Rabu, 19 Juni 2013

Anak Bajang DiHyang

 Oleh :
Johanes Agung Kurniawan
Jurnalistik 2011 / Penulisan Feature B1 / 11140110071        

         BEDA. Siang hari ini berbeda. Tidak seperti biasanya. Dimana gaduhnya suara klakson saling beradu. Kemacetan akibat angkot bermanufer tidak terkendali, atau lagak bus kota yang tidak tahu diri. Menempatkan diri di sela – sela deretan mobil, seolah badannya ramping. Hari ini itu semua tidak ada.
       Hanya jalanan lenggang, sesekali motor dengan tumpukan rumput lewat. Gedung – gedung bertingkat digantikan hamparan perkebunan hijau. Sejuk. Segar. Tidak lagi sesak oleh asap. Ya, ini tidak lagi Jakarta. Ini Dieng, salah satu dataran tinggi di Pulau Jawa.
         Dua buah tugu besar berwarna hitam tertancap gagah di kanan dan kiri jalan. Sebuah besi melengkung di atasnya, menyambung di ujung atas tugu. Di besi itu tertulis, ‘KAWASAN DIENG PLATEAU’ dengan warna orange menyala. Dieng merupakan dataran tinggi yang berada di Jawa Tengah. Uniknya, dataran tinggi ini terletak di 2 kabupaten yang berbeda, yakni Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Perbatasan antar kabupaten hanya berupa sebuah sungai kecil, dekat dengan puncak kawasan Dieng.
       Terletak di atas 2000m permukaan air laut, membuat kawasan Dieng bersuhu dingin. Di bulan kemarau, suhu bisa mencapai 00celcius dan di pagi hari jangan harap bisa menemui embun yang cair. Embun pagi akan berbentuk lapisan es tipis di permukaan tanah.
     Alam memang adil. Udara dingin ini sangat mendukung mata pencaharian utama masyarkat Dieng, bertani. Sebagian besar bertani sayur dan buah. Komoditi utamanya adalah kentang dan carica, pepaya khas Dieng.
Suhu dingin di Dieng melahirkan sebuah tradisi di tengah masyarakat. Gegenen begitu mereka menyebutnya. Aktivitas ini sebagian besar dilakukan oleh para kamu laki – laki, tetapi tidak menutup kemungkinan para wanita untuk ikut. Gegenen di ambil dari bahasa jawa, geni yang berarti api. Dari asal katanya, memang tradisi ini bertujuan untuk mencari api sebagai penghangat tubuh di suhu dingin. Api dihasilkan dari arang kayu, kayu bakar atau tempurung kelapa, yang diletakkan di sebuah tungku. Masyarakat Dieng akan duduk mengitari tungku tadi. Biasanya dilakukan di dapur rumah, sambil ditemani camilan dan kopi.
            DIENG berasal dari bahasa Sansekerta. ‘Di’ berarti tempat dan ‘Hyang’ yang berarti Dewa. Konon, masyarakat sekitar mempercayai bahwa Dieng adalah tempat dari para Dewa bersemayam. Tidak mengherankan masyarakat percaya akan hal ini. Dahulunya, Dieng dipercaya sebagai pusat spiritualitas dan peradaban Hindhu Budha di tanah Jawa. Di Dieng, banyak ditemukan candi – candi bercorak Hindu Budha, mirip dengan corak candi Borobudur.
            Walaupun dengan corak yang hampir sama, candi – candi yang ada di Dieng tidak dibangun pada masa yang sama dengan candi Borobudur. Candi di Dieng, diperkirakan dibangun pada abad ke 7 zaman Wangsa Sanjaya, yang beraliran Hindu Syiwa,  sedangkan Borobudur dibangun saat zaman Wangsa Syailendra, yang beraliran Budha Mahayana.
            Kedua wangsa ini berjaya di era yang sama. Wangsa Sanjaya dengan daerah kekuasaan di bagian utara Jawa Tengah, sedangkan Wangsa Syailendra, berada di bagian selatan Jawa Tengah. Hal ini terbukti dengan, persebaran candi di Dieng yang letaknya berada di utara Jawa Tengah (mendekati arah Semarang) dan Borobudur yang berada di Magelang, terletak di bagian selatan Jawa Tengah (mendekati arah Yogyakarta). Percampuran Hindu dan Budha terjadi saat pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya dan Pramodyawardhani dari Wangsa Syailendra.
Candi di Dieng tergabung dalam sebuah kompleks seluar 1,9 x 0,8 km persegi. Kompleks candi ini terdiri dari 3 kelompok gugusan candi dan 1 candi yang berdiri sendiri. Semua kelompok candi ini dinamai berdasarkan tokoh – tokoh perwayangan yang tertuang dalam Kitab Mahabharata. Ada kompleks Candi Gatotkaca, kompleks Candi Arjuna, kompleks Candi Dwarawati dan 1 candi bernama Candi Bima.
Kepercayaan masyarakat akan lahirnya Dieng tidak hanya pada masa kerajaan Hindu di tanah Jawa. Masyarakat juga meyakini, Dieng lahir dari usaha leluhur Dieng, Kyai Kolodete dan Nini Roro Ronce. Beliaulah yang melakukan babat alas atau membuka sebuah hutan dan dijadikan pemukiman warga.
Dalam kisah di masyarakat Dieng, Kyai Kolodete ingin terus menjaga dan membantu masyarakat Dieng. Akhirnya ia bertapa dan meminta kepada Sang Kuasa untuk memenuhi permintaanya. Namun, kematian memang suratan takdir manusia. Kyai Kolodete tidak kuasa menolak takdirnya. Keinginan Kyai Kolodete tetap terwujud, hanya saja bukan lagi raganya, tetapi jelmaan Kyai Kolodete, yang dipercaya oleh masyarakat Dieng dalam rupa rambut gimbal yang tumbuh di kepala anak – anak Dieng. Mereka menyebutnya Anak Bajang.
Najwa (5) salah satu anak rambut gimbal
NAJWA seorang anak perempuan berusia 5 tahun. Sekilas terlihat sama dengan anak kecil pada umumnya, hanya saja Najwa sedikit pendiam dan pemalu. Mencoba mengenal Najwa lebih dekat, barulah terlihat ada rambut gimbal yang tumbuh di belakang kepala Najwa.
“Sudah dari umur 2,5 tahun Najwa punya gembel (sebutan warga Dieng untuk rambut gimbal) sampai sekarang belum minta dipotong,” ujar sang ibu. Ternyata, rambut gimbal ini tidak boleh dipotong semabarangan. Rambut gimbal boleh dipotong saat sang anak meminta sendiri. Dalam pemotongannyapun terdapat banyak aturan dan prosesinya, salah satunya adalah pemenuhan keinginan si anak rambut gimbal.
Ketika rambut gimbal tumbuh, sang anak akan meminta
Rambut gimbal Najwa yang
             tumbuh di belakang kepalanya
sesuatu.



Penasaran mengundang saya untuk bertanya kepada Najwa. Jawaban yang saya peroleh terasa aneh, jauh di luar logika.
“Mau minta embek (kambing). Embeknya cowok, mau minta dua,” ucap Najwa sambil bergelayut manja di balik baju ibunya.
“Embeknya mau diapain, Najwa?” , tanya sang ibu.
“Di sate sama dipelihara,” jawab Najwa.
         Permintaan aneh lainnya saya dapati, saat saya bertemu dengan Mbah Naryono, sesepuh dan tetua adat di Desa Dieng.
            “Ada yang minta kerbau, sapi. Dulu juga ada yang minta pecut (cambuk), pernah juga ada yang minta telur ayam kampung 600 butir,” ucap Mbah Naryono di kediamannya.
            Masyarakat sekitar percaya, bukan si anaklah yang meminta hal – hal tersebut. Melainkan, ‘isi’ dari rambut gembel si anak. Dipercaya, anak gembel mempunyai pelindung yang berada di dalam rambut gembel. Hal ini merupakan wujud janji Kyai Kolodete untuk melindungi masyarakat Dieng.
            “Anak gembel itu ya sepintas sama dengan anak lainnya. Cuman, anak gembel itu lebih nakal, cenderung liar. Kalau orang jawa bilang, nggleleng (congkak,angkuh,sok – sokan) mereka merasa ada yang nglindungi,” ujar Mbah Naryono.
            Pelindung yang disebut sebut masyarakat Dieng ini, pernah terbukti dengan sebuah kejadian. Dulu, pernah ada anak rambut gembel yang tertabrak mobil dan terlempar sampai sejauh 3 m. Tidak seperti ada yang terjadi, si anak bangkit berdiri dan lari, tanpa menangis dan tanpa luka.
Rizie (10) salah satu anak rambut gimbal
            Hal serupa juga dialami oleh Rizie, anak rambut gimbal berumur 10 tahun. Sang ayah membenarkan, hal – hal aneh juga sempat terjadi. Rambut gimbal Rizie tumbuh saat berusia 2,5 tahun.
            “Kalau mau tumbuh rambut gembel, pasti sakit – sakitan dulu. Badanya panas, sampai kejang – kejang. Tiba – tiba ya sembuh sendiri, pas rambut gembelnya tumbuh,” ucap sang Ayah.
            Tidak hanya Rizie, semua anak berambut gembel pasti akan sakit panas tinggi, disertai kejang. Mbah Naryono juga menambhakan, kalau bukan anak rambut gimbal, mustahil rasanya bisa melewati dari panas tinggi tersebut, mengingat rambut gimbal tumbuh di anak berusia 2 – 5 tahun.
            “Ya karena dari kecil sudah sakit panas tinggi dan bisa sembuh, sekarang Rizie juga jarang sakit. Tidurpun juga sering malam, jam 12 atau jam 1 pagi, tapi ya alhamdulilah gak pernah sakit. Palingan ya masuk angin biasa, atau batuk – batuk ringan,” ujar Ayah Rizie.
            Keseharian anak rambut gimbal tidak berbeda jauh dengan anak lainnya. 3 hari 2 malam saya habiskan di rumah Najwa, dan memang seperti rutinitas anak kecil pada umumnya. Bermain dan bermanja dengan orang tua. Najwa sangat suka menggambar dan mewarnai. Hobi lainnya, bermain boneka dan berdandan dengan aneka macam jepitan rambut.
            Kalau tidak diperhatikan dengan seksama, orang mengira anak rambut gimbal sama dengan lainnya. Namun, saya menangkap hal lain. Sesekali saya perhatikan gerak – gerik Najwa. Terkadang Najwa berbicara sendiri, seperti menggumam dan tersenyum, padahal Najwa tidak sedang berbicara dengan saya, atau ibunya.
            “Ya itu lagi bicara sama gembelnya, cuman dia (Najwa) yang ngerti, saya juga gak paham,” ujar sang Ibu.
            FENOMENA anak rambut gimbal ini memang mengundang tanya. Bahkan, pernah seorang dokter asal Jepang meneliti tentang rambut anak gimbal. Sampai sekarangpun, belum ada fakta yang menunjukkan bahwa rambut gimbal adalah kesalahan genetik, atau faktor lingkungan yang menyebabkan rambut gimbal tumbuh.
            Dokter di puskesmas setempat, dokter Kukuh juga menyimpulkan hal yang sama.
            “Banyak anak yang nantinya tumbuh rambut berobat ke sini. Ya diagnosis awal saya sama, suhu tubuh tinggi, bahkan ada yang mencapai 360 . Kalau dinalar kan tidak mungkin ya, anak usia 2 tahunan bisa sembuh tanpa obat,” ucapnya di Puskesmas tempat ia bekerja.
            Sebagai seorang dokter, tentu sudah menjadi jalannya, untuk menolak hal – hal di luar logika. Beliau selalu menegaskan, belum terbukti bukan tidak terbukti. Namun, kepercayaan masyarakat sekitar membuat dokter Kukuh, sedikit menolerir kasus ini.
            “Ya saya katakan belum terbukti, memang warga juga sudah terima dengan keadaaan itu. Saya juga pernah meneliti. Susunan kromosomnya juga sama dengan rambut lainnya. Itu rambut memang asli tumbuh. Hipotesa awal saya, mungkin karena suhu dingin berdampak ke pertumbuhan rambutnya, tapi ya sampai sekarang belum terbukti,” ucapnya.
            Dokter Kukuh menambahkan, kalau ada hal yang bisa dikaitkan dengan logika. Menurut dokter Kukuh, anak rambut gimbal bisa lincah, tidak mudah sakit, sering begadang itu dikarenakan semasa kecil telah melewati fase sakit panas tadi. Sehingga, daya tahan tubuhnya lebih kuat dibanding anak lain. Dan sikap manja, sombong, nakal tadi timbul karena, perlakuan orantua yang menspesialkan si anak. Sehingga, si anak gimbal beranggapan dirinya lebih dari yang lain dan percaya punya pelindung di rambutnya.
            Sampai sekarang, dokter Kukuh masih tertarik untuk menyelidik hal ini. Hipotesa kembali diajukan.
            “Kalau kemarin saya meniliti soal kaitan suhu dingin dengan tumbuhnya rambut gimbal, sekarang saya sedang mencoba teliti soal kaitan tumbuhnya rambut gimbal dengan menurunnya suhu tubuh tadi. Anak gembel kan sembuh dengan sendirinya, saat rambutnya tumbuh, itu yang lagi saya cermati, apakah ada kaitannya. Tetapi ya kaitannya secara medis,” ujarnya dengan tawa.
            DIPERCAYA sebgai titisan Kyai Kolodete, membuat perlakuan terhadap anak rambut gembel berbeda. Keinginan yang diminta, yang berkaitan dengan rambut geimbalnya harus terpenuhi. Jika tidak, rambut gimbal yang telah dipotong akan kembali tumbuh. Dan itu artinya, si anak akan mengulang dari fase sakit panas lagi, bahkan lebih hebat dari sebelumnya.
            Permintaan seperti Najwa, atau yang Mbah Naryono sampaiakan tidak semua keluarga mampu menyanggupinya. Nah, disinilah budaya kolektivis masyarkat Dieng terlihat. Merka akan membantu keluarga yang tidak mampu, untuk mewujudkan keinginan sia anak. Dukungan terhadap fenomena unik ini juga datang dari pemerintah daerah dan para pemuda, penggiat desa.
            “Kalau memang tidak mampu, nanti didaftarkan, dibantu oleh pemda dan warga sekitar,” ujar Alif Faozi, Ketua panita acara ruwatan dan penggiat pemuda.
            Melihat banyaknya antusiasme para wisatawan yang datang ke Dieng untuk melihat sendiri fenomena anak rambut gimbal, pemda bersama pemuda Dieng, membentuk sebuah wadah untuk mengemas prosesi pemotongan rambut anak gimbal.
            “Dulunya, pemotongan kan sendiri – sendiri per keluarga, sekarang digabungkan, dibuat sebuah festival budaya, sebuah pagelaran tahunan. Selain jadi daya tarik wisata, mereka yang tidak mampu, bisa dibantu dari anggaran acara ini,” ujar Alif di kediamannya, di Dieng Kulon, Batur, Banjarnegara.
            Sebuah warisan kuno yang ingin terus dijaga, membuat Alif dan Ibnu Hasan, penggiat pemuda juga, membungkusnya dengan sedikit sentuhan modern. Prosesi pemotongan rambut gimbal atau disebut ruwatan dijadikan dalam sebuah pagelaran budaya, bernama Dieng Culture Festival. Sudah dimulai sejak 2010.
            “Sentuhan modernya di acara hiburan, kalau tahun 2011 kita bikin festival lampion. Malam hari setelah pencukuran, ada pelepasan lampion di lapangan dekat Candi Arjuna. Kalau yang 2012 kemarin, ada acara jalan santai keliing Dieng dan minum Purwaceng (minuman khas dieng) bersama” ujar Ibnu, ketua Dieng Culture Festival 2011 dan 2012.
            Awal dari ruwatan rambut gimbal adalah Kirab. Kirab merupakan arak – arakan menujur prosesi pencukuran rambut gimbal. Arak – arakan ini dikawal oleh para sesepuh, para tokoh masyarakat, kelompok paguyuban dan seni tradisional, dan masyarakat. barisan kirab diawali oleh pengawal utama yaitu 2 tokoh sesepuh yang disebut cucuk ing ngayodya, kemudian diikuti oleh pembawa dupa, para prajurit pembawa pusaka, dan diteruskan dengan pemabawa bunga.
            Barisan diteruskan dengan para pembawa permintaan anak rambut gimbal, barulah diikuti oleh barisan anak rambut gimbal yang menaiki andhong atau kereta kuda, dan barisan terakhir ditempati oleh kelompok seni tradisional yang nantinya akan menghibur penonton. Selama kirab, juga disertakan beragam sesajen. Seperti aneka jajan pasar, kelapa hijau, aneka buah – buahan hasil panen, pisang raja emas, kinang, alat rias dan beragam cangkir yang berisi 14 macam minuman.
            Setelah tiba di lokasi, anak rambut gimbal akan dibawa ke Sendang Sedayu, untuk menjalani prosesi jamasan atau keramas. Acar didahului dengan pembacaaan mantra dan doa oleh Mbah Naryono, barulah anak rambut gimbal di keramas. Air untuk keramas juga ditambahkan bunga 7 rupa dan air dari beberapa telaga dan sungai di sekitar dataran Dieng.
            Selesai pencukuran, barulah anak rambut gimbal dicukur. Prosesi ini dilakukan di depat pelataran Candi Arjuna. Candi Arjuna dipilih karena, dalam bahasa Arab, Arjuna berarti pengharapan. Dari arti ini, di ambil filosofi agar nantinya, sang anak bisa menjadi harapan bagi banyak orang.
            “Pencukuran untuk tahun 2011 tidak di depan Candi Arjuna, tetapi di Candi Puntadewa. Ya tempatnya lebih luas dan dalam perwayangan Puntadewa adalah kakak dari Arjuna, jadi kita mau memberikan penghormatan kepada sosok yang lebih tua,” kata Ilham.
            Selesai pencukuran, para penonton yang hadir dan si anak gimbal akan dihibur oleh beragam kesenian daerah. Selain hiburan, biasanya ditutup dengan ngalap berkah. Kegiatan ini adalah memperbutkan sesaji dan tumpengan. Dipercaya, bisa membawa berkah bagi yang berhasil mendapatkannya.
            Rambut gimbal yang telah dipotong tidak lantas dibunang begitu saja. Rambut yang telah dipotong tetap diperlakukan secara hormat.
            “Setelah dipotong, dibungkus dengan kain mori berwarna putih, kemudian akan dilarung atau dihanyutkan di sungai Serayu atau di Telaga Warna,” ujar Ilham Hasan.
            Pelarungan ini mempunyai makna, mengembalikan apa yang telah dititipkan selama ini. Rambut gimbal nantinya akan hanyut dan meuju ke Laut Selatan. Dipercaya, penguasa Laut Selatan lah yang membantu mewujudkan janji dari Kyai Kolodete.
        TERLEPAS dari semua kemistisannya, anak rambut gimbal adalah wujud dari sebuah keanekaragaman budaya. Acara ruwatan tidak hanya sekedar prosesi formalitas saja, Alif mengatakan bahwa acara tersebut merupakan bentuk komunikasi dengan para leluhur. Mereka mengulang kembali apa yang telah dilakukan ratusan tahun silam.

            “Kalau kita baik kepada alam, kita menghormati budaya, mengorhami leluhur, pasti akan ada balasannya. Lewat Dieng Culture Festival (DCF) ini, warga sekitar untung banyak. Dari yang jualan souvenir, yang punya warung makan, yang punya homestay, sampai tukang parkirpun dapat rezeki. Dan alhamdulilah, berkat DCF, Dieng menjadi salah satu destinasi yang diikutkan dalam program pemerintah, Visit Jawa Tengah 2013,” ujar Alif sambil menyeruput teh di ruang tamunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar