Saksi Hidup dari Bawah Tugu Selamat Datang
Oleh Georgene Suryani
- 11140110060
mainkatamainrasa.blogspot.com
Usianya kini menginjak 51 tahun.
Tua dan berkeriput? Tidak sama sekali. Sepasang muda-mudi ini masih tegap
berdiri. Masih dengan senyuman yang sama, tetapi mungkin dengan makna yang
berbeda. Tangan kanannya melambai ke atas, selalu siap menyambut kedatangan
kisah yang baru. Menjadi saksi bisu atas sejarah sang waktu yang terus bergerak,
sejarah DKI Jakarta yang kian berganti wajah setiap harinya.
Bak dewa, di bawah kaki si
muda-mudi yang tak pernah tua ini berliukan penari-penari gemulai. Tariannya
seakan menghipnotis keduanya untuk tetap berdiri di atas meski angin dan hujan
kian berderai. Ditemani tembang sang biduan alam. Dikelilingi empat bangunan
megah.
Berdiri di jantung Kota Jakarta,
patung selamat datang masih berdiri
tegap hari ini. Menjadi simbol kota metropolitan . Menjadi saksi bisu hiruk
pikuk kota yang tak pernah mati ini. Tahun 1962, tugu muda-mudi yang tengah
melemparkan lambaian tangan ini pertama kali dibangun. Awalnya, Gubernur DKI
Jakarta kala itu, Henk Ngantung membuat rancangan desain tugu tersebut.
Kemudian, idenya direalisasikan oleh Edhi Sunarso.
Lampu-lampu berwarna kuning
keemasan serta sorotan lampu kendaraan malam itu menambah semarak keindahan
liukan air mancur di bawahan patung selamat datang. Apakah air mancur ini
bergerak dengan sendirinya? Atau adakah penggerak lainnya? Entah mesin atau
tangan manusia. Banyak orang tak pernah meragukan keelokan Bundaran HI yang
jika dilihat dari ketinggian terlihat seperti sebuah bola mata. Akan tetapi,
mungkin kebanyakan orang tidak pernah menyadari bahwa jauh di bawah 1,8 meter
kedalaman kolam di Bundaran HI masih ada kehidupan lainnya.
Di sisi kiri dan kanan bangunan
air mancur terdapat sebuah pintu besi berukuran satu kali satu meter menuju ke
bawah tanah. Sekilas terlihat seperti tempat penyimpanan air bawah tanah. Ketika
dibuka, sebuah ruangan layaknya bungker zaman dahulu terlihat jelas. Ukurannya
tiga kali tujuh meter, berisi mesin-mesin kotak dengan tombol berwarna merah
dan hijau, serta kuning. Tak disangka-sangka, di bawah air mancur itu masih ada
kehidupan lainnya.
Ya, ia adalah Herman Stevanus,
seorang pria asal Flores hampir setiap berada di bawah sana untuk memantau air
mancur yang menjadi ikon kota tujuan orang mengadu nasib ini. Hampir 30 tahun,
Herman bergelut di bawah tanah, jauh dari terpaan sinar matahari. Tujuannya
hanya satu. Memastikan sang air mancur tetap dapat berliuk indah.
“Gaji saya ya sesuai UMR. Dua
koma dua tok, tanpa tunjangan, tanpa
gaji tambahan,” ujar pria berusia 57 tahun.
Berdasarkan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tanggal 29 Mei 1989 mengenai Upah Minimum, standar
upah minimum di DKI Jakarta pada tahun 2013 yaitu Rp2.200.000,00. Sekilas jumlahnya
terlihat besar. Namun, jika dikaitkan dengan tingkat kebutuhan hidup di DKI
Jakarta, apakah kata “cukup” sudahlah cukup? Apakah Rp2.200.000,00 sudah bisa
menyejahterakan kehidupan para buruh?
“Ya, dicukupinlah. Kita senang
mengerjakan ini. Soalnya mau pindah enggak enak. Dulu sudah disekolahin jadi security, sudah dikasih sertifikat dari
kepolisian,” tutur pria yang berdomisili di Curug, Banten ini dengan logat khas
Flores-nya yang kental.
Setiap harinya, pria ini harus
bekerja 24 jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. Tak ada pengecualian untuk
hari libur. Pada tanggal-tanggal merah pun, Herman tetap bertugas untuk
mengawasi agar jangan sampai terjadi suatu hal yang tak diinginkan di tugu yang
menjadi kebanggaan Indonesia saat menyambut tamu ASEAN GAMES pada 1962.
Menjadi anggota dinas pertamanan
sedari muda memang jadi cita-cita pria yang memiliki tinggi 160 sentimeter ini.
Suka dan duka sudah ia alami selama menjalani tugasnya.
Tak jarang pengalaman horor pun
pernah ia alami di bungker yang hampir seusia dengan dirinya itu. “Pernah dulu
waktu saya lagi tidur pas hujan-hujan, tiba-tiba ada yang narik kaki saya. Pas
saya lihat ada seorang perempuan. Dia bilang suruh temani perempuan itu,”
ujarnya sambil bergidik ngeri. Akan tetapi, pria yang beragama Katholik ini
langsung buru-buru mengambil rosario andalannya dari lemari dan memanjatkan
doa.
“Yang sedih itu kalau pagi-pagi
saya kontrol eh taunya sudah ada mayat yang ngambang di kolam di atas,” paparnya
sambil menerawang ke atas. Ia selanjutnya menambahkan, kejadian itu sempat
terjadi dua tahun lalu. Pertama-tama, korbannya pria. Belakangan ada pula wanita.
***
Bundaran HI, 23 Juli 2012
Dini hari. Udara dingin
menusuk-nusuk tulang. Herman yang sudah selesai bertugas memilih untuk kembali
ke bungker pribadi miliknya. Ini sudah saatnya ia beristirahat.
Seperti biasa, ia menyiapkan alas
kardus miliknya serta bantal seadanya. Kemudian, membaca Alkitab miliknya.
Lembar demi lembar Perjanjian Lama dibaliknya. Kejadian. Keluaran. Imamat.
Bilangan... Yak Mazmur 109 ayat 105. “Firmanmu adalah pelita bagi kakiku dan
terang bagi......
Tiba-tiba saja...
Jedummmmmmmmmmmmmmm....
Dummmmmmmm......
Bunyi dentuman keras di atas
kepala Herman tiba-tiba menghentakannya dari renungannya saat itu. Apakah ini cuma
halusinasi? Rasanya bukan. Ini benar-benar terjadi di atas bungker
kesayangannya. Buru-buru Herman mengambil sandal hitam dan topi dengan logo
dinas pertamanan di tengahnya. Keningnya berkerut, jantungnya berdegup kencang,
dan tangannya sedikit bekeringat karena panik.
Ia pun menaiki anak tangga,
keluar dari lubang perlindungan bawah tanahnya. Kakinya melangkah cekatan.
Kiri... Kanan... Kiri... Kanan...
Benar saja. Matanya yang sudah
mulai berselaput tidak salah melihat kali ini. Sebuah Mercedes-Benz V8 Biturbo
berwarna keperakan sukses mendarat dengan mulus di kolam tugu Bundaran HI. Ternyata
pukul 03:00 tadi, mobil mewah itu habis memacu kecepatan di Jalan Jenderal
Sudirman, Jakarta Pusat. 120 km/ jam. Dari arah selatan menuju ke utara, aksi
kebut-kebutan itu berujung pada maut. Tiga orang pengamen yang sedang
duduk-duduk santai sambil menyeruput kopinya tiba-tiba saja dihantam oleh badan
sang oto.
Satu orang tewas dan dua lainnya mengalami luka-luka. Sang
pengendara, Darshan Sutrisna, ternyata diketahui berada di bawah pengaruh
alkohol dan narkoba.
Rasa lelah dan kantuk seketika
itu juga sirna. Ia pun berlari ke arah depan Grand Indonesia. Banyak orang
sudah berkerumun di sana, berteriak, “Tolonggggg!!! Tolonggg!!!”
Tanpa tunggu lama, Herman pun
menceburkan dirinya ke kolam kemudian memecahkan kaca mobil tersebut dan
mengeluarkan sang sopir dari dalam kendaraan.
Memang ini bukanlah kecelakaan
yang pertama kali terjadi di Bundaran HI, Jakarta Pusat. Sejak pertama kali
bekerja di sana, Herman telah menjadi saksi hidup segala peristiwa di kota yang
hiruk pikuk ini. Mulai dari demonstrasi, kecelakaan, hingga bunuh diri. Herman
dan tugu selamat datang menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa, potret
karut-marutnya Jakarta.
***
Tak dapat dipungkiri, di samping
kisah duka, pasti ada pula kisah suka.
Menjadi pengawas air mancur
bukanlah pekerjaan yang baru ia lakukan kemarin hari. Ini adalah pekerjaan yang
hampir tiga perempat usianya telah ia dedikasikan. Tugu yang selalu ia
lindungi. Bahkan, sempat membuatnya dijebloskan ke penjara karena melindungi
lampu-lampu di kolam Bundaran HI dari tangan-tangan jahil.
Jenuh? Bisa jadi. Ingin berubah?
Mungkin. Tetapi, belum terpikir olehnya untuk berpindah ke lain hati, lain
pekerjaan lebih tepatnya. Ia belum kapok. Mungkin hati, jiwa, dan nyawanya
sudah menyatu dengan sang tugu yang selalu memberikan senyuman kepada cerita
baru setiap harinya itu.
Usia Herman Stevanus kini tak
lagi muda. 57 tahun. Bagi sebagian orang, ini adalah saatnya memensiunkan diri.
Saatnya menikmati hari tua. Herman pun bisa saja melakukan hal itu. Akan
tetapi, ia belum terpikir untuk melakukannya, “Saya mau bekerja mungkin sampai
saya udah gak sanggup lagi. Sekarang Tuhan masih pakai saya.”
Sudah banyak kisah yang ia lewati
di bawah tugu selamat datang yang selalu tersenyum ini. Ketika orang-orang
masih tertidur pulas di kasur empuk mereka, Herman sudah mulai bekerja. Ketika
orang-orang bangun dan melintas di pusat kota sibuk ini dan melewati tugu yang
selalu ia rawat ini, semuanya mungkin akan berdecak kagum. Akan tetapi, belum
tentu orang-orang itu peduli akan mereka yang ada di balik tugu itu. Di bawah
tanah. Siapa yang tahu kalau 30 tahun ini ada seorang pria yang bertugas
menjaga keindahan ikon kota ini.
Brrrrrrrrrrrr....
Bunyi air mancur menyejukkan
telinga Herman Stevanus di sore yang cerah kala itu. Jalan-jalan sore sambil
memandang berkeliling air mancur, memastikan semuanya sudah terkontrol dengan
baik. Tidak soal orang-orang di luar yang tidak peduli keberadaannya, dedikasi Herman
kini sudah terbayarkan, “Kepala dinas pertamanan sekarang selalu mempercayakan
perawatan air mancur sama saya. Saya juga yang urus bon lampu-lampu itu.
Mahal-mahal semua.”
Tak hanya itu, polisi lalu lintas
di Bundaran HI, Supartono, mengakui, “Herman itu orangnya rajin dan baik.
Bahkan, yang saya tahu dia punya rumah buat dikontrakin di Curug lho.”
Jika ada acara dari dinas
pertamanan, tak jarang kepala dinas pertamanan akan memberikan bonus tambahan
pada Herman. Memang terkadang jumlahnya tak seberapa, cuma sekadar uang rokok
atau nasi kotak.
Dalam kehidupan, kebahagiaan
tidak selalu dapat dibayarkan dengan uang. Sebatas lagu dari bocah-bocah
pengamen setiap malam menjelang bisa menjadi hiburan tersendiri bagi Herman. Tak
usah muluk-muluk memikirkan bisa tinggal di Hotel Indonesia atau di Hotel
Kempinski, cukup dari bungker di bawah tugu selamat datang Kota Jakarta, senyum
puas Herman pun masih dapat terlukis. Senyuman kedua insan ini, Herman dan
patung tugu selamat datang, masih akan terus menjadi saksi datangnya lembaran
kisah baru esok hari. Suka? Duka? Tunggu saja nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar