Kerasnya hidup di ibukota dan
persaingan mencari perkerjaan, bukan menjadi sorotan utama masyarakat daerah
yang tiap tahun terus meningkat, dari jumlah penduduk yang datang. Masalah yang
datang silih berganti menjadikan suatu keanekaragaman yang tak pantang surut
untuk selalu menghiasi indahnya ibukota. Keterampilan dan keahlian khusus
menjadi tuntutan utama dalam memperoleh suatu kehidupan yang layak, namun tak
sedikit orang yang mencari jalur yang cepat untuk menyambung hidupnya.
Lampu sein berkedip, berbagai jenis
motor roda dua menepi di sepanjang Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Tak jauh
dari tempat lokalisasi yang terkenal dengan sebutan ‘Kali Jodoh’. Tak sedikit
niat dari para pengemudi untuk menghindari situasi itu, apa daya harapan itu
pupus ditengah kepanikan dan ketakutan melawan aparat keamanan yang sudah
berbaris rapi seperti pagar betis.
Suasana malam itu terpecah dengan riuh
suara pengendara dan mesin, bercampur asap yang mengepul dari knalpot.
“Aduh
pak...” Ujar seorang pria muda, tanpa menggunakan helm, anting di kuping kiri,
dan bertato bergambar burung elang.
“Aduh
kenapa lagi kamu ini? Coba kamu menepi ke sebelah sana.” Ucap aparat kepolisian itu sambil menunjukan arah
yang harus dituju oleh Mamat, dengan arah mata yang berlainan arah sambil
memantau pengguna sepeda motor lainnya.
Pria itu berusia 27 tahun, sedikit
geram terlihat dari air mukanya. 300 ribu melayang dari dompet kulit berwarna
coklat bata yang sudah kusam dan robek pada bagian ujung – ujungnya. Pantas
saja, Mamat yang merupakan salah satu penjaga salah diskotik di daerah Kota Tua
harus mengeluarkan uang begitu banyak karena Ia tidak mau berlama – lama dengan
polisi itu. Sim C, STNK, dan tidak menggunakan helm adalah salah satu faktor
denda yang harus ditanggungnya.
Tak kurang dari 70 sepeda motor yang
diberhentikan, guna melakukan pengecekan kelengkapan surat – surat motor dan
surat izin mengemudi serta kelengkapan berkendara. Tak sedikit pula pengendara
sepeda motor yang lolos karena sesuai prosedur berkendara dan dapat melanjutkan
perjalanan di malam yang hampir subuh itu.
***
Lain halnya dengan pria satu ini, Londo.
Pria berkumis lebat, berkaca mata kotak dan berambut ikal serta memiliki mata
yang sayup itu tak gentar melawan gertakan polisi saat razia, sedikit adu mulut,
tawar menawar yang alot, akhirnya keputusan jalan tengah diambil, dengan
‘damai’ seharga 40 ribu, dirinya dapat terlepas dari razia.
Berbeda dengan pengemudi lainnya,
mereka terlihat tertekan, gugup, dan pasrah apa adanya. Mengakui kesalahan,
atau dimanfaatkan dikala sanksi yang memberatkan diberikan kepada mereka yang
tidak taat dalam berlalu lintas.
Kesalahan dalam penggunaan wewenang
kepada masyarakat sering terlihat dalam lingkup kota metropolitan. Pria yang
memiliki 2 kesalahan itu akibat tidak memakai helm dan harus rela mengeluarkan
uang dari isi dompetnya.
Kesalahan itu
sesuai dengan pasal 106 ayat (5) disebutkan bahwa:
Pada saat
diadakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor wajib menunjukkan: a. Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor; b. Surat Izin Mengemudi.
Jika tidak bisa
menunjukkan STNK sanksi lebih besar, lihat pada Pasal 288 ayat (1) setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dilengkapi
dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan
Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah).
Terlihat dari pasal tersebut dan tertera
nominal denda yang sebanyak itu, tidak masuk akal bila hampir setiap uang yang
dibawa sebesar itu untuk berjaga – jaga disaat menggunakan kendaraan bermotor.
Untuk memperoleh titik hasil dari total denda yang diterima, seharusnya melalui
jalur pengadilan, dan menghadiri sidang di Pengadilan Negeri sebagaimana
mestinya dalam menyelesaikan perkara kasus penilangan.
***
Saling adu mulut, kesal, hingga tawar
menawar terjadi di pinggir jalan raya yang menghubungkan Kota Tangerang dengan
wilayah Jakarta Barat. Sekitar 75% pengemudi sepeda motor yang bermasalah
berakhir dengan meyelesaikan perkara melalui jalur ‘damai’ dengan aparat keamanan
lalu lintas.
Mereka beranggapan bahwa, dengan memilih
jalur ‘damai’ maka akan mempercepat terselesaikan masalah dan dapat langsung
melanjutkan perjalanan. Ketimbang mereka harus mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan, yang nantinya akan berujung pada ‘dana’ yang dikeluarkan. Menunggu
kurang lebih 1 bulan hingga jadwal surat persidangan digelar, surat – surat
berkendara ditahan sebagai sanksi atau hukuman.
“Yah,
daripada nunggu birokrasi yang lambat, mending damai aje. Itung – itungannya
sama aja kok. Mesti bayar calo lah, bensin ke tempat pengadilan. Mending deket
dengan rumah, klo jauh? Hahaha.. capek lah klo ngikutin aturan. Jalan cepet
aja, tekor dikit ga apa, yang penting kelar, khn enak tuh.” Menurut Londo, salah satu pengemudi yang tidak menggunakan
helm.
***
Disisi lain, bilik berukuran kira – kira 3 x 4,
berdebu, bercelah dengan penutup lapisan kawat kotak – kotak terlihat kumuh dan
sempit. Hanya tersedia alat tulis kantor, sepasang meja dan kursi, serta jam
dinding yang senantiasa berputar. Loket itu tampak ramai dikerumuni oleh orang
– orang yang mempunyai tujuan sama, yaitu mengambil SIM / STNK. Berlokasi dalam
satu kompleks yang berada di pusat Kota Tangerang. Berderetan dengan kantor
imigrasi, kantor kejaksaan negeri, dan masih banyak kantor instansi lainnya. Letak
Pengadilan Negeri kelas 1 Tangerang berada pada ujung jalan dekat dengan lampu
merah, sebelum kantor kejaksaan dan kodim 05/06. Disana merupakan tempat untuk
menindak lanjuti kasus pidana atau perdata berfungsi sebagai tempat memeriksa,
memutuskan dan menyelesaikan tiap kasus yang digelar. Termasuk kasus penilangan
yang terjadi pada saat razia. Barang bukti hasil penilangan akan diambil beserta
pembayaran denda dari hasil keputusan sidang yang dilakukan oleh hakim.
![]() |
Jalan Taman Makam Pahlawan Taruna merupakan jalur menuju
Pengadilan Negeri kelas 1A, Kota Tangerang.
|
![]() | |
|
***
Disuatu sisi sudut area Kantor Pengadilan Negeri itu,
tepatnya di muka jalan, lebih dari lima belasan pria berumur kurang lebih 27
tahun ke atas bersenda gurau dan sesekali memalingkan muka ke arah jalan raya,
sepintas terlihat seperti sedang menunggu rekan atau kerabat yang akan
melintasi di muka jalan.
Perkerjaan
sebagai joki pungli (pungutan liar) atau calo memang sudah tak heran didengar
dan menjadi rahasia publik halnya di negara tercinta ini, praktik korupsi
seakan menjadi teman dalam setiap perkerjaan yang dinaungi. Hal itu merupakan
suatu tuntutan kehidupan yang harus dijalani dalam menyambung kehidupan.
Kerasnya kehidupan membuat sebagian orang menghalalkan segala pekerjaan yang
dilakoninya.
Berpenghasilan
seratus ribu hingga tiga ratus, membuat pria kelahiran Majalengka ini mampu
menghidupi keluarganya. Dirinya merasa bahwa perkerjaan yang digelutinya
merupakan perkerjaan yang mulia, karena hal yang ditawarkan adalah membantu
untuk mempermudah pelanggan dalam mengatasi kesulitan, bukan halnya membunuh
atau merampok.
![]() |
Kantor Pengadilan Negeri kelas 1A, Kota Tangerang.
|
Tidak
sedikit masyarakat lebih memilih menggunakan jasa calo, daripada mengurusnya
sendiri. Dalam menggunakan jasa calo, mereka mendapatkan kemudahan yang
sebanding dengan apa yang telah mereka bayar. Memilih menggunakan jasa calo
dikarenakan waktu yang lenih singkat bahkan jauh dari kata ‘dipersulit’ oleh
anggota birokrasi yang bertugas. Banyak hal yang dapat digunakan untuk mengulur
– ngulur waktu dalam penyelesaian suatu masalah, terutama dalam hal sidang kasus
tilang.
Wanita
itu terlihat panik, 2 jam sudah berlalu, dengan berbagai berkas yang tergulung,
terlihat tidak rapi terus digenggamnya.
Salah seorang pegwai bank ternama di Indonesia menuturkan
pengalaman tentang mengurus sidang pengambilan SIM di kantor Pengadilan Negeri
kelas IA, Kota Tangerang.
“Iya nih, dari
tadi gak kelar urusannya, nunggu hakimnya lama.” Ungkapnya dengan nada kesal.
Memang dana yang
dikeluarkan tergolong sedikit, dibandingkan dengan menggunakan jasa calo yang
mematok harga hampir 2x lipat dari harga sebenarnya.
Ibu dari satu
orang anak ini hampir sempat putus asa dalam mengikuti tahapan pengambilan
barang bukti penilangan.
Wanita berpotongan rambut bob,
sekilas mirip artis Yuni Shara ini meyakinkan bahwa dirinya sudah dipersulit dengan
aturan – aturan yang ada.
“Sebenernya
tinggal kasih slip merah ke loket pengadilan, trus dapat nomer urutan sidang, dipanggil
oleh hakim dan keluarlah nominal denda yang harus dibayar untuk menebus sim
nya” tutrnya sembari mengusap dahi yang sudah berkeringat.
***
Sopian, sudah menjalani sebagai calo
sejak awal tahun 2011. Masih tergolong mudah dalam menjalani pekerjaan sebagai
penyambung tangan dalam urusan pengambilan SIM / STNK di kantor pengadilan
negeri.
Dirinya mengakui, sejak awal
berangkat dari kampungnya, Majalengka, dirinya mengakui telah menjadi calo juga
sebagai perantara dalam pembuatan SIM / STNK di daerah kampungnya. Berkat
pengalaman itu, dirinya membranikan diri menginjakan kaki di kota yang terkenal
akan stadion benteng nya.
Pria yang memiliki tiga orang anak
dari istri bernama Mardiyah menghidupi keluarga dengan menjadi calo di kantor
pengadilan negeri. Berasal dari keluarga yang memiliki ekonomi kelas menengah
kebawah, dirinya merasa sudah mampu menyekolahkan ketiga anaknya yang masih
duduk di bangku sekolah. Keberanian dalam menginjakan kaki di Kota Tangerang
bukan semata ingin terlihat kampungan atau gengsi. Keahliaanya dalam ‘melobi’
kepada orang yang membutuhkan pertolongan dirinya sudah kental sejak menjalani
profesi yang serupa di kampung halamannya.
“Di kampung
gampang sekali di lacak, trus juga namanya di kampung ya ga enak juga sama
tetangga, keluarga. Kecil juga ‘tip’ nya gak cukup lah buat dapur ngebul.”
Ujarnya.
![]() |
Salah satu upaya pihak
pengadilan dalam mengurangi tindak korupsi pada spanduk yang bertuliskan
“Hindari calo” pada salah satu lokasi yang berada di Kantor Pengadilan Negeri
kelas 1A, Kota Tangerang.
|
Lahan percaloan tidak hanya
membodokan masyarakat, tetapi tanpa disadari menyeluruh hingga ke akarnya.
Jalur pintas menjadi pilihan utama dikala suatu keadaan terdesak atau tidak
dilakukan dengan pikiran yang tenang. Kembali kepada diri sendiri, kita ingin
berupaya meminimalisir atau menyuburkan.
Dilematik dari potret kehidupan para
pekerja calo sangat kompleks, disatu sisi kebutuhan sandang pangan untuk
membiayai keluarga sangat memberatkan bila di kota – kota besar, tak hanya itu
saja, kebutuhan yang lain pun harus terpenuhi walau hanya dapat dicapai
seminimal mungkin. Disisi lain, ‘lahan basah’ ini sudah menjamur dan sulit
untuk diberantas, setidaknya lebih baik mengurangi daripada tidak sama sekali.
_________________________________________________________________Penulis:
Servulus Armando Dje - 11140110039
Tugas Ujian Akhir Semester - Penulisan Feature
kelas B1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar