Rabu, 19 Juni 2013

Sosok Kapal Angkutan di Jakarta

Oleh Rio Jerry


Perjalanan Menuju Pulau Tidung

Pelabuhan Muara Angke di pagi hari tampak sudah ramai dengan para nelayan dan para pedagang ikan padahal waktu masih menujukkan pukul lima pagi. Bau khas ikan terasa pada tiap-tiap jalan. Untuk menuju Pulau Tidung kami akan menaiki salah satu kapal angkutan umum di Indonesia.

Kami memulai perjalanan dengan menaiki kapal angkutan umum. Suasana dalam kapal terlihat sepi, dengan sekitar sebelas orang pengunjung lain dengan tujuan yang sama yaitu Pulau Tidung. Umur mereka rata-rata sekitar 40-50 tahun dan mereka memiliki ciri khas daerah yang terlihat dengan jelas dari penampilannya.

Beberapa orang tampak sedang mengobrol satu sama lain, ada yang tidur, ada yang makan kacang, dan kami pun sibuk mengobrol sambil menikmati suasana sebelum kapal berangkat. Langit di luar sudah mulai tampak cerah, menunjukkan matahari mulai muncul di angkasa. Pengunjung masih berdatangan sampai jadwal berangkat yang ditetapkan yaitu jam enam pagi. Sambil ditemani lagu dangdut, pengunjung tampak santai menikmati suasana kapal. 

Dalam kapal sendiri, hanya terdapat dua lampu yang masing-masing berada pada ujung kapal. Di dalam kapal ini pengunjung dapat santai karena rongga kapal yang luas dan lapang, tampak dapat menampung sekitar 50-70 orang sekaligus. Dinding kapal dihiasi oleh pelampung-pelampung keselamatan dan jaket-jaket keselamatan. Atap kapal sendiri per ruangnya tidak terlalu tinggi. Sekitar 180 cm – 190 cm berdasarkan perbandingan dari tinggi badan orang dewasa. 

Lantai-lantai kapal dilapisi dengan kertas tikar berwarna biru. Kapal ini biasa mengangkut berbagai barang-barang sehingga di dalam kapal tampak banyak sampah juga di sisi-sisi kapal sehingga kurang bersih bagi pengunjung. Hal ini juga disebabkan karena ada juga pengunjung yang makan dan kurang menjaga kebersihan kapal. 

Di luar kapal, suasana penuh dengan kapal-kapal lain yang masih berlabuh. Di atas kapal sendiri terdapat sepeda yang menggantung milik seorang pengunjung. Suasana deru mesin kapal-kapal lain terdengar keras. Di setiap kapal terdapat salah satu ciri khas yaitu bendera merah putih, yang melambangkan  rasa nasionalitas bangsa. Kapal angkutan ini juga memiliki lantai atas, tempat pengunjung beristirahat dan kargo barang sekaligus tempat nakhoda mengemudikan kapal dengan roda kemudinya.



Suasana di Pelabuhan Muara Angke, Kamis 23 Mei 2013

Memasuki pukul enam pagi, pengunjung-pengunjung mulai ramai berdatangan dan banyak barang yang masuk. Kendaraan seperti motor juga dinaikkan diatas kapal sekalipun dengan beberapa kesulitan. Beras, ayam, tahu, kopi, melon, pisang, sayuran, mie, kue-kue, merupakan beberapa barang lain yang diangkut. Barang-barang ini ada yang ditaruh di dalam kapal dan ada pula yang diikat di depan rongga kapal. 

Memasuki jam tujuh, kapal mulai dipanasi setelah sudah mulai banyak pengunjung yang naik. Sekarang jumlah pengunjung kira-kira mencapai 40-50 orang di dalam kapal, belum diitung yang berada di lantai dua. Kapal yang seharusnya berangkat jam enam pagi, jadi jalan jam setengah delapan pagi karena menunggu penuh. Suasana kapal sekarang sangat berisik dan tampak pengap karena banyak pengunjung.

Banyak orang yang memilih untuk duduk dan bersantai di atas atap kapal. “Udaranya adem,” kata Surjadi salah satu pengunjung yang duduk bersama temannya di samping bendera merah putih. Walaupun sedikit berbahaya, hal ini tidak membuat para pengunjung mengurungkan niat untuk bersantai di atas atap kapal. Kebanyakan orang-orang muda yang duduk di atas kapal, bahkan ada juga yang makan di atas kapal. Bendera merah putih sekarang berkibar dengan perkasa di atas atap kapal, bendera ini merupakan simbol kebanggaan bagi pengunjung dan nakhoda kapal.


Surjadi menghisap rokok sambil duduk diatas atap kapal, Kamis 23 Mei 2013

Nakhoda kapal tampak sangat santai mengemudikan kapal. Kemudi roda dipegangnya dengan tangan kiri, sambil tangan kanannya mengusap sebatang rokok. “Saya sudah bekerja selama 7 tahun,” kata Nur sembari tangannya masih memegang kemudi kapal. 

Saya kemudian mewawancari salah satu pengunjung, namanya Kaka yang tampak sudah memasuki umur 50 an dan bekerja sebagai penjual barang material di Pulau Tidung. Kaka yang merupakan penduduk asli Pulau Tidung mengatakan bahwa kapal angkutan biasanya sampai ke Pulau Tidung dalam kurun waktu dua – tiga jam. “Saya biasa bawa barang dari Jakarta,” kata Kaka sambil tertawa. Suara Kaka sendiri terdengar kecil dan halus. 

“Pengunjung yang datang ke Pulau Tidung pada hari-hari biasa ramai, apalagi pada hari-hari besar atau liburan,” lanjutnya. Kaka sendiri menceritakan bahwa hari biasa seperti ini masih enak karena rongga kapal masih terasa cukup luas, tampak beberapa yang tidur sambil melipat kaki. “Apabila hari besar atau liburan, semua orang  hanya dapat berdiri atau duduk.”

Sekarangpun ada sekelompok orang yang berdiri di bagian belakang kapal. Kapal angkutan ini tampak kurang dalam hal keselamatan. Jaket dan pelampung keselamatan yang ada di dalam kapal hanya tampak sedikit. Kami sampai di tempat tujuan yaitu Pulau Tidung pukul sebelas pagi. Perjalanan dari Jakarta menuju Pulau Tidung mencapai tiga jam setengah. 

Perjalanan Balik ke Pelabuhan Muara Angke, Jakarta

Suasana pelabuhan di Pualu Tidung tampak jauh berbeda dengan pelabuhan Jakarta. Pelabuhan Pulau Tidung tampak sepi, hanya terdapat beberapa pengemudi benmor (becak motor) yang menunggu turis menggunakan jasa mereka.
Kapal yang kami naiki untuk kembali ke Jakarta tampak lebih mewah dibandingkan kapal pada saat kami berpergian. Kapal ini juga memiliki dua lantai tetapi hal yang membedakan adalah tidak adanya barang-barang seperti barang makanan atau kebutuhan pokok yang diangkut oleh kapal ini. 

Dalam rongga kapal sendiri jauh lebih luas dibandingkan dengan kapal pertama, suasana dalam kapal juga tampak lebih bersih dan sejuk. Tampaknya kapal ini memang khusus hanya untuk mengantar pengunjung ke Jakarta. 

Waktu kepergian juga tidak terlalu telat, kapal berangkat pukul sepuluh pagi yang seharusnya berangkat pukul setengah sepuluh. Sikap para pengunjung tidak jauh berbeda, ada yang tidur, ada yang makan, dan ada yang banyak sibuk mengobrol satu sama lain. Ada pula banyak orang yang memilih untuk duduk atau bersantai di atas atap kapal. Hal ini tampak biasa dan dimaklumi oleh pengunjung-pengunjung lain. Meskipun berbahaya, hal ini tetap dilakukan oleh beberapa pengunjung sampai pada saat kapal berlabuh di Jakarta.



Beberapa pengunjung yang memilih untuk duduk di atas atap kapal, Sabtu 25 Mei 2013

“Sampai pelabuhan semua turun ya,” sahut Naas sang nakhoda kapal. Naas sendiri tidak keberatan terhadap sikap pengunjung yang memilih untuk duduk dan bersantai di atas atap kapal, hanya saja ia tidak mau saat sudah mau sampai pelabuhan orang-orang masih duduk di atas atap kapal.

Salah satu hal yang paling membedakan kapal kedua ini adalah deru mesin yang sangat keras di dalam kapal, jauh melebih kapal pertama. Perjalanan dari Pulau Tidung menuju Jakarta hanya memakan waktu dua setengah jam, jauh lebih cepat dibandingkan dengan saat pergi.

Setelah kapal sampai di pelabuhan Muara Angke, kapal berhenti di samping kapal-kapal lain. Para pengunjung pun mulai bergegas membawa barang bawaan masing-masing untuk keluar dari kapal. Uniknya, karena kapal berhenti di samping beberapa kapal lain, membuat para pengunjung harus berjalan melewati beberapa kapal-kapal lain.

Kami pun melakukan hal yang sama, berjalan dan melompati rongga kapal-kapal lain. Ada beberapa orang yang berusaha membatu keluarga atau teman melewati rongga-rongga kapal. Setelah melewati sekitar tiga atau empat kapal, kami akhirnya sampai di pelabuhan Muara Angke. 

Di pelabuhan sendiri kami pun menjumpai hal yang mengherankan. Banyaknya manusia yang berada di pelabuhan tersebut, ada yang berjualan, ada yang makan, ada yang berdiri menunggu kapal, dan lain-lain. Untuk keluar dari pelabuhan sendiri memerlukan perjuangan karena lautan manusia yang membuat antrian sering berhenti.



Pengunjung bersantai di atas atap kapal, Kamis 23 Mei 2013

Hal-hal unik yang harus diperhatikan adalah bagaimana sikap pengunjung yang menaiki kapal angkutan umum, peralatan keselamatan bagi penumpang yang masih kurang, kebersihan kapal, serta pelayanan pelabuhan. Hal ini harus dibenahi oleh pemerintah agar transportasi laut di Jakarta dapat lebih berkembang.

Rio Jerry
12140110333

Tidak ada komentar:

Posting Komentar