terasa aneh, jauh di
luar logika.
“Mau
minta embek (kambing). Embeknya cowok, mau minta dua,” ucap Najwa sambil
bergelayut manja di balik baju ibunya.
“Embeknya
mau diapain, Najwa?” , tanya sang ibu.
“Di
sate sama dipelihara,” jawab Najwa.
Permintaan
aneh lainnya saya dapati, saat saya bertemu dengan Mbah Naryono, sesepuh dan
tetua adat di Desa Dieng.
“Ada yang minta kerbau, sapi. Dulu
juga ada yang minta pecut (cambuk),
pernah juga ada yang minta telur ayam kampung 600 butir,” ucap Mbah Naryono di
kediamannya.
Masyarakat sekitar percaya, bukan si
anaklah yang meminta hal – hal tersebut. Melainkan, ‘isi’ dari rambut gembel si
anak. Dipercaya, anak gembel mempunyai pelindung yang berada di dalam rambut
gembel. Hal ini merupakan wujud janji Kyai Kolodete untuk melindungi masyarakat
Dieng.
“Anak gembel itu ya sepintas sama
dengan anak lainnya. Cuman, anak gembel itu lebih nakal, cenderung liar. Kalau
orang jawa bilang, nggleleng
(congkak,angkuh,sok – sokan) mereka merasa ada yang nglindungi,” ujar Mbah
Naryono.
Pelindung yang disebut sebut
masyarakat Dieng ini, pernah terbukti dengan sebuah kejadian. Dulu, pernah ada
anak rambut gembel yang tertabrak mobil dan terlempar sampai sejauh 3 m. Tidak
seperti ada yang terjadi, si anak bangkit berdiri dan lari, tanpa menangis dan
tanpa luka.
Rizie (10) salah satu anak rambut gimbal |
Hal serupa juga dialami oleh Rizie,
anak rambut gimbal berumur 10 tahun. Sang ayah membenarkan, hal – hal aneh juga
sempat terjadi. Rambut gimbal Rizie tumbuh saat berusia 2,5 tahun.
“Kalau mau tumbuh rambut gembel,
pasti sakit – sakitan dulu. Badanya panas, sampai kejang – kejang. Tiba – tiba
ya sembuh sendiri, pas rambut gembelnya tumbuh,” ucap sang Ayah.
Tidak hanya Rizie, semua anak
berambut gembel pasti akan sakit panas tinggi, disertai kejang. Mbah Naryono
juga menambhakan, kalau bukan anak rambut gimbal, mustahil rasanya bisa
melewati dari panas tinggi tersebut, mengingat rambut gimbal tumbuh di anak
berusia 2 – 5 tahun.
“Ya karena dari kecil sudah sakit
panas tinggi dan bisa sembuh, sekarang Rizie juga jarang sakit. Tidurpun juga
sering malam, jam 12 atau jam 1 pagi, tapi ya alhamdulilah gak pernah sakit.
Palingan ya masuk angin biasa, atau batuk – batuk ringan,” ujar Ayah Rizie.
Keseharian anak rambut gimbal tidak
berbeda jauh dengan anak lainnya. 3 hari 2 malam saya habiskan di rumah Najwa, dan
memang seperti rutinitas anak kecil pada umumnya. Bermain dan bermanja dengan
orang tua. Najwa sangat suka menggambar dan mewarnai. Hobi lainnya, bermain
boneka dan berdandan dengan aneka macam jepitan rambut.
Kalau tidak diperhatikan dengan
seksama, orang mengira anak rambut gimbal sama dengan lainnya. Namun, saya
menangkap hal lain. Sesekali saya perhatikan gerak – gerik Najwa. Terkadang
Najwa berbicara sendiri, seperti menggumam dan tersenyum, padahal Najwa tidak
sedang berbicara dengan saya, atau ibunya.
“Ya itu lagi bicara sama gembelnya,
cuman dia (Najwa) yang ngerti, saya juga gak paham,” ujar sang Ibu.
FENOMENA
anak rambut gimbal ini memang mengundang tanya. Bahkan, pernah seorang dokter
asal Jepang meneliti tentang rambut anak gimbal. Sampai sekarangpun, belum ada
fakta yang menunjukkan bahwa rambut gimbal adalah kesalahan genetik, atau
faktor lingkungan yang menyebabkan rambut gimbal tumbuh.
Dokter di puskesmas setempat, dokter
Kukuh juga menyimpulkan hal yang sama.
“Banyak anak yang nantinya tumbuh
rambut berobat ke sini. Ya diagnosis awal saya sama, suhu tubuh tinggi, bahkan
ada yang mencapai 360 . Kalau dinalar kan tidak mungkin ya, anak
usia 2 tahunan bisa sembuh tanpa obat,” ucapnya di Puskesmas tempat ia bekerja.
Sebagai seorang dokter, tentu sudah
menjadi jalannya, untuk menolak hal – hal di luar logika. Beliau selalu
menegaskan, belum terbukti bukan tidak terbukti. Namun, kepercayaan masyarakat
sekitar membuat dokter Kukuh, sedikit menolerir kasus ini.
“Ya saya katakan belum terbukti, memang
warga juga sudah terima dengan keadaaan itu. Saya juga pernah meneliti. Susunan
kromosomnya juga sama dengan rambut lainnya. Itu rambut memang asli tumbuh.
Hipotesa awal saya, mungkin karena suhu dingin berdampak ke pertumbuhan
rambutnya, tapi ya sampai sekarang belum terbukti,” ucapnya.
Dokter Kukuh menambahkan, kalau ada
hal yang bisa dikaitkan dengan logika. Menurut dokter Kukuh, anak rambut gimbal
bisa lincah, tidak mudah sakit, sering begadang itu dikarenakan semasa kecil
telah melewati fase sakit panas tadi. Sehingga, daya tahan tubuhnya lebih kuat
dibanding anak lain. Dan sikap manja, sombong, nakal tadi timbul karena,
perlakuan orantua yang menspesialkan si anak. Sehingga, si anak gimbal
beranggapan dirinya lebih dari yang lain dan percaya punya pelindung di
rambutnya.
Sampai sekarang, dokter Kukuh masih
tertarik untuk menyelidik hal ini. Hipotesa kembali diajukan.
“Kalau kemarin saya meniliti soal
kaitan suhu dingin dengan tumbuhnya rambut gimbal, sekarang saya sedang mencoba
teliti soal kaitan tumbuhnya rambut gimbal dengan menurunnya suhu tubuh tadi.
Anak gembel kan sembuh dengan sendirinya, saat rambutnya tumbuh, itu yang lagi
saya cermati, apakah ada kaitannya. Tetapi ya kaitannya secara medis,” ujarnya
dengan tawa.
DIPERCAYA
sebgai titisan Kyai Kolodete, membuat perlakuan terhadap anak rambut gembel
berbeda. Keinginan yang diminta, yang berkaitan dengan rambut geimbalnya harus
terpenuhi. Jika tidak, rambut gimbal yang telah dipotong akan kembali tumbuh.
Dan itu artinya, si anak akan mengulang dari fase sakit panas lagi, bahkan lebih
hebat dari sebelumnya.
Permintaan seperti Najwa, atau yang
Mbah Naryono sampaiakan tidak semua keluarga mampu menyanggupinya. Nah,
disinilah budaya kolektivis masyarkat Dieng terlihat. Merka akan membantu
keluarga yang tidak mampu, untuk mewujudkan keinginan sia anak. Dukungan
terhadap fenomena unik ini juga datang dari pemerintah daerah dan para pemuda,
penggiat desa.
“Kalau memang tidak mampu, nanti
didaftarkan, dibantu oleh pemda dan warga sekitar,” ujar Alif Faozi, Ketua
panita acara ruwatan dan penggiat pemuda.
Melihat banyaknya antusiasme para
wisatawan yang datang ke Dieng untuk melihat sendiri fenomena anak rambut
gimbal, pemda bersama pemuda Dieng, membentuk sebuah wadah untuk mengemas
prosesi pemotongan rambut anak gimbal.
“Dulunya, pemotongan kan sendiri –
sendiri per keluarga, sekarang digabungkan, dibuat sebuah festival budaya,
sebuah pagelaran tahunan. Selain jadi daya tarik wisata, mereka yang tidak
mampu, bisa dibantu dari anggaran acara ini,” ujar Alif di kediamannya, di
Dieng Kulon, Batur, Banjarnegara.
Sebuah warisan kuno yang ingin terus
dijaga, membuat Alif dan Ibnu Hasan, penggiat pemuda juga, membungkusnya dengan
sedikit sentuhan modern. Prosesi pemotongan rambut gimbal atau disebut ruwatan dijadikan dalam sebuah pagelaran
budaya, bernama Dieng Culture Festival. Sudah dimulai sejak 2010.
“Sentuhan modernya di acara hiburan,
kalau tahun 2011 kita bikin festival lampion. Malam hari setelah pencukuran,
ada pelepasan lampion di lapangan dekat Candi Arjuna. Kalau yang 2012 kemarin,
ada acara jalan santai keliing Dieng dan minum Purwaceng (minuman khas dieng)
bersama” ujar Ibnu, ketua Dieng Culture Festival 2011 dan 2012.
Awal dari ruwatan rambut gimbal
adalah Kirab. Kirab merupakan arak – arakan menujur prosesi pencukuran rambut
gimbal. Arak – arakan ini dikawal oleh para sesepuh, para tokoh masyarakat,
kelompok paguyuban dan seni tradisional, dan masyarakat. barisan kirab diawali
oleh pengawal utama yaitu 2 tokoh sesepuh yang disebut cucuk ing ngayodya, kemudian diikuti oleh pembawa dupa, para
prajurit pembawa pusaka, dan diteruskan dengan pemabawa bunga.
Barisan diteruskan dengan para
pembawa permintaan anak rambut gimbal, barulah diikuti oleh barisan anak rambut
gimbal yang menaiki andhong atau
kereta kuda, dan barisan terakhir ditempati oleh kelompok seni tradisional yang
nantinya akan menghibur penonton. Selama kirab, juga disertakan beragam
sesajen. Seperti aneka jajan pasar, kelapa hijau, aneka buah – buahan hasil
panen, pisang raja emas, kinang, alat rias dan beragam cangkir yang berisi 14
macam minuman.
Setelah tiba di lokasi, anak rambut
gimbal akan dibawa ke Sendang Sedayu, untuk menjalani prosesi jamasan atau keramas. Acar didahului
dengan pembacaaan mantra dan doa oleh Mbah Naryono, barulah anak rambut gimbal
di keramas. Air untuk keramas juga ditambahkan bunga 7 rupa dan air dari
beberapa telaga dan sungai di sekitar dataran Dieng.
Selesai pencukuran, barulah anak
rambut gimbal dicukur. Prosesi ini dilakukan di depat pelataran Candi Arjuna.
Candi Arjuna dipilih karena, dalam bahasa Arab, Arjuna berarti pengharapan.
Dari arti ini, di ambil filosofi agar nantinya, sang anak bisa menjadi harapan
bagi banyak orang.
“Pencukuran untuk tahun 2011 tidak
di depan Candi Arjuna, tetapi di Candi Puntadewa. Ya tempatnya lebih luas dan dalam
perwayangan Puntadewa adalah kakak dari Arjuna, jadi kita mau memberikan
penghormatan kepada sosok yang lebih tua,” kata Ilham.
Selesai pencukuran, para penonton
yang hadir dan si anak gimbal akan dihibur oleh beragam kesenian daerah. Selain
hiburan, biasanya ditutup dengan ngalap
berkah. Kegiatan ini adalah memperbutkan sesaji dan tumpengan. Dipercaya,
bisa membawa berkah bagi yang berhasil mendapatkannya.
Rambut gimbal yang telah dipotong
tidak lantas dibunang begitu saja. Rambut yang telah dipotong tetap
diperlakukan secara hormat.
“Setelah dipotong, dibungkus dengan
kain mori berwarna putih, kemudian akan dilarung atau dihanyutkan di sungai
Serayu atau di Telaga Warna,” ujar Ilham Hasan.
Pelarungan ini mempunyai makna,
mengembalikan apa yang telah dititipkan selama ini. Rambut gimbal nantinya akan
hanyut dan meuju ke Laut Selatan. Dipercaya, penguasa Laut Selatan lah yang
membantu mewujudkan janji dari Kyai Kolodete.
TERLEPAS
dari semua kemistisannya, anak rambut gimbal adalah wujud dari sebuah
keanekaragaman budaya. Acara ruwatan tidak hanya sekedar prosesi formalitas
saja, Alif mengatakan bahwa acara tersebut merupakan bentuk komunikasi dengan
para leluhur. Mereka mengulang kembali apa yang telah dilakukan ratusan tahun
silam.
“Kalau kita baik kepada alam, kita
menghormati budaya, mengorhami leluhur, pasti akan ada balasannya. Lewat Dieng
Culture Festival (DCF) ini, warga sekitar untung banyak. Dari yang jualan
souvenir, yang punya warung makan, yang punya homestay, sampai tukang parkirpun
dapat rezeki. Dan alhamdulilah, berkat DCF, Dieng menjadi salah satu destinasi
yang diikutkan dalam program pemerintah, Visit Jawa Tengah 2013,” ujar Alif
sambil menyeruput teh di ruang tamunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar