Rabu, 19 Juni 2013

Penyakit Jiwa Sama Dengan Kegilaan?

Penyakit Jiwa Sama Dengan Kegilaan?

Oleh : Eldo Christoffel Rafael / 11140110081

 “Ini harus dirapikan”
“Oke ya, sudah”
“Itu juga harus dirapikan”
“Ini juga, nah ini juga , itu juga”

Kata per kata dilontarkan Wahyu Lukito, yang menirukan orang yang mengalami gejala kelainan manic.  Semua barang dirapikan baik miliknya atau milik orang lain. Sederhananya segala sesuatu dibuat menjadi rumit. Apa-apa dikomentari. Namun terkadang apa yang diomongkan penderita tidak sesuai dengan kenyataan.

Menurut Wahyu Lukito yang berprofesi sebagai Kepala Perawat di Rumah Sakit Jiwa Swasta Dharma Graha Tangerang Selatan,  gejala penyakit ini mulai dari  banyak bicara dan emosi  penderita cenderung labil. Kelainan manic masih merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit kejiwaan.  Penyakit kejiwaan sendiri ini mengganggu diri sendiri dan lingkungan orang lain. Oleh karena itu harus diperiksa secara klinis

Penanganan Rumah Sakkit Khusus Jiwa mili Swasta memang berbeda. Pasien yang dihadirkan memang tergolong spesial.  Oleh karena itu penangananan  pasien tentu lebih kompleks.

 “Kalo di Rumah Sakit Umum kan dijagain terus ada yang mengurus, dimandikan dan  makanan  bisa dibelikan oleh keluarganya langsung ,tidak melalui perawat  ataupun petugas. Kalo disini ada keperluan yang menyangkut pasiennya itu kan harus sepengetahuan perawat kemudian keluarga diberi tahu setelah itu baru dikirim, dari segi itu saja sudah berbeda. Jadi kita (perawat) yang bertanggung jawab A sampai Z” ujar Luki,  nama sapaannya.

Menurut WHO, pada saat ini industri rumah sakit jiwa(RSJ) memiliki potensi yang cukup besar pravelensi penyakit jiwa. Perbandingannya adalah 1 : 1000, artinya setiap 1000 penduduk atau orang ada satu orang yang mempunyai penyakit jiwa yang memerlukan perawatan intensif.

Apabila jumlah penduduk Jabodetabek sekitar 18 juta (id.wikipedia.org) maka penderita gangguan jiwanya sekita 18 ribu orang. Jika setiap orang atau pasien rata – rata membutuhkan 100 hari perawatan dalam setahun, maka diperlukan 1,8 juta tempat tidur per hari per tahun, sedangkan rumah sakit yang membuka pelayanan psikiatrik (penyakit jiwa) yang memiliki pelayanan rawat inap dan rawat jalan hanya tersedia 2.631 tempat tidur atau hanya 6% dari populasi yang tersedia.

Rumah sakit – rumah sakit tersebut tersebar di beberapa titik kota, misalnya Rumah Sakit Jiwa Pusat yang ada di Jakarta dan Bogor, Bagian Psikiatri di Rumah Sakit St. Carolus Jakarta, RSPAD Gatot Subroto, RSCM, RSAL Mintoharjo. Ada pula, Asrama Rehabilitasi Mental Dharma Graha Ciganjur, Jakarta.

Menurut Luki, jumlah rumah sakit di Jakarta yang tidak memadai dan juga mencari fasilitas yang lebih nyaman bagi pasien membuat masyarakat lebih memilih Rumah Sakit di daerah pinggiran Jakarta.  Salah satunya adalah Rumah Sakit Khusus Dharma Graha yang terletak di Tangerang Selatan. Rumah Sakit Khusus Dharma Graha merupakan Rumah Sakit yang menangani penderita gangguan jiwa, gangguan narkotik dan geriatric. Sampai saat ini, Rumah Sakit ini telah menangani pasien dari berbagai wilayah di Indonesia. Metode penanganan pasien yang diberikan adalah dengan obat-obatan psikiatrik dan complementary terapi (aktivitas penunjang).
 
Kepala Perawat Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, Wahyu Lukito
Menurut pengalaman Luki selama bekerja di Rumah Sakit Jiwa Dharma Graha kebanyakan keluarga membawa pasien langsung ke rumah sakit jiwa. Namun tak jarang pula keluarga meminta rumah sakit untuk dijemput karena pasien tidak mau berobat.

Sebelum masuk ke rumah sakit jiwa itu, biasanya keluarga datang untuk mencari informasi mengenai gejala abnormal yang diderita anggota keluarganya.

“Perlu masuk disini atau tidak ya? Keluarga sampai bertanya seperti itu” ujar Luki yang sudah bekerja sebagai perawat sejak tahun 2004 lalu.

Luki mengaku sebagai perawat  di Rumah Sakit Jiwa harus mampu berkomunikasi dengan keluarga. Itu dibutuhkan agar tetap ada jalinan hubungan komunikasi yang saling pengertian antara keluarga dengan pasien. Sebab menurutnya keluarga menyerahkan anggota keluarga sepenuhnya kepada rumah sakit. Namun Luki juga tidak memungkiri, masih ada keluarga yang sering menjenguk anggota keluarganya.

“Intinya saya selalu menanamkan kepercayaan diri ke diri pasien, memberikannya pengertian kehidupan, mengajari pola berperilaku seperti apa dan selalu memotivasi agar pasien mampu menjalankan perannya kembali” ujar Luki. **


Warga Rentan Sakit Jiwa

Dalam liputan kompas.com tanggal 6 Oktober 2011 mengenai  “Warga DKI Rentan Sakit Jiwa”, dijelaskan bahwa  warga Jakarta sangat rentan mengalami gangguan mental dan emosional. Tingginya tekanan hidup dan kurangnya kemampuan adaptasi warga terhadap perubahan lingkungan menyumbang pada tingginya gangguan mental dan emosional itu.

Hal tersebut dikemukakan dalam seminar ”Urban Mental Health” yang digelar hari Rabu (5/10) di Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan. Dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia pada 10 Oktober.

Dalam seminar itu, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Irmansyah mengatakan, lingkungan fisik dan psikis di Jakarta membuat warganya cenderung mengalami gangguan perilaku. ”Jakarta tergolong tinggi untuk gangguan mental dan emosional, seperti depresi dan perilaku agresif,” katanya.

Akibatnya terjadi gangguan makan dan tidur, tawuran, penyalahgunaan narkoba, kekerasan dalam rumah tangga, serta kenakalan anak dan remaja. Gangguan mental itu juga mengakibatkan terjadinya perceraian, kekerasan massal, dan bunuh diri.

Fenomena gangguan mental dan emosional yang terlihat sekarang di Jakarta hanya puncak dari gunung es. Banyak hal yang harus diperhatikan para pemangku kebijakan agar gunung es itu tidak meletus menjadi beragam persoalan yang tak bisa ditangani lagi. Untuk itu diperlukan pemahaman bagi masyarakat untuk lebih mengenali penyakit kejiwaan itu sendiri agar lebih cepat tertangani.

Menurut Dokter Kejiwaan Rumah Sakit Atma Jaya Jakarta, Asri  Paramitha Ayu membenarkan bahwa kondisi lingkungan yang banyak terjadi tindak kekerasan bisa memicu orang mengalami penyakit jiwa. 

Dokter yang juga Dosen di Fakultas Kedokteran Atmajaya ini juga mengatakan bahwa   gangguan jiwa itu luas.  Di sela-sela kesibukkannya menjalankan kerjanya, Dokter Ayu panggilannya, membenarkan bahwa pemahaman masyarakat lebih memahami bahwa orang yang aneh di jalanan atau di sekitar mereka itu disebut orang gila.

“Bisa disebut penyakit jiwa bila aktivitas sehari-hari dia lakukan jadi tidak bisa dikerjakan. Misal orang itu mengajar jadinya tidak bisa mengajar lagi, maunya di rumah dan tidak mau berkomunikasi dengan orang lain”, ujarnya.

Pasien harus  mempunya gejala, hendaya dan mengalami  distreess (stress). Dia merasa tidak nyaman atau dia merasa sesuatu yang tidak benar dari dirinya atau dia mengalami kesulitan dengan orang-orang di sekitarnya. Menurut Ayu bila semua itu terpenuhi baru dapat disebut gangguan jiwa. Apapun yang menyebabkan kondisi itu kita bisa sebut gangguan jiwa. Namun Dokter Ayu menambahkan  harus  tetap ada pemeriksaan klinis oleh dokter atau psikiater.

Gangguan jiwa itu ada di pikiran, perasaan dan perilaku termasuk penggunaan obat narkoba. Faktor fisik misalnya orang mengalami demam tinggi, ngomongnya ngaco. Tapi itu gangguan jiwa organik. Misalnya infeksi TBC di paru-paru tapi kumannya bisa ke sampai ke otak, begitu kuman menyerang otak  maka perilaku bisa menjadi aneh sehingga pasien menjadi mudah jadi gelisah dan emosional. Itu  disebut gangguan jiwa organik.

“Atau orang kecelakaan, sampai pingsan dan pendarahan. Begitu sadar jadi ngaco ngomongnya atau kepribadian jadi berubah. Itu bisa disebut gangguan mental jiwa organik. Tentu fisik dan mentalnya harus diobati karena keduanya saling berhubungan”, ujar Dokter Ayu di sela-sela waktunya mengajar di Fakultas Kedokteran Atma Jaya.
                                                                                     
Ada juga yang berhubungan dengan narkoba. Penggunaan narkoba pecandu itu sebetulnya masuk dalam kategori gangguan jiwa. Gejala-gejala klinis terutama dia tidak mau lepas dari ketergantungannya , sedang dalam kondisi apapun dia akan terus mencari obat. Misalnya orang itu jadi mencari putau atau ektasi. **

Campuran Realitas dan Halusinasi

Pernah menonton A Beautiful Mind? Film yang diadaptasi dari buku biografi berjudul sama karya Slyvia Nassara menceritakan kehidupan matematikawan bernama John Nash. Di film tersebut karakter Nash diperankan oleh aktor kawakan, Russell Crowe. Dikisahkan bahwa John Nash peraih Nobel Ekonomi pada tahun 1994 ini adalah orang yang jenius namun apatis dalam pergaulannya.

Nash yang lebih suka belajar otodidak dalam hidupnya akhirnya meraih gelar doktor hingga mampu diterima di pusat penelitan bergengsi di Wheeler Defense Lab di MIT (Institut Teknologi Massachussets).

Di sisi lain Nash ternyata mengidap penyakit gangguan jiwa skizofernia yaitu suatu gangguan jiwa yang dimaan penderitanya tidak bisa membedakan antara halusinasi dan kenyataan. Penyakit tersebut dideritanya sejak Ia di Princeton namun semakin parah ketika mengajar di MIT.

Menurut Dokter Ayu, hal yang dialami Nash itu mudah ditemui di kota-kota besar khususnya di Jakarta. Ia mengilustrasikan kejadian ekstremnya,  saat kita  melihat orang-orang gelandangan dan telanjang di jalan.  Kalo kita ajak ngomong dia ia balas kacau kadang-kadang dia makan sampah, bukan karena sekedar dia gelandangan di jalan tidak ada makanan jadi membuatnya makan sampah. Tapi memang dia tidak bisa membedakan fantasi dan realita.

“Dia telanjang karena dia tidak bisa tempatin diri sebagaiamana seharusnya di tempat umum.  Terkadang dia ngomong sendiri dan berteriak. Saat Ia berbicara atau berteriak dalam fantasinya Ia sedang bersama orang sebagai lawan bicaranya”kata Dokter Ayu.

Ia juga mengatakan setiap ada kejadian gangguan jiwa pasti ada zat-zat kimia yang tidak stabil di otak. Gangguan jiwa jenis apapun maka  kondisi fungsi otak ikut terganggu.

“Kita dari kalangan medis menyebutnya neuro transmitter. Dalam gangguan jiwa pasti neuro transimitter tidak seimbang ada  yang kebanyakan atau kekurangan dari seharusnya itulah sebabnya butuh obat” kata Dokter Ayu.

Tentu gangguan jiwa yang berat yang  ketidak seimbangnnya sudah sangat yang ekstrim sehingga perlu diseimbangkan lagi dengan obat. Pada gejala stress ringan memang kinerja neuro transmitter memang tidak seimbang, tapi orang lebih mudah untuk mengatur diri agar lebih rileks dan santai.   

Dalam mengecek neuro transmitter seseorang dibutuhkan pemeriksaan klinis. Menurut Dokter Ayu memang tidak pernah dicek secara lab sebab lebih akurat bila dilakukan pemeriksaan klinis psikiatri. Setelah dilihat dari klinis  dan divonis penyakit sudah kronis dan berbahaya maka dalam  kondisi itu dibutuhkan obat.  “Untuk itu memahami hal neuro transmitter itu ya belajarnya bertahun-tahun” ujar Dokter Ayu yang sedang melanjutkan gelar Doktoral di Redboud University, Nijmegen, Belanda.   
Dr. Spesialis Kejiwaan,  Asri  Paramitha Ayu 

Tidak ada ukuran pasti dalam pemberian obat karena harus dicek gejala klinis terlebih dahulu. Jadi dalam kasus tertentu, orang butuh obat untuk menyeimbangkan neurotransmiter yang dilihat terlebih dahulu dari gejala klinis. Maka ada obat yang mesti diminum jangka panjang , ketika berhenti diminum  maka bisa terjadi ketidakkeseimbangan pada neuro transmitternya sehingga penderita sakitnya bisa kambuh lagi. Dokter Ayu juga mengatakan bahwa juga ada obat-obat yang mesti dihentikan tapi pelan-pelan jadi tidak bisa berhenti langsung.

“Ini tidak seperti demam yang bisa diukur dari suhu orang 37 derajat, perlu dikasi obat. Bila panas suda berkurang , kita bisa kurangi atau bahkan diberhentikan obatnya. Itu tidak bisa dilakukan dalam proses penyembuhan penyakit kejiwaan karena segala proses yang berlangsung ada di dalam otak” ujar Dokter Ayu. **


Tantangan dan Pemulihan

“Tantangan terberat itu bukan pada saat belajar ilmu psikiater, berdiskusi dengan dokter lain dan bukan saat bertemu dengan pasien. Tapi membuat masyarakat sendiri mengerti tentang psikiatri” ujar Dokter Ayu.

Ia mengaku masih banyak stigma bahwa orang gangguan jiwa itu aneh dan bahkan kalangan dokter sendiri masih kesulitan menemukan istilah-istilah tepat agar tidak muncul stigma yang muncul di masyarakat seperti pasien penyakit jiwa itu gila.

Orang yang menganggap aneh itu justru malah membawa orang pengidap penyakit kejiwaan ke tempat yang bukan seharusnya Ia berobat. Seperti dibawa ke dukun atau bahkan dipasung.

“Sampai sekarang kejadian pemasungan itu masih ada, bahkan di kota-kota besar” ujarnya.

Itu terjadi sebab informasi masyarakat tentang psikiatri belum ada. Belum ada penjelasan yang mudah dimengerti dan diterima masyarakat agar mengerti bahwa gangguan jiwa itu jenisnya banyak dan beragam kelas penyakitnya.

Misalnya dalam pengobatan pasien. Masyarakat masih belum memahami bahwa pasien penyakit jiwa itu bisa disembuhkan dengan terapi disertai obat. Menurut pengalaman Dokter Ayu, banyak keluarga pasien menganggap dengan meminum obat yang dianjurkan dokter maka akan terjadi ketergantungan. Padahal obat itu dibutuhkan untuk menyeimbangkan neuro transmtter yang membutuhkan waktu yang panjang dan butuh kontrol ketat.

Dokter Ayu mengatakan para psikiater masih dalam proses mengedukasi masyarakat tentang gangguan jiwa. “Memberi edukasi masyarakat itu butuh waktu” ujarnya.

Perlu diingat gangguan jiwa bisa terjadi juga karena penyakit fisik. Misal orang yang terkena kanker. Mereka sebetulnya memiliki depresi dan cemas yang tidak tertangani dengan baik.  Orang akan melihat wajar orang kanker terkena stress.

Gangguan jiwa bisa membuat fisik menjadi melemah. Padahal bila Badan kita satu kalo jiwa stress  bisa menurunkan imunitas tubuh.   Ada mekanisme biologis sehingga hormon stress meningkat membuat daya tahan tubuh menurun.

“Padahal, bila pasien mau lebih menerima sakit itu membuat proses terapi dan pemulihan fisik menjadi lebih baik”, ujarnya. Hal itu tentu bisa berujung pada kesembuhan pada diri pasien. Untuk itu perlu ditanamkan pada benak masyarakat bahwa pasien penyakit jiwa itu bisa disembuhkan asal ditangani dengan baik. Sebab mereka awalnya orang biasa yang karena berbagai macam problematika hidup sehingga memaksa diri menjadi orang sakit. Mereka butuh uluran empati dari segenap masyarakat untuk bisa pulih kembali.

Selama hampir sepuluh tahun bekerja menjadi perawat di Rumah Sakit Jiwa Dharma Bakti, Wahyu Lukito mengatakan sudah pernah bertemu dengan orang-orang yang berhasil sembuh dari penyakit jiwa.

“Ada yang sakit (kejiwaan) saat kuliah, sembuh kemudian lulus. Ada yang sebelumnya menjadi pengusaha, jatuh sakit kemudian sembuh akhirnya usahanya kembali membaik” kata Luki.

Itu membuktikan bahwa penyakit Jiwa itu tidaklah abstrak seperti yang banyak diutarakan orang. Sehingga anggapan penyakit jiwa tidak mungkin untuk disembuhkan itu bisa ditepis dengan mudah. Karena bila ada keyakinan dari dalam diri pasien, dokter, perawat serta dorongan motivasi keluarga maka penyakit jiwa pasti bisa disembuhkan. ***


Perlu diingat, John Forbes Nash, pengidap penyakit scizofernia adalah orang mampu meraih gelar Nobel Ekonomi. Sebuah gelar yang diidamkan oleh jutaan ekonom di dunia. Tentu hadiah Nobel itu didapat karena  otak dan dedikasi yang dimilikinya, mampu membantu dunia pendidikan ekonomi jadi lebih baik lagi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar