Puluhan kapal feri di Muara Angke memenuhi
pinggiran dermaga. Satu demi satu kapal mulai mengangkat jangkar dan bergerak.
Perlahan coklatnya air laut dan kumpulan sampah jauh terhempas. Beberapa tetes
air mulai jatuh dari atap, melewati dinding kapal yang masih terlihat kokoh.
Sesaat membasahi terpal tempat duduk para penumpang.
![]() |
Ramainya kapal feri saat berangkat |
Angin laut berhembus masuk menyusuri
setiap sisi kapal. Dari kejauhan, air laut menderu, terhempas kayu kapal. Lama
rasanya waktu perjalanan ke Pulau Tidung. Dua setengah jam dari dermaga Muara
Angke bila menggunakan kapal feri. Transportasi kapal menuju Pulau Tidung tidak
hanya melalui dermaga Muara Angke saja. Namun, Rawa Saban dan Tanjung Pasir
bisa menjadi alternatif lain untuk sampai ke sana.
“TET...!TET….!” kapal mulai merapat.
Air semakin terlihat jernih seperti sebuah kaca. Kehidupan bawah laut terlihat
begitu jelas dari atas kapal.
Sekelompok ikan berenang menjauh. Kekokohan karang masih berada di tempatnya,
tak terusik hempasan air yang
ditimbulkan saat kapal mulai menepi.
Semua
pengorbanan atas rasa lelah dan berdesakan di kapal feri terbayar sudah. Pulau
Tidung besar memiliki total wilayah mencapai 50,13 Ha terlihat sudah. Hijaunya
pepohonan menjulang tinggi menampakkan kehidupan yang ada. Banyak pemandu
wisata yang berlalu-lalang menunggu para wisatawan yang datang memenuhi
pelabuhan Pulau Tidung saat itu.
“Selamat
datang di Pulau Tidung”
Kalimat ini memulai perjalanan saya menyusuri
jalan-jalan kecil di Pulau Tidung. Pulau yang terbagi menjadi
dua bagian antara pulau Tidung besar dan Tidung kecil ini memiliki jarak yang
berdekatan. Sebuah jembatan yang dinamakan jembatan cinta dengan panjang lebih
dari 700 meter menghubungkan kedua pulau itu. Tidak ada penduduk yang hidup
dalam pulau Tidung kecil yang memiliki luas sekitar 17,40 Ha ini. Penduduk
hidup dan melakukan aktifitas sehari-hari hanya di Pulau Tidung besar.
Suasana perumahan di Pulau Tidung |
Tempat
bermukim penduduk Pulau Tidung besar layaknya sebuah perumahan biasa.
Rumah-rumah penduduk yang terbuat dari bahan dasar terumbu karang mati berjejer
kokoh berdampingan. Ditambah dengan variasi warna cat yang mewarnai rumah di
pulau itu. Beberapa pekarangan penduduk terbuka
begitu saja tanpa dijaga oleh pagar.
Jalan sempit dan padat memaksa warga
pulau untuk menggunakan kendaraan tertentu. Hanya kendaraan kecil seperti
motor, sepeda, dan becak motor yang dapat melewatinya. Kendaraan becak motor
yang kerap disebut bintor ini rasanya terdengar asing di telinga. Dua kendaraan
yang biasa kita temui di jalan ibu kota digabungkan menjadi satu. Bentuk
kendaraan ini tetap sama seperti becak pada umumnya. Hanya berganti kemudi dari
sepeda menjadi motor. Dulu, kendaraan mobil pernah ada di pulau ini. Namun,
tikungan tajam dan penduduk yang lalu lalang menjadi alasan mobil itu keluar
dari pulau.
Pulau Tidung tidak menggunakan nama
di setiap jalannya. Sedikit
membingungkan bagi para wisatawan yang tidak mengingat jalan. Namun, tidak
perlu khawatir. Cukup dengan menghafal nomor RT dan nomor rumah, kita dapat
bertanya pada penduduk sekitar seputar lokasi rumah yang dituju.
Di
Pulau Tidung yang memiliki jumlah penduduk sekitar 4.151 jiwa ini terdapat tiga
masjid dan sembilan musholla. Banyaknya tempat ibadah menandakan pengaruh agama
Islam yang kuat di pulau Tidung ini. Hal ini dapat terlihat dari seluruh penduduknya
yang seorang muslim.
Meskipun
terdiri dari berbagai suku, masyarakat mengadaptasi adat dan budaya Betawi. Struktur
bangunan dan nama-nama penduduk yang khas Betawi menandakan pengadaptasian
tersebut. Misalnya pemilik warung sembako pertama dan satu-satunya di Pulau
Tidung pada tahun 1980an, Haji Ropi’ah.
Tentu bukan hanya penduduk kota saja
yang dapat menikmati kemudahan layanan internet. Di tahun 2006/2007, akses
internet telah masuk dan dapat dinikmati penduduk setempat dengan media
komputer. Namun, internet belum difungsikan secara optimal. Penduduk lebih
memilih menghabiskan waktunya dengan melakukan
aktivitas seperti menonton televisi dibandingkan
berlama-lama mengakses internet.
Keterbatasan bahan bakar yang ada telah memaksa
para penduduk setempat menjual secara eceran. Eddi, salah satu penduduk
mengaku, sudah dua hari pasokan gas elpiji tiga kilogram terhenti. Tanpa
kepastian, penduduk setempat menantikan para pengecer yang membeli gas di
Jakarta.
Dengan kondisi seperti itu, penduduk
setempat masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal.
Keterbatasan bahan bakar tidak membuat mereka kesulitan. Kayu pun
dijadikan sebagai bahan bakar alternatif yang dipilih penduduk.
Jakarta, tempat dimana penduduk
Pulau Tidung memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena tanah yang tidak mendukung
untuk bercocok tanam, penduduk setempat harus berlayar menyeberangi laut untuk
membeli barang-barang yang dibutuhkan.
![]() |
Beberapa bahan baku dari Jakarta |
Kehidupan penduduk yang dikelilingi
laut ini tidak hanya terpaku pada nelayan saja. Walaupun, prosentase dari mata
pencaharian ini sebesar 90%. Berbagai usaha pun di buka di pulau ini seperti
warung sembako, kedai makan, sewa rumah untuk home stay, dan lain-lain.
Rata-rata
anak remaja Pulau Tidung memiliki kerja sambilan sebagai tour guide. Selain sebagai tour
guide, beberapa remaja lainya memutuskan untuk menjadi nelayan, membuka
warung, menyewakan alat permainan di laut, bahkan ada yang merantau.
Bekerja di kota pun menjadi pilihan beberapa
penduduk. Mereka harus berangkat subuh menuju pelabuhan dan menaiki kapal feri.
Berdesakan dengan para penduduk lain
dan
wisatawan menjadi konsekuensi yang mereka ambil setiap harinya.
Suasana Pulau Tidung saat Sunset |
Selepas bertanya dengan penduduk
sekitar, tanpa disadari matahari semakin naik hingga berada tepat di atas
kepala. Cahayanya menyinari setiap sisi jalan sepanjang pulau itu. Semilir
angin segar berhembus. Tidak ada kepulan asap hitam yang menganggu pemandangan.
Pepohonan rindang menjulang tinggi di sekitar hutan yang belum terjamah
bangunan. Keindahan yang sulit ditemui di daerah perkotaan.
Saat hari menjelang sore, saya
menikmati jejeran rumah penduduk setempat dengan menaiki sebuah sepeda gunung
berwarna merah jambu. Berkeliling untuk melihat aktivitas penduduk. Di
sela-sela menikmati matahari terbenam, senyum ramah penduduk masih saja
terlihat menyambut di sisi jalan. Sejak tahun 2007, penduduk telah terbiasa
dengan kehadiran para wisatawan. Tidak heran bila mereka bersikap ramah dengan
pendatang di pulau ini, termasuk
Mas Eddi selaku pemandu travel yang saya ikuti.
Sarana prasarana pendukung telah
tersedia di pulau yang tercatat sebagai gugusan terbesar dalam Kepulauan
Seribu. Pulau besar yang memiliki kantor kelurahan Pulau Tidung dan kecamatan
Kepulauan Seribu Selatan berkembang layaknya sebuah kota. Fasilitas umum
seperti sekolah dan layanan kesehatan di pulau ini memiliki kondisi yang baik
dan terawat. Bahkan di kantor kecamatan terdapat mesin ATM. Meskipun, tidak terdapat
bank.
Kesehatan penduduk pun tentu menjadi mayoritas
utama. Sarana kesehatan seperti Pukesmas Terpadu dan Posyandu telah disediakan
oleh Pemerintah Kabupaten guna memfasilitasi pelayanan kesehatan yang
terjangkau bagi penduduk setempat. Penggunaan kartu kesehatan dapat mempermudah
penduduk untuk mendapatkan sarana ini dengan harga terjangkau. Selain, sebagai
sarana kesehatan, lapangan depan Pukesmas yang biasa digunakan sebagai lahan
parkir dapat dialokasikan menjadi aktivitas olahraga para ibu.
Para dokter yang bekerja di Pukesmas
Pulau Tidung bukan hanya berasal dari penduduk pulau sendiri. Beberapa dokter
yang ada di kota berlayar dan mengabdikan diri membantu penduduk yang
membutuhkan.
Sekolah di Pulau Tidung |
Pendidikan pun tidak luput
tertinggal dari fasilitas pulau ini. Fasilitas gedung sekolah dasar sampai
menegah kejuruan ada di sana. SMK 61 yang berlokasi di dekat jembatan cinta mengajarkan
mitra perkantoran, akuntansi, NKPI pelayaran, Bill perikanan. Para pengajar
yang berdomisili di Pulau Payung
harus berlayar dahulu menggunakan kapal untuk sampai ke Pulau Tidung. Waktu
yang ditempuh sekitar dua jam dengan kapal feri yang saya tumpangi saat datang
ke pulau ini.
Bagi para siswa yang ingin
melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah, mereka dapat berlayar keluar pulau
dan mencari universitas yang mereka kehendaki. Keluar dari pulau dan menetap
sementara di rumah yang dikontrakan menjadi pilihan mereka.
Berjalan-jalan
dan menikmati suasana asri Pulau Tidung, rasanya
tidak lengkap jika tidak mencicipi
cinderamata khas pulau ini. Dengan kondisi laut yang mengelilingi
pulau, tak heran jika ikan dan rumput laut menjadi bahan utama dari makanan
khas yang ditawarkan. Kerupuk ikan cue, tangkue, kerupuk ikan, dan keripik
sukun menjadi beberapa cinderamata yang wajib untuk dibawa pulang bila para
wisatawan
ke sana.
“Sukun rasanya enak mbak,” ujar Mas
Eddy sambil tertawa saat saya bertanya seputar makanan khas Pulau Tidung.
Keripik sukun telah menjadi salah
satu makanan favorit penduduk Pulau Tidung. Selain menjadi makanan favorit
penduduk, keripik ini banyak digemari para wisatawan untuk cinderamata. Makanan
ringan satu ini diracik sedemikian rupa dengan bumbu khas pulau Tidung sehingga
menciptakan cita rasa yang unik, gurih, dan renyah.
Selain,
makanannya yang khas, Pulau Tidung memiliki sejarah unik yang
hidup didalamnya. Nama-nama tokoh yang hidup dijaman penjajahan dan menentang
secara aktif menjadikan mereka pahlawan yang perlu dikenang. Dibalik keindahan
Pulau Tidung masa kini, tersimpan beberapa sejarah di dalamnya.
Menurut cerita, penduduk Pulau
Tidung terbagi menjadi dua suku keturunan yaitu suku Tidung Kalimantan Timur
yang dibawa oleh Raja Pandita dan suku Tidung Banten yang dibawa oleh Ki Turuf
yang biasa dikenal dengan Panglima Hitam dari Kerajaan Syarif Hidayah Tullah
Cirebon. Namun, nama Tidung sendiri tetap berasal dari pemberian Raja Pandita.
Dua nama besar yang hidup dan wafat di pulau ini tentu menambah daya tarik
Pulau Tidung.
Tana Tidung merupakan nama tempat
yang terdapat di daerah Kalimantan Timur desa malinau yang menjadi awalan dari
sebuah nama pulau Tidung saat ini. Pemberian nama dari seorang raja suku Tidung
yang terasingkan dari tempatnya sendiri oleh para kolonial Belanda. Beliau
merupakan tokoh yang menentang secara aktif imperialisme Belanda hingga
diasingkan dari tanah Tidung. Raja Pandita yang lahir tahun 1817 ini terasing
di Pulau Jawa hingga ke Jepara, yang berlanjut ke sebuah pulau bernama pulau
Air pada tahun 1892 yang sekarang dikenal dengan nama Pulau Tidung.
Selama ratusan tahun tidak ada satu
pun penduduk setempat yang mengetahui gelar yang disandang Raja Pandita sebagai
seorang raja dari Kalimantan Timur. Sang Raja hanya memperkenalkan dirinya
sebagai Muhammad Kaca tanpa membawa gelar rajanya. Di sanalah beliau bertemu
dan menikahi seorang gadis Banten. Sampai meninggal pun, penduduk setempat
hanya mengenal sosok Kaca sebagai penduduk biasa yang tidak berbeda dari yang
lain.
Hingga suatu ketika, suku Tidung
dari Kalimantan Timur datang dan mencari tahu seputar asal muasal nama pulau
tersebut. Suku Tidung bertemu dengan keluarga Kaca. Mereka memberitahukan bahwa
kaca merupakan nama panggilan Raja Pandita semasa kecil sebelum mendapat
gelarnya saat ini. Pada akhirnya kedua belah pihak mengambil sebuah kesepakatan. Nama pulau Tidung merupakan pemberian Raja
Pandita sendiri yang berasal dari tanah Tidung Kalimantan Timur.
Dari tahun ke tahun, Pulau Tidung
mengalami kemajuan pesat. Pembangunan sarana prasarana sedikit demi sedikit telah berkembang. Kedai-kedai
bertebaran, menjajahkan makanan dan minuman yang tidak kalah sedap dari
perkotaan. Seiring bertambahnya jumlah para wisatawan, banyak dibukanya kios-kios yang
menawarkan cinderamata khas Pulau Tidung. Berbagai permainan air pun ditawarkan
dengan harga terjangkau.
“Perkembangan pulau ini sangat
pesat. Saya sampai bertanya pada diri sendiri
‘ini saya ngimpi apa engga yah’," ujar Subagyo, pemilik home stay yang saya tempati.
Pulau Tidung telah menjelma menjadi tempat
wisata yang digemari banyak orang. Keindahan alam yang dapat dinikmati dengan
harga yang terjangkau, tentu pulau ini sanggup menarik wisatawan lokal bahkan
wisatawan mancanegara. Namun, Pulau Tidung
mempunyai banyak sisi kelam. Diantaranya, banyak ditemukan mayat yang terdampar
di pulau ini. Beberapa mayat bahkan sudah tidak berbentuk utuh.
Yadi, seorang nelayan paruh baya yang menjadi saksi dari
ditemukannya mayat di sekitar Pantai Tanjung
Barat dan Tanjung Timur. 27 mayat ditemukan mengambang dan sudah membengkak.
Identitas pun tidak diketahui kecuali dengan kartu tanda penduduk yang terselip
di saku sang mayat.
Kondisi mayat yang ditemukan pun
beragam, ada yang masih utuh, ada pula yang sudah terpotong antara satu sama
lain. Mayat yang ditemukan bukan salah satu dari penduduk Tidung. Orang-orang
di luar sana mengakhiri hidupnya dan tubuh yang tidak bernyawa terbawa arus
ombak laut. Mayat-mayat yang ditemukan dimakamkan di pemakaman penduduk pulau
Tidung.
“ Waktu saya sedang bekerja, saya
menemukan koper. Saya pikir isinya harta. Ternyata mayat. Kode kopernya 261
271,” ujar
Yadi sambil mengingat kejadian itu.
Tingkat kejahatan di Pulau Tidung pun sangat rendah. Paling
hanya anak kecil yang mengambil sandal para wisatawan yang dirasa mereka
menarik. Biasa alasan mereka melakukan seperti itu karena orang tua mereka yang
tidak sanggup memenuhi permintaan buah hatinya untuk membeli alas kaki yang
baru.
Belajar
dan mencari tahu seputar pulau ini sangat menyenangkan hingga rasanya waktu berjalan
begitu cepat. Tidak ada lagi berkeliling sepeda saat matahari mulai senja. Sama
halnya seperti jembatan yang menghubungkan tidung besar dan tidung kecil, kisah saya selama di sana tetap
akan terukir di kokohnya kayu yang tidak akan pernah hilang.
Seiring hembusan air laut yang terhempas kapal, kian
lama pulau itu tidak terlihat lagi. Kencangnya raungan mesin mendorong kapal untuk segera
meninggalkan keindahan yang ditawarkan Pulau Tidung. Pulau
itu kini tertutup kabut pagi dan perlahan menjadi siluet.
Nama : Stefanny Nadhia
NIM : 11140110174
Kelas : B1
Nama : Stefanny Nadhia
NIM : 11140110174
Kelas : B1
Jembatan cinta sudah selesai di perbaiki.
BalasHapussekedar info bagi yang ingin berkunjung ke tidung.