Penyakit Jiwa Sama Dengan Kegilaan?
Oleh : Eldo Christoffel Rafael / 11140110081
“Oke ya, sudah”
“Itu juga harus dirapikan”
“Ini juga, nah ini juga , itu juga”
Kata per kata dilontarkan Wahyu Lukito, yang menirukan orang yang
mengalami gejala kelainan manic. Semua barang
dirapikan baik miliknya atau milik orang lain. Sederhananya segala sesuatu dibuat
menjadi rumit. Apa-apa dikomentari. Namun terkadang apa yang diomongkan penderita
tidak sesuai dengan kenyataan.
Menurut Wahyu Lukito yang berprofesi
sebagai Kepala Perawat di Rumah Sakit Jiwa Swasta Dharma Graha Tangerang
Selatan, gejala penyakit ini mulai
dari banyak bicara dan emosi penderita cenderung labil. Kelainan manic
masih merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit kejiwaan. Penyakit kejiwaan sendiri ini mengganggu diri
sendiri dan lingkungan orang lain. Oleh karena itu harus diperiksa secara
klinis
Penanganan Rumah Sakkit Khusus Jiwa mili
Swasta memang berbeda. Pasien yang dihadirkan memang tergolong spesial. Oleh karena itu penangananan pasien tentu lebih kompleks.
“Kalo
di Rumah Sakit Umum kan dijagain terus ada yang mengurus, dimandikan dan makanan
bisa dibelikan oleh keluarganya langsung ,tidak melalui perawat ataupun petugas. Kalo disini ada keperluan
yang menyangkut pasiennya itu kan harus sepengetahuan perawat kemudian keluarga
diberi tahu setelah itu baru dikirim, dari segi itu saja sudah berbeda. Jadi
kita (perawat) yang bertanggung jawab A sampai Z” ujar Luki, nama sapaannya.
Menurut WHO, pada saat ini industri
rumah sakit jiwa(RSJ) memiliki potensi yang cukup besar pravelensi penyakit
jiwa. Perbandingannya adalah 1 : 1000, artinya setiap 1000 penduduk atau orang
ada satu orang yang mempunyai penyakit jiwa yang memerlukan perawatan intensif.
Apabila jumlah penduduk Jabodetabek
sekitar 18 juta (id.wikipedia.org) maka penderita gangguan jiwanya sekita 18
ribu orang. Jika setiap orang atau pasien rata – rata membutuhkan 100 hari perawatan
dalam setahun, maka diperlukan 1,8 juta tempat tidur per hari per tahun,
sedangkan rumah sakit yang membuka pelayanan psikiatrik (penyakit jiwa) yang
memiliki pelayanan rawat inap dan rawat jalan hanya tersedia 2.631 tempat tidur
atau hanya 6% dari populasi yang tersedia.
Rumah sakit – rumah sakit tersebut tersebar
di beberapa titik kota, misalnya Rumah Sakit Jiwa Pusat yang ada di Jakarta dan
Bogor, Bagian Psikiatri di Rumah Sakit St. Carolus Jakarta, RSPAD Gatot Subroto,
RSCM, RSAL Mintoharjo. Ada pula, Asrama Rehabilitasi Mental Dharma Graha
Ciganjur, Jakarta.
Menurut Luki, jumlah rumah sakit di
Jakarta yang tidak memadai dan juga mencari fasilitas yang lebih nyaman bagi pasien
membuat masyarakat lebih memilih Rumah Sakit di daerah pinggiran Jakarta. Salah satunya adalah Rumah Sakit Khusus Dharma
Graha yang terletak di Tangerang Selatan. Rumah Sakit Khusus Dharma Graha
merupakan Rumah Sakit yang menangani penderita gangguan jiwa, gangguan narkotik
dan geriatric. Sampai saat ini, Rumah Sakit ini telah menangani pasien dari berbagai
wilayah di Indonesia. Metode penanganan pasien yang diberikan adalah dengan
obat-obatan psikiatrik dan complementary terapi (aktivitas penunjang).
Menurut pengalaman Luki selama bekerja di
Rumah Sakit Jiwa Dharma Graha kebanyakan keluarga membawa pasien langsung ke
rumah sakit jiwa. Namun tak jarang pula keluarga meminta rumah sakit untuk
dijemput karena pasien tidak mau berobat.
Sebelum
masuk ke rumah sakit jiwa itu, biasanya keluarga datang untuk mencari informasi
mengenai gejala abnormal yang diderita anggota keluarganya.
“Perlu
masuk disini atau tidak ya? Keluarga sampai bertanya seperti itu” ujar Luki yang
sudah bekerja sebagai perawat sejak tahun 2004 lalu.
Luki
mengaku sebagai perawat di Rumah Sakit Jiwa
harus mampu berkomunikasi dengan keluarga. Itu dibutuhkan agar tetap ada
jalinan hubungan komunikasi yang saling pengertian antara keluarga dengan
pasien. Sebab menurutnya keluarga menyerahkan anggota keluarga sepenuhnya
kepada rumah sakit. Namun Luki juga tidak memungkiri, masih ada keluarga yang
sering menjenguk anggota keluarganya.
“Intinya
saya selalu menanamkan kepercayaan diri ke diri pasien, memberikannya pengertian
kehidupan, mengajari pola berperilaku seperti apa dan selalu memotivasi agar pasien
mampu menjalankan perannya kembali” ujar Luki. **
Warga
Rentan Sakit Jiwa
Dalam liputan kompas.com tanggal 6 Oktober 2011 mengenai “Warga DKI Rentan Sakit Jiwa”, dijelaskan bahwa warga Jakarta sangat rentan mengalami gangguan mental dan emosional. Tingginya tekanan hidup dan kurangnya kemampuan adaptasi warga terhadap perubahan lingkungan menyumbang pada tingginya gangguan mental dan emosional itu.
Hal
tersebut dikemukakan dalam seminar ”Urban Mental Health” yang digelar hari Rabu
(5/10) di Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan. Dalam rangka peringatan Hari
Kesehatan Jiwa Sedunia pada 10 Oktober.
Dalam
seminar itu, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Irmansyah
mengatakan, lingkungan fisik dan psikis di Jakarta membuat warganya cenderung
mengalami gangguan perilaku. ”Jakarta tergolong tinggi untuk gangguan mental
dan emosional, seperti depresi dan perilaku agresif,” katanya.
Akibatnya
terjadi gangguan makan dan tidur, tawuran, penyalahgunaan narkoba, kekerasan
dalam rumah tangga, serta kenakalan anak dan remaja. Gangguan mental itu juga
mengakibatkan terjadinya perceraian, kekerasan massal, dan bunuh diri.
Fenomena
gangguan mental dan emosional yang terlihat sekarang di Jakarta hanya puncak
dari gunung es. Banyak hal yang harus diperhatikan para pemangku kebijakan agar
gunung es itu tidak meletus menjadi beragam persoalan yang tak bisa ditangani
lagi. Untuk itu diperlukan pemahaman bagi masyarakat untuk lebih mengenali
penyakit kejiwaan itu sendiri agar lebih cepat tertangani.
Menurut Dokter Kejiwaan Rumah Sakit Atma
Jaya Jakarta, Asri Paramitha Ayu
membenarkan bahwa kondisi lingkungan yang banyak terjadi tindak kekerasan bisa
memicu orang mengalami penyakit jiwa.
Dokter yang juga Dosen di Fakultas
Kedokteran Atmajaya ini juga mengatakan bahwa gangguan jiwa itu luas. Di sela-sela kesibukkannya menjalankan
kerjanya, Dokter Ayu panggilannya, membenarkan bahwa pemahaman masyarakat lebih
memahami bahwa orang yang aneh di jalanan atau di sekitar mereka itu disebut
orang gila.
“Bisa disebut penyakit jiwa bila aktivitas
sehari-hari dia lakukan jadi tidak bisa dikerjakan. Misal orang itu mengajar
jadinya tidak bisa mengajar lagi, maunya di rumah dan tidak mau berkomunikasi
dengan orang lain”, ujarnya.
Pasien harus mempunya gejala, hendaya dan mengalami distreess (stress). Dia merasa tidak nyaman
atau dia merasa sesuatu yang tidak benar dari dirinya atau dia mengalami
kesulitan dengan orang-orang di sekitarnya. Menurut Ayu bila semua itu
terpenuhi baru dapat disebut gangguan jiwa. Apapun yang menyebabkan kondisi itu
kita bisa sebut gangguan jiwa. Namun Dokter Ayu menambahkan harus tetap ada pemeriksaan klinis oleh dokter atau
psikiater.
Gangguan jiwa itu ada di pikiran,
perasaan dan perilaku termasuk penggunaan obat narkoba. Faktor fisik misalnya
orang mengalami demam tinggi, ngomongnya ngaco. Tapi itu gangguan jiwa organik.
Misalnya infeksi TBC di paru-paru tapi kumannya bisa ke sampai ke otak, begitu kuman
menyerang otak maka perilaku bisa
menjadi aneh sehingga pasien menjadi mudah jadi gelisah dan emosional. Itu disebut gangguan jiwa organik.
“Atau orang kecelakaan, sampai pingsan dan pendarahan. Begitu sadar jadi ngaco ngomongnya atau kepribadian jadi berubah. Itu bisa disebut gangguan mental jiwa organik. Tentu fisik dan mentalnya harus diobati karena keduanya saling berhubungan”, ujar Dokter Ayu di sela-sela waktunya mengajar di Fakultas Kedokteran Atma Jaya.
Ada juga yang berhubungan dengan
narkoba. Penggunaan narkoba pecandu itu sebetulnya masuk dalam kategori gangguan
jiwa. Gejala-gejala klinis terutama dia tidak mau lepas dari ketergantungannya ,
sedang dalam kondisi apapun dia akan terus mencari obat. Misalnya orang itu
jadi mencari putau atau ektasi. **
Campuran
Realitas dan Halusinasi
Pernah menonton A Beautiful Mind? Film yang diadaptasi dari buku biografi berjudul
sama karya Slyvia Nassara menceritakan kehidupan matematikawan bernama John
Nash. Di film tersebut karakter Nash diperankan oleh aktor kawakan, Russell
Crowe. Dikisahkan bahwa John Nash peraih Nobel Ekonomi pada tahun 1994 ini
adalah orang yang jenius namun apatis dalam pergaulannya.
Nash yang lebih suka belajar otodidak
dalam hidupnya akhirnya meraih gelar doktor hingga mampu diterima di pusat
penelitan bergengsi di Wheeler Defense Lab di MIT (Institut Teknologi
Massachussets).
Di sisi lain Nash ternyata mengidap
penyakit gangguan jiwa skizofernia yaitu suatu gangguan jiwa yang dimaan
penderitanya tidak bisa membedakan antara halusinasi dan kenyataan. Penyakit
tersebut dideritanya sejak Ia di Princeton namun semakin parah ketika mengajar
di MIT.
Menurut Dokter Ayu, hal yang dialami
Nash itu mudah ditemui di kota-kota besar khususnya di Jakarta. Ia
mengilustrasikan kejadian ekstremnya,
saat kita melihat orang-orang gelandangan
dan telanjang di jalan. Kalo kita ajak
ngomong dia ia balas kacau kadang-kadang dia makan sampah, bukan karena sekedar
dia gelandangan di jalan tidak ada makanan jadi membuatnya makan sampah. Tapi
memang dia tidak bisa membedakan fantasi dan realita.
“Dia telanjang karena dia tidak bisa
tempatin diri sebagaiamana seharusnya di tempat umum. Terkadang dia ngomong sendiri dan berteriak.
Saat Ia berbicara atau berteriak dalam fantasinya Ia sedang bersama orang
sebagai lawan bicaranya”kata Dokter Ayu.
Ia juga mengatakan setiap ada kejadian
gangguan jiwa pasti ada zat-zat kimia yang tidak stabil di otak. Gangguan jiwa jenis
apapun maka kondisi fungsi otak ikut terganggu.
“Kita dari kalangan medis menyebutnya neuro transmitter. Dalam gangguan jiwa
pasti neuro transimitter tidak
seimbang ada yang kebanyakan atau
kekurangan dari seharusnya itulah sebabnya butuh obat” kata Dokter Ayu.
Tentu gangguan jiwa yang berat yang ketidak seimbangnnya sudah sangat yang ekstrim
sehingga perlu diseimbangkan lagi dengan obat. Pada gejala stress ringan memang
kinerja neuro transmitter memang
tidak seimbang, tapi orang lebih mudah untuk mengatur diri agar lebih rileks
dan santai.
Dalam mengecek neuro transmitter
seseorang dibutuhkan pemeriksaan klinis. Menurut Dokter Ayu memang tidak pernah
dicek secara lab sebab lebih akurat bila dilakukan pemeriksaan klinis psikiatri.
Setelah dilihat dari klinis dan divonis
penyakit sudah kronis dan berbahaya maka dalam kondisi itu dibutuhkan obat. “Untuk itu memahami hal neuro transmitter itu ya belajarnya bertahun-tahun” ujar Dokter Ayu
yang sedang melanjutkan gelar Doktoral di Redboud University, Nijmegen,
Belanda.
Dr. Spesialis Kejiwaan, Asri Paramitha Ayu |
Tidak ada ukuran pasti dalam pemberian
obat karena harus dicek gejala klinis terlebih dahulu. Jadi dalam kasus tertentu,
orang butuh obat untuk menyeimbangkan neurotransmiter yang dilihat terlebih
dahulu dari gejala klinis. Maka ada obat yang mesti diminum jangka panjang ,
ketika berhenti diminum maka bisa terjadi
ketidakkeseimbangan pada neuro transmitternya
sehingga penderita sakitnya bisa kambuh lagi. Dokter Ayu juga mengatakan bahwa
juga ada obat-obat yang mesti dihentikan tapi pelan-pelan jadi tidak bisa
berhenti langsung.
“Ini tidak seperti demam yang bisa
diukur dari suhu orang 37 derajat, perlu dikasi obat. Bila panas suda berkurang
, kita bisa kurangi atau bahkan diberhentikan obatnya. Itu tidak bisa dilakukan
dalam proses penyembuhan penyakit kejiwaan karena segala proses yang
berlangsung ada di dalam otak” ujar Dokter Ayu. **
Tantangan
dan Pemulihan
“Tantangan terberat itu bukan pada saat
belajar ilmu psikiater, berdiskusi dengan dokter lain dan bukan saat bertemu
dengan pasien. Tapi membuat masyarakat sendiri mengerti tentang psikiatri” ujar
Dokter Ayu.
Ia mengaku masih banyak stigma bahwa
orang gangguan jiwa itu aneh dan bahkan kalangan dokter sendiri masih kesulitan
menemukan istilah-istilah tepat agar tidak muncul stigma yang muncul di
masyarakat seperti pasien penyakit jiwa itu gila.
Orang yang menganggap aneh itu justru
malah membawa orang pengidap penyakit kejiwaan ke tempat yang bukan seharusnya
Ia berobat. Seperti dibawa ke dukun atau bahkan dipasung.
“Sampai sekarang kejadian pemasungan itu
masih ada, bahkan di kota-kota besar” ujarnya.
Itu terjadi sebab informasi masyarakat
tentang psikiatri belum ada. Belum ada penjelasan yang mudah dimengerti dan
diterima masyarakat agar mengerti bahwa gangguan jiwa itu jenisnya banyak dan
beragam kelas penyakitnya.
Misalnya dalam pengobatan pasien.
Masyarakat masih belum memahami bahwa pasien penyakit jiwa itu bisa disembuhkan
dengan terapi disertai obat. Menurut pengalaman Dokter Ayu, banyak keluarga
pasien menganggap dengan meminum obat yang dianjurkan dokter maka akan terjadi
ketergantungan. Padahal obat itu dibutuhkan untuk menyeimbangkan neuro
transmtter yang membutuhkan waktu yang panjang dan butuh kontrol ketat.
Dokter Ayu mengatakan para psikiater masih dalam proses mengedukasi masyarakat tentang gangguan jiwa. “Memberi edukasi masyarakat itu butuh waktu” ujarnya.
Perlu diingat gangguan jiwa bisa terjadi
juga karena penyakit fisik. Misal orang yang terkena kanker. Mereka sebetulnya memiliki
depresi dan cemas yang tidak tertangani dengan baik. Orang akan melihat wajar orang kanker terkena
stress.
Gangguan jiwa bisa membuat fisik menjadi
melemah. Padahal bila Badan kita satu kalo jiwa stress bisa menurunkan imunitas tubuh. Ada
mekanisme biologis sehingga hormon stress meningkat membuat daya tahan tubuh
menurun.
“Padahal, bila pasien mau lebih menerima
sakit itu membuat proses terapi dan pemulihan fisik menjadi lebih baik”, ujarnya.
Hal itu tentu bisa berujung pada kesembuhan pada diri pasien. Untuk itu perlu
ditanamkan pada benak masyarakat bahwa pasien penyakit jiwa itu bisa
disembuhkan asal ditangani dengan baik. Sebab mereka awalnya orang biasa yang
karena berbagai macam problematika hidup sehingga memaksa diri menjadi orang
sakit. Mereka butuh uluran empati dari segenap masyarakat untuk bisa pulih
kembali.
Selama hampir sepuluh tahun bekerja
menjadi perawat di Rumah Sakit Jiwa Dharma Bakti, Wahyu Lukito mengatakan sudah
pernah bertemu dengan orang-orang yang berhasil sembuh dari penyakit jiwa.
“Ada yang sakit (kejiwaan) saat kuliah,
sembuh kemudian lulus. Ada yang sebelumnya menjadi pengusaha, jatuh sakit
kemudian sembuh akhirnya usahanya kembali membaik” kata Luki.
Itu membuktikan bahwa penyakit Jiwa itu
tidaklah abstrak seperti yang banyak diutarakan orang. Sehingga anggapan
penyakit jiwa tidak mungkin untuk disembuhkan itu bisa ditepis dengan mudah.
Karena bila ada keyakinan dari dalam diri pasien, dokter, perawat serta
dorongan motivasi keluarga maka penyakit jiwa pasti bisa disembuhkan. ***
Perlu
diingat, John Forbes Nash, pengidap penyakit scizofernia adalah orang mampu
meraih gelar Nobel Ekonomi. Sebuah gelar yang diidamkan oleh jutaan ekonom di
dunia. Tentu hadiah Nobel itu didapat karena otak dan dedikasi yang dimilikinya, mampu
membantu dunia pendidikan ekonomi jadi lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar