Rabu, 19 Juni 2013

Saksi Hidup dari Bawah Tugu Selamat Datang


Saksi Hidup dari Bawah Tugu Selamat Datang
Oleh Georgene Suryani - 11140110060
mainkatamainrasa.blogspot.com


Usianya kini menginjak 51 tahun. Tua dan berkeriput? Tidak sama sekali. Sepasang muda-mudi ini masih tegap berdiri. Masih dengan senyuman yang sama, tetapi mungkin dengan makna yang berbeda. Tangan kanannya melambai ke atas, selalu siap menyambut kedatangan kisah yang baru. Menjadi saksi bisu atas sejarah sang waktu yang terus bergerak, sejarah DKI Jakarta yang kian berganti wajah setiap harinya.

Bak dewa, di bawah kaki si muda-mudi yang tak pernah tua ini berliukan penari-penari gemulai. Tariannya seakan menghipnotis keduanya untuk tetap berdiri di atas meski angin dan hujan kian berderai. Ditemani tembang sang biduan alam. Dikelilingi empat bangunan megah.

Berdiri di jantung Kota Jakarta, patung selamat datang masih  berdiri tegap hari ini. Menjadi simbol kota metropolitan . Menjadi saksi bisu hiruk pikuk kota yang tak pernah mati ini. Tahun 1962, tugu muda-mudi yang tengah melemparkan lambaian tangan ini pertama kali dibangun. Awalnya, Gubernur DKI Jakarta kala itu, Henk Ngantung membuat rancangan desain tugu tersebut. Kemudian, idenya direalisasikan oleh Edhi Sunarso.  

Lampu-lampu berwarna kuning keemasan serta sorotan lampu kendaraan malam itu menambah semarak keindahan liukan air mancur di bawahan patung selamat datang. Apakah air mancur ini bergerak dengan sendirinya? Atau adakah penggerak lainnya? Entah mesin atau tangan manusia. Banyak orang tak pernah meragukan keelokan Bundaran HI yang jika dilihat dari ketinggian terlihat seperti sebuah bola mata. Akan tetapi, mungkin kebanyakan orang tidak pernah menyadari bahwa jauh di bawah 1,8 meter kedalaman kolam di Bundaran HI masih ada kehidupan lainnya.  



Di sisi kiri dan kanan bangunan air mancur terdapat sebuah pintu besi berukuran satu kali satu meter menuju ke bawah tanah. Sekilas terlihat seperti tempat penyimpanan air bawah tanah. Ketika dibuka, sebuah ruangan layaknya bungker zaman dahulu terlihat jelas. Ukurannya tiga kali tujuh meter, berisi mesin-mesin kotak dengan tombol berwarna merah dan hijau, serta kuning. Tak disangka-sangka, di bawah air mancur itu masih ada kehidupan lainnya.


Dari kejauhan, seorang pria berkulit sawo matang tengah berada di ruang bawah tugu selamat datang. Tangannya yang berkeriput sedang sibuk memegang rosario sambil membaca doa. Apakah di bawah tanah ada pastur? Atau mungkin ia seorang yang dikurung di bawah tanah? Tentu saja bukan. Ini bukan lagi eranya penjajahan. Lalu siapakah pria ini?

Ya, ia adalah Herman Stevanus, seorang pria asal Flores hampir setiap berada di bawah sana untuk memantau air mancur yang menjadi ikon kota tujuan orang mengadu nasib ini. Hampir 30 tahun, Herman bergelut di bawah tanah, jauh dari terpaan sinar matahari. Tujuannya hanya satu. Memastikan sang air mancur tetap dapat berliuk indah.

“Gaji saya ya sesuai UMR. Dua koma dua tok, tanpa tunjangan, tanpa gaji tambahan,” ujar pria berusia  57 tahun.

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tanggal 29 Mei 1989 mengenai Upah Minimum, standar upah minimum di DKI Jakarta pada tahun 2013 yaitu Rp2.200.000,00. Sekilas jumlahnya terlihat besar. Namun, jika dikaitkan dengan tingkat kebutuhan hidup di DKI Jakarta, apakah kata “cukup” sudahlah cukup? Apakah Rp2.200.000,00 sudah bisa menyejahterakan kehidupan para buruh?

“Ya, dicukupinlah. Kita senang mengerjakan ini. Soalnya mau pindah enggak enak. Dulu sudah disekolahin jadi security, sudah dikasih sertifikat dari kepolisian,” tutur pria yang berdomisili di Curug, Banten ini dengan logat khas Flores-nya yang kental.

Setiap harinya, pria ini harus bekerja 24 jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. Tak ada pengecualian untuk hari libur. Pada tanggal-tanggal merah pun, Herman tetap bertugas untuk mengawasi agar jangan sampai terjadi suatu hal yang tak diinginkan di tugu yang menjadi kebanggaan Indonesia saat menyambut tamu ASEAN GAMES pada 1962.

Menjadi anggota dinas pertamanan sedari muda memang jadi cita-cita pria yang memiliki tinggi 160 sentimeter ini. Suka dan duka sudah ia alami selama menjalani tugasnya.

Tak jarang pengalaman horor pun pernah ia alami di bungker yang hampir seusia dengan dirinya itu. “Pernah dulu waktu saya lagi tidur pas hujan-hujan, tiba-tiba ada yang narik kaki saya. Pas saya lihat ada seorang perempuan. Dia bilang suruh temani perempuan itu,” ujarnya sambil bergidik ngeri. Akan tetapi, pria yang beragama Katholik ini langsung buru-buru mengambil rosario andalannya dari lemari dan memanjatkan doa.

“Yang sedih itu kalau pagi-pagi saya kontrol eh taunya sudah ada mayat yang ngambang di kolam di atas,” paparnya sambil menerawang ke atas. Ia selanjutnya menambahkan, kejadian itu sempat terjadi dua tahun lalu. Pertama-tama, korbannya pria. Belakangan ada pula wanita.

***

Bundaran HI, 23 Juli 2012

Dini hari. Udara dingin menusuk-nusuk tulang. Herman yang sudah selesai bertugas memilih untuk kembali ke bungker pribadi miliknya. Ini sudah saatnya ia beristirahat.

Seperti biasa, ia menyiapkan alas kardus miliknya serta bantal seadanya. Kemudian, membaca Alkitab miliknya. Lembar demi lembar Perjanjian Lama dibaliknya. Kejadian. Keluaran. Imamat. Bilangan... Yak Mazmur 109 ayat 105. “Firmanmu adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi......

Tiba-tiba saja...

Jedummmmmmmmmmmmmmm....

Dummmmmmmm......

Bunyi dentuman keras di atas kepala Herman tiba-tiba menghentakannya dari renungannya saat itu. Apakah ini cuma halusinasi? Rasanya bukan. Ini benar-benar terjadi di atas bungker kesayangannya. Buru-buru Herman mengambil sandal hitam dan topi dengan logo dinas pertamanan di tengahnya. Keningnya berkerut, jantungnya berdegup kencang, dan tangannya sedikit bekeringat karena panik.

Ia pun menaiki anak tangga, keluar dari lubang perlindungan bawah tanahnya. Kakinya melangkah cekatan. Kiri... Kanan... Kiri... Kanan...

Benar saja. Matanya yang sudah mulai berselaput tidak salah melihat kali ini. Sebuah Mercedes-Benz V8 Biturbo berwarna keperakan sukses mendarat dengan mulus di kolam tugu Bundaran HI. Ternyata pukul 03:00 tadi, mobil mewah itu habis memacu kecepatan di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. 120 km/ jam. Dari arah selatan menuju ke utara, aksi kebut-kebutan itu berujung pada maut. Tiga orang pengamen yang sedang duduk-duduk santai sambil menyeruput kopinya tiba-tiba saja dihantam oleh badan sang oto. 

Satu orang tewas dan dua lainnya mengalami luka-luka. Sang pengendara, Darshan Sutrisna, ternyata diketahui berada di bawah pengaruh alkohol dan narkoba.

Rasa lelah dan kantuk seketika itu juga sirna. Ia pun berlari ke arah depan Grand Indonesia. Banyak orang sudah berkerumun di sana, berteriak, “Tolonggggg!!! Tolonggg!!!”

Tanpa tunggu lama, Herman pun menceburkan dirinya ke kolam kemudian memecahkan kaca mobil tersebut dan mengeluarkan sang sopir dari dalam kendaraan.

Memang ini bukanlah kecelakaan yang pertama kali terjadi di Bundaran HI, Jakarta Pusat. Sejak pertama kali bekerja di sana, Herman telah menjadi saksi hidup segala peristiwa di kota yang hiruk pikuk ini. Mulai dari demonstrasi, kecelakaan, hingga bunuh diri. Herman dan tugu selamat datang menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa, potret karut-marutnya Jakarta.

***



Tak dapat dipungkiri, di samping kisah duka, pasti ada pula kisah suka.

Menjadi pengawas air mancur bukanlah pekerjaan yang baru ia lakukan kemarin hari. Ini adalah pekerjaan yang hampir tiga perempat usianya telah ia dedikasikan. Tugu yang selalu ia lindungi. Bahkan, sempat membuatnya dijebloskan ke penjara karena melindungi lampu-lampu di kolam Bundaran HI dari tangan-tangan jahil.

Jenuh? Bisa jadi. Ingin berubah? Mungkin. Tetapi, belum terpikir olehnya untuk berpindah ke lain hati, lain pekerjaan lebih tepatnya. Ia belum kapok. Mungkin hati, jiwa, dan nyawanya sudah menyatu dengan sang tugu yang selalu memberikan senyuman kepada cerita baru setiap harinya itu.

Pikiran Herman pun kembali berputar ke tahun 1999 saat putri satu-satunya akan masuk ke akademi keperawatan. Butuh biaya Rp18 juta Rupiah. Belum lagi biaya kos sang putri sewaktu menjalani pendidikan itu selama tiga tahun. Bukan jumlah yang kecil. Uang darimana, pikirnya. Tapi, tugu air mancur inilah yang menyelamatkannya. Dari tugu inilah ia bisa memperoleh biaya untuk sekolah sang anak, dapur sang istri.

Usia Herman Stevanus kini tak lagi muda. 57 tahun. Bagi sebagian orang, ini adalah saatnya memensiunkan diri. Saatnya menikmati hari tua. Herman pun bisa saja melakukan hal itu. Akan tetapi, ia belum terpikir untuk melakukannya, “Saya mau bekerja mungkin sampai saya udah gak sanggup lagi. Sekarang Tuhan masih pakai saya.”

Sudah banyak kisah yang ia lewati di bawah tugu selamat datang yang selalu tersenyum ini. Ketika orang-orang masih tertidur pulas di kasur empuk mereka, Herman sudah mulai bekerja. Ketika orang-orang bangun dan melintas di pusat kota sibuk ini dan melewati tugu yang selalu ia rawat ini, semuanya mungkin akan berdecak kagum. Akan tetapi, belum tentu orang-orang itu peduli akan mereka yang ada di balik tugu itu. Di bawah tanah. Siapa yang tahu kalau 30 tahun ini ada seorang pria yang bertugas menjaga keindahan ikon kota ini.

Brrrrrrrrrrrr....

Bunyi air mancur menyejukkan telinga Herman Stevanus di sore yang cerah kala itu. Jalan-jalan sore sambil memandang berkeliling air mancur, memastikan semuanya sudah terkontrol dengan baik. Tidak soal orang-orang di luar yang tidak peduli keberadaannya, dedikasi Herman kini sudah terbayarkan, “Kepala dinas pertamanan sekarang selalu mempercayakan perawatan air mancur sama saya. Saya juga yang urus bon lampu-lampu itu. Mahal-mahal semua.”

Tak hanya itu, polisi lalu lintas di Bundaran HI, Supartono, mengakui, “Herman itu orangnya rajin dan baik. Bahkan, yang saya tahu dia punya rumah buat dikontrakin di Curug lho.”

Jika ada acara dari dinas pertamanan, tak jarang kepala dinas pertamanan akan memberikan bonus tambahan pada Herman. Memang terkadang jumlahnya tak seberapa, cuma sekadar uang rokok atau nasi kotak.

Dalam kehidupan, kebahagiaan tidak selalu dapat dibayarkan dengan uang. Sebatas lagu dari bocah-bocah pengamen setiap malam menjelang bisa menjadi hiburan tersendiri bagi Herman. Tak usah muluk-muluk memikirkan bisa tinggal di Hotel Indonesia atau di Hotel Kempinski, cukup dari bungker di bawah tugu selamat datang Kota Jakarta, senyum puas Herman pun masih dapat terlukis. Senyuman kedua insan ini, Herman dan patung tugu selamat datang, masih akan terus menjadi saksi datangnya lembaran kisah baru esok hari. Suka? Duka? Tunggu saja nanti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar