Selasa, 18 Juni 2013

Sebutir Kisah di Pulau Tidung

Oleh Stefanny Nadhia (11140110174)
 
      Puluhan kapal feri di Muara Angke memenuhi pinggiran dermaga. Satu demi satu kapal mulai mengangkat jangkar dan bergerak. Perlahan coklatnya air laut dan kumpulan sampah jauh terhempas. Beberapa tetes air mulai jatuh dari atap, melewati dinding kapal yang masih terlihat kokoh. Sesaat membasahi terpal tempat duduk para penumpang.
Ramainya kapal feri saat berangkat
            Angin laut berhembus masuk menyusuri setiap sisi kapal. Dari kejauhan, air laut menderu, terhempas kayu kapal. Lama rasanya waktu perjalanan ke Pulau Tidung. Dua setengah jam dari dermaga Muara Angke bila menggunakan kapal feri. Transportasi kapal menuju Pulau Tidung tidak hanya melalui dermaga Muara Angke saja. Namun, Rawa Saban dan Tanjung Pasir bisa menjadi alternatif lain untuk sampai ke sana.
            “TET...!TET….!” kapal mulai merapat. Air semakin terlihat jernih seperti sebuah kaca. Kehidupan bawah laut terlihat begitu jelas dari atas kapal. Sekelompok ikan berenang menjauh. Kekokohan karang masih berada di tempatnya, tak terusik hempasan air yang ditimbulkan saat kapal mulai menepi.
Semua pengorbanan atas rasa lelah dan berdesakan di kapal feri terbayar sudah. Pulau Tidung besar memiliki total wilayah mencapai 50,13 Ha terlihat sudah. Hijaunya pepohonan menjulang tinggi menampakkan kehidupan yang ada. Banyak pemandu wisata yang berlalu-lalang menunggu para wisatawan yang datang memenuhi pelabuhan Pulau Tidung saat itu.
“Selamat datang di Pulau Tidung”
Kalimat ini memulai perjalanan saya menyusuri jalan-jalan kecil di Pulau Tidung. Pulau yang terbagi menjadi dua bagian antara pulau Tidung besar dan Tidung kecil ini memiliki jarak yang berdekatan. Sebuah jembatan yang dinamakan jembatan cinta dengan panjang lebih dari 700 meter menghubungkan kedua pulau itu. Tidak ada penduduk yang hidup dalam pulau Tidung kecil yang memiliki luas sekitar 17,40 Ha ini. Penduduk hidup dan melakukan aktifitas sehari-hari hanya di Pulau Tidung besar.
Suasana perumahan di Pulau Tidung
Tempat bermukim penduduk Pulau Tidung besar layaknya sebuah perumahan biasa. Rumah-rumah penduduk yang terbuat dari bahan dasar terumbu karang mati berjejer kokoh berdampingan. Ditambah dengan variasi warna cat yang mewarnai rumah di pulau itu. Beberapa pekarangan penduduk terbuka begitu saja tanpa dijaga oleh pagar.
            Jalan sempit dan padat memaksa warga pulau untuk menggunakan kendaraan tertentu. Hanya kendaraan kecil seperti motor, sepeda, dan becak motor yang dapat melewatinya. Kendaraan becak motor yang kerap disebut bintor ini rasanya terdengar asing di telinga. Dua kendaraan yang biasa kita temui di jalan ibu kota digabungkan menjadi satu. Bentuk kendaraan ini tetap sama seperti becak pada umumnya. Hanya berganti kemudi dari sepeda menjadi motor. Dulu, kendaraan mobil pernah ada di pulau ini. Namun, tikungan tajam dan penduduk yang lalu lalang menjadi alasan mobil itu keluar dari pulau.
            Pulau Tidung tidak menggunakan nama di setiap jalannya. Sedikit membingungkan bagi para wisatawan yang tidak mengingat jalan. Namun, tidak perlu khawatir. Cukup dengan menghafal nomor RT dan nomor rumah, kita dapat bertanya pada penduduk sekitar seputar lokasi rumah yang dituju.
Di Pulau Tidung yang memiliki jumlah penduduk sekitar 4.151 jiwa ini terdapat tiga masjid dan sembilan musholla. Banyaknya tempat ibadah menandakan pengaruh agama Islam yang kuat di pulau Tidung ini. Hal ini dapat terlihat dari seluruh penduduknya yang seorang muslim.

 
Musholla yang sedang dibangun

Meskipun terdiri dari berbagai suku, masyarakat mengadaptasi adat dan budaya Betawi. Struktur bangunan dan nama-nama penduduk yang khas Betawi menandakan pengadaptasian tersebut. Misalnya pemilik warung sembako pertama dan satu-satunya di Pulau Tidung pada tahun 1980an, Haji Ropi’ah.
            Tentu bukan hanya penduduk kota saja yang dapat menikmati kemudahan layanan internet. Di tahun 2006/2007, akses internet telah masuk dan dapat dinikmati penduduk setempat dengan media komputer. Namun, internet belum difungsikan secara optimal. Penduduk lebih memilih menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas seperti menonton televisi dibandingkan berlama-lama mengakses internet.
Keterbatasan bahan bakar yang ada telah memaksa para penduduk setempat menjual secara eceran. Eddi, salah satu penduduk mengaku, sudah dua hari pasokan gas elpiji tiga kilogram terhenti. Tanpa kepastian, penduduk setempat menantikan para pengecer yang membeli gas di Jakarta.
            Dengan kondisi seperti itu, penduduk setempat masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal. Keterbatasan bahan bakar  tidak membuat mereka kesulitan. Kayu pun dijadikan sebagai bahan bakar alternatif yang dipilih penduduk.
            Jakarta, tempat dimana penduduk Pulau Tidung memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena tanah yang tidak mendukung untuk bercocok tanam, penduduk setempat harus berlayar menyeberangi laut untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan.

Beberapa bahan baku dari Jakarta

    
        Kehidupan penduduk yang dikelilingi laut ini tidak hanya terpaku pada nelayan saja. Walaupun, prosentase dari mata pencaharian ini sebesar 90%. Berbagai usaha pun di buka di pulau ini seperti warung sembako, kedai makan, sewa rumah untuk home stay, dan lain-lain.
            Rata-rata anak remaja Pulau Tidung memiliki kerja sambilan sebagai tour guide. Selain sebagai tour guide, beberapa remaja lainya memutuskan untuk menjadi nelayan, membuka warung, menyewakan alat permainan di laut, bahkan ada yang merantau.
Bekerja di kota pun menjadi pilihan beberapa penduduk. Mereka harus berangkat subuh menuju pelabuhan dan menaiki kapal feri. Berdesakan dengan para penduduk lain dan wisatawan menjadi konsekuensi yang mereka ambil setiap harinya.
Suasana Pulau Tidung saat Sunset
            Selepas bertanya dengan penduduk sekitar, tanpa disadari matahari semakin naik hingga berada tepat di atas kepala. Cahayanya menyinari setiap sisi jalan sepanjang pulau itu. Semilir angin segar berhembus. Tidak ada kepulan asap hitam yang menganggu pemandangan. Pepohonan rindang menjulang tinggi di sekitar hutan yang belum terjamah bangunan. Keindahan yang sulit ditemui di daerah perkotaan.
            Saat hari menjelang sore, saya menikmati jejeran rumah penduduk setempat dengan menaiki sebuah sepeda gunung berwarna merah jambu. Berkeliling untuk melihat aktivitas penduduk. Di sela-sela menikmati matahari terbenam, senyum ramah penduduk masih saja terlihat menyambut di sisi jalan. Sejak tahun 2007, penduduk telah terbiasa dengan kehadiran para wisatawan. Tidak heran bila mereka bersikap ramah dengan pendatang di pulau ini, termasuk Mas Eddi selaku pemandu travel yang saya ikuti.
            Sarana prasarana pendukung telah tersedia di pulau yang tercatat sebagai gugusan terbesar dalam Kepulauan Seribu. Pulau besar yang memiliki kantor kelurahan Pulau Tidung dan kecamatan Kepulauan Seribu Selatan berkembang layaknya sebuah kota. Fasilitas umum seperti sekolah dan layanan kesehatan di pulau ini memiliki kondisi yang baik dan terawat. Bahkan di kantor kecamatan terdapat mesin ATM. Meskipun, tidak terdapat bank.
             Kesehatan penduduk pun tentu menjadi mayoritas utama. Sarana kesehatan seperti Pukesmas Terpadu dan Posyandu telah disediakan oleh Pemerintah Kabupaten guna memfasilitasi pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi penduduk setempat. Penggunaan kartu kesehatan dapat mempermudah penduduk untuk mendapatkan sarana ini dengan harga terjangkau. Selain, sebagai sarana kesehatan, lapangan depan Pukesmas yang biasa digunakan sebagai lahan parkir dapat dialokasikan menjadi aktivitas olahraga para ibu.
            Para dokter yang bekerja di Pukesmas Pulau Tidung bukan hanya berasal dari penduduk pulau sendiri. Beberapa dokter yang ada di kota berlayar dan mengabdikan diri membantu penduduk yang membutuhkan.
Sekolah di Pulau Tidung
            Pendidikan pun tidak luput tertinggal dari fasilitas pulau ini. Fasilitas gedung sekolah dasar sampai menegah kejuruan ada di sana. SMK 61 yang berlokasi di dekat jembatan cinta mengajarkan mitra perkantoran, akuntansi, NKPI pelayaran, Bill perikanan. Para pengajar yang berdomisili di Pulau Payung harus berlayar dahulu menggunakan kapal untuk sampai ke Pulau Tidung. Waktu yang ditempuh sekitar dua jam dengan kapal feri yang saya tumpangi saat datang ke pulau ini.
            Bagi para siswa yang ingin melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah, mereka dapat berlayar keluar pulau dan mencari universitas yang mereka kehendaki. Keluar dari pulau dan menetap sementara di rumah yang dikontrakan menjadi pilihan mereka.
            Berjalan-jalan dan menikmati suasana asri Pulau Tidung, rasanya tidak lengkap jika tidak mencicipi cinderamata khas pulau ini. Dengan kondisi laut yang mengelilingi pulau, tak heran jika ikan dan rumput laut menjadi bahan utama dari makanan khas yang ditawarkan. Kerupuk ikan cue, tangkue, kerupuk ikan, dan keripik sukun menjadi beberapa cinderamata yang wajib untuk dibawa pulang bila para wisatawan ke sana.
            “Sukun rasanya enak mbak,” ujar Mas Eddy sambil tertawa saat saya bertanya seputar makanan khas Pulau Tidung.
            Keripik sukun telah menjadi salah satu makanan favorit penduduk Pulau Tidung. Selain menjadi makanan favorit penduduk, keripik ini banyak digemari para wisatawan untuk cinderamata. Makanan ringan satu ini diracik sedemikian rupa dengan bumbu khas pulau Tidung sehingga menciptakan cita rasa yang unik, gurih, dan renyah.
            Selain, makanannya yang khas, Pulau Tidung memiliki sejarah unik yang hidup didalamnya. Nama-nama tokoh yang hidup dijaman penjajahan dan menentang secara aktif menjadikan mereka pahlawan yang perlu dikenang. Dibalik keindahan Pulau Tidung masa kini, tersimpan beberapa sejarah di dalamnya.
            Menurut cerita, penduduk Pulau Tidung terbagi menjadi dua suku keturunan yaitu suku Tidung Kalimantan Timur yang dibawa oleh Raja Pandita dan suku Tidung Banten yang dibawa oleh Ki Turuf yang biasa dikenal dengan Panglima Hitam dari Kerajaan Syarif Hidayah Tullah Cirebon. Namun, nama Tidung sendiri tetap berasal dari pemberian Raja Pandita. Dua nama besar yang hidup dan wafat di pulau ini tentu menambah daya tarik Pulau Tidung.
            Tana Tidung merupakan nama tempat yang terdapat di daerah Kalimantan Timur desa malinau yang menjadi awalan dari sebuah nama pulau Tidung saat ini. Pemberian nama dari seorang raja suku Tidung yang terasingkan dari tempatnya sendiri oleh para kolonial Belanda. Beliau merupakan tokoh yang menentang secara aktif imperialisme Belanda hingga diasingkan dari tanah Tidung. Raja Pandita yang lahir tahun 1817 ini terasing di Pulau Jawa hingga ke Jepara, yang berlanjut ke sebuah pulau bernama pulau Air pada tahun 1892 yang sekarang dikenal dengan nama Pulau Tidung.
            Selama ratusan tahun tidak ada satu pun penduduk setempat yang mengetahui gelar yang disandang Raja Pandita sebagai seorang raja dari Kalimantan Timur. Sang Raja hanya memperkenalkan dirinya sebagai Muhammad Kaca tanpa membawa gelar rajanya. Di sanalah beliau bertemu dan menikahi seorang gadis Banten. Sampai meninggal pun, penduduk setempat hanya mengenal sosok Kaca sebagai penduduk biasa yang tidak berbeda dari yang lain.

Makam Raja Pandita
         
   Hingga suatu ketika, suku Tidung dari Kalimantan Timur datang dan mencari tahu seputar asal muasal nama pulau tersebut. Suku Tidung bertemu dengan keluarga Kaca. Mereka memberitahukan bahwa kaca merupakan nama panggilan Raja Pandita semasa kecil sebelum mendapat gelarnya saat ini. Pada akhirnya kedua belah pihak mengambil sebuah kesepakatan.  Nama pulau Tidung merupakan pemberian Raja Pandita sendiri yang berasal dari tanah Tidung Kalimantan Timur.
            Dari tahun ke tahun, Pulau Tidung mengalami kemajuan pesat. Pembangunan sarana prasarana sedikit demi sedikit telah berkembang. Kedai-kedai bertebaran, menjajahkan makanan dan minuman yang tidak kalah sedap dari perkotaan. Seiring bertambahnya jumlah para wisatawan, banyak dibukanya kios-kios yang menawarkan cinderamata khas Pulau Tidung. Berbagai permainan air pun ditawarkan dengan harga terjangkau.
“Perkembangan pulau ini sangat pesat. Saya sampai bertanya pada diri sendiri ‘ini saya ngimpi apa engga yah’," ujar Subagyo, pemilik home stay yang saya tempati.
            Pulau Tidung telah menjelma menjadi tempat wisata yang digemari banyak orang. Keindahan alam yang dapat dinikmati dengan harga yang terjangkau, tentu pulau ini sanggup menarik wisatawan lokal bahkan wisatawan  mancanegara. Namun, Pulau Tidung mempunyai banyak sisi kelam. Diantaranya, banyak ditemukan mayat yang terdampar di pulau ini. Beberapa mayat bahkan sudah tidak berbentuk utuh.          
            Yadi, seorang nelayan paruh baya yang menjadi saksi dari ditemukannya mayat di sekitar Pantai Tanjung Barat dan Tanjung Timur. 27 mayat ditemukan mengambang dan sudah membengkak. Identitas pun tidak diketahui kecuali dengan kartu tanda penduduk yang terselip di saku sang mayat.
            Kondisi mayat yang ditemukan pun beragam, ada yang masih utuh, ada pula yang sudah terpotong antara satu sama lain. Mayat yang ditemukan bukan salah satu dari penduduk Tidung. Orang-orang di luar sana mengakhiri hidupnya dan tubuh yang tidak bernyawa terbawa arus ombak laut. Mayat-mayat yang ditemukan dimakamkan di pemakaman penduduk pulau Tidung.
            “ Waktu saya sedang bekerja, saya menemukan koper. Saya pikir isinya harta. Ternyata mayat. Kode kopernya 261 271,” ujar Yadi sambil mengingat kejadian itu.
            Tingkat kejahatan di Pulau Tidung pun sangat rendah. Paling hanya anak kecil yang mengambil sandal para wisatawan yang dirasa mereka menarik. Biasa alasan mereka melakukan seperti itu karena orang tua mereka yang tidak sanggup memenuhi permintaan buah hatinya untuk membeli alas kaki yang baru.
            Belajar dan mencari tahu seputar pulau ini sangat menyenangkan hingga rasanya waktu berjalan begitu cepat. Tidak ada lagi berkeliling sepeda saat matahari mulai senja. Sama halnya seperti jembatan yang menghubungkan tidung besar dan tidung kecil, kisah saya selama di sana tetap akan terukir di kokohnya kayu yang tidak akan pernah hilang.
            Seiring hembusan air laut yang terhempas kapal, kian lama pulau itu tidak terlihat lagi. Kencangnya raungan mesin mendorong kapal untuk segera meninggalkan keindahan yang ditawarkan Pulau Tidung. Pulau itu kini tertutup kabut pagi dan perlahan menjadi siluet.

Nama : Stefanny Nadhia
NIM  : 11140110174
Kelas : B1

1 komentar:

  1. Jembatan cinta sudah selesai di perbaiki.
    sekedar info bagi yang ingin berkunjung ke tidung.

    BalasHapus