Lantunan lagu I want to hold your hand terdengar dari speaker. Suara khas
penyanyi legendaris asal Inggris the beatles seakan membuat para pendegarnya
menjadi ingin bergoyang mengikuti alunan musik.
Irama ngebit yang dihasilkan mengantarkan diri
kita kembali mengenang masa lalu. Di saat band itu mulai di agung-agungkan oleh
para pendengar setianya.
Lagu
itu berasal dari sebuah speaker yang terhubung dengan sebuah alat. Di atasnya
terdapat sebuah plat berwarna hitam. berukuran 30 cm. berputar dengan perlahan,
di atas sebuah alat pemutar khusus. Plat ini sering disebut juga dengan
piringan hitam atau vinyl. Jarum pemutar di
letakkan diatas garis piringan hitam yang berputar.
“ini baru dunia gw, di sini surga gw,” kata seorang
pria pada saat itu.
Pria itu
adalah David Tarigan. Ia adalah Salah satu kolektor piringan hitam. Laki-laki
yang berumur 36 tahun ini sudah jatuh hati pada dunia musik sejak ia duduk di
sekolah dasar. Lebih dari 100 keping piringan hitam tersusun rapi dalam rak di
rumahnya. Mulai dari lagu rock sampai lagu melayu telah ia miliki.
“Entah
kenapa, dari kecil saya memang sudah punya antusias yang berlebihan pada musik,
walaupun saya tidak pernah sekolah musik,” kata david sambil tersenyum.
Berawal
dari kecintaannya dengan lagu-lagu lawas, david kecil pun mulai melirik
piringan hitam (vinyl), kaset, dan cd. Pada akhirnya
ia lebih memilih piringan hitam.
Menurutnya,
kualitas suara yang dihasilkan dari piringan hitam jauh lebih bagus di bandingkan kaset.
Piringan hitam tidak mudah rusak dan suara yang direkam bagus. Jadi selama
piringan hitamnya tidak baret-baret,
maka piringan hitam tidak akan bermasalah. Oleh karena itulah piringan hitam
banyak disukai orang-orang.
Piringan
hitam pertama david di dapat saat ia berumur 12 tahun. Sebagai hadiah ulang
tahunnya david dengan sengaja mengajak orang tuanya pergi ke Jalan Surabaya
hanya untuk membeli piringan hitam. Setelah memilih pilihannya jatuh pada beberapa
keping piringan hitam.
“Gw
lupa apa yang gw beli waktu itu, yang jelas gw beli 3 keping,” ujarnya sambil
terus mengingat.
Sampai
di rumah david hanya bisa memandangi piringan hitam miliknya, karena ia belum mempunyai
alat pemutarnya. Sering disebut dengan turntable. Beberapa bulan kemudian david
akhirnya bisa membeli turntable, dengan uang jajan yang sengaja dia sisihkan
setiap harinya.
Menurutnya,
Mendengarkan sebuah lagu
atau musik dari sebuah band hanyalah salah satu bagian dari paket besar
pengalaman rock. Mulai dari band, fashion mereka,
instrument, lirik, karya seni,
semua elemen yang
mengkonstruksi budayanya.
Era rock telah mengajarkan david tidak hanya sekedar mendengar saja, tetapi juga mengalaminya
dengan seluruh jiwa raga. Itulah sensasi yang di rasakan saat
mempunyai piringan hitam. berbeda saat mendengarkannya hanya lewat rekaman
digital.
Piringan
hitam yang sudah ada sejak tahun 1940-an pun sudah mulai di tinggalkan oleh
para penikmatnya. Tahun 1980-an, kaset pita dan cd sudah mulai muncul dalam
dunia permusikan Indonesia. Berbeda dengan remaja-remaja lainnya yang mencari
kaset atau cd dari band terkenal. David malah mencari piringan hitam dari band
atau musisi yang belum ia ketahui.
“Setiap
orang pasti suka musik yang berbeda-beda genrenya, termasuk gw. Tidak ada satu
genre khusus, semua musik gw suka. Untuk lagu Indonesia. Mulai dari lagu yang
terkenal sampai lagu yang gak banget, gw punya.” Ujar david saat di temui di
kantornya.
***
Di
Indonesia sendiri, piringan hitam mulai digunakan sebagai alat perekam sekitar
tahun 1957. Perusahaan rekaman yang berjaya saat itu dan memproduksi piringan
hitam adalah Lokananta di Surakarta
dan Irama di Menteng.
Beberapa artis seperti Koes Bersaudara, Titiek Puspa, dan Lilies
Suryani adalah yang merekam lagunya di perusahaan rekaman tersebut dalam format
piringan hitam. Pada masa itu di Indonesia, piringan hitam termasuk mahal,
ditambah lagi dengan alat pemutarnya, jadi tidak semua orang di Indonesia
memilikinya. Itulah salah satu faktor yang menyebabkan piringan hitam kurang
terkenal di Indonesia.
Untuk di dunia sendiri, piringan hitam mulai turun pamornya sejak
adanya CD pada awal tahun 1980-an. CD berhasil menggusur pasar piringan hitam
karena fisiknya yang lebih kecil sehingga dapat dengan mudah dibawa, ditambah
lagi suaranya yang jernih.
Namun, pada masa sekarang ini, piringan hitam masih dan sedang
banyak dicari. Karena orang-orang yang ingin memiliki rekaman musisi idolanya,
ingin mempunyai rekaman mereka dari zaman piringan hitam. Lagi pula rekaman
lagu-lagu untuk musisi-musisi lama lebih banyak di piringan hitam. Selain itu
nilai tambahan untuk yang mempunyai piringan hitam sekarang ini adalah kepuasan
batin, gengsi, dan esensinya dalam mengoleksi barang.
Mulai
tahun 1958, piringan hitam mulai dicoba untuk dipasarkan kepada umum melalui
RRI. Lokananta terdapat
bukti - bukti sejarah yang terekam dalam piringan hitam yang kini bisu. Saat
ini lokananta disebut sebagai perpustakaan audio,
karena hingga saat ini lokananta memiliki koleksi sekitar 40 ribu keping
piringan hitam dan koleksi audio dalam beragam format seperti kaset pita, CD.
Koleksinya
terdiri dari rekaman lagu nasional dan daerah. Rekaman seni budaya semisal
Karawitan Ki Nartosabdho, pementasan kesenian, dan dagelan Basiyo, hingga
fakta-fakta sejarah penting, antara lain beberapa piringan hitam pidato-pidato
Soekarno, dan 833 keping piringan hitam yang berisi lagu kebangsaan.
Salah
satu rekaman yang penting adalah pidato Presiden Soekarno yang mengungkap
rahasia dibalik misteri Supersemar.
Di Lokananta pula
terrekam lagu Indonesia Raya dengan
versi 3 stanza.
Jalan Surabaya adalah salah satu pusat
penjualan piringan hitam di Jakarta. Sebuah jalan yang berada di kawasan
Jakarta Pusat itu, memang sering dikunjungi oleh para kolektor dari berbagai
daerah. Termasuk kolektor dari luar negeri.
Di sepanjang jalan Surabaya Jakarta berjejer
kios-kios yang menjual piringan hitam. Di dalam kios yang berukuran 3x2 meter itu,
di keliling rak-rak besi berkarat yang berisi ratusan keping piringan hitam
berjejer.
Setiap harinya para kolektor datang untuk
mencari piringan hitam. Ada yang datang untuk menambah koleksi mereka atau
hanya sekedar bernostagia.
***
Selain piringan hitam medium penyimpanan musik, adalah kaset pita.
Keberadaan kaset di dunia sejak tahun 1963. Akan tetapi kaset tidak bisa
menggusur kedudukan piringan hitam saat itu. Sekitar tahun 1970-an barulah
kaset mulai banyak dilirik oleh orang-orang dan juga industri rekaman.
Kaset mempunyai bentuk yang sederhana, dengan dua bolongan sebagai
alat pemutar pita magnetiknya. Pita magnetik adalah media untuk merekam suara
di dalam kaset. Kapasitas merekam yang dapat dilakukan sebuah kaset
berbeda-beda, yang paling sedikit kapasitasnya hanya bisa merekam selam tujuh
menit di setiap sidenya, jadi bila dijumlahkan durasi satu kaset adalah
14 menit, sedangkan yang paling panjang kapasitasnya adalah yang bisa merekam
sampai 60 menit di setiap sidenya, jadi durasi keseluruhannya adalah 120 menit
atau dua jam.
Primadona alat perekam musik sampai saat ini adalah compact disc
yang biasa kita kenal dengan CD. Hadir pada awal tahun 1980an dan berhasil
menggeser kedudukan pendahulunya, piringan hitam dan kaset. Keunggulan CD yaitu
pada bentuknya yang hanya berdiameter 12 cm dengan berat 15-20 gram, mempunyai
kualitas suaranya yang jernih, kemampuan merekamnya yang melebihi kaset, dapat
merekam hingga lebih dari 700 mega byte.
Selain itu perawatan CD juga terbilang lebih mudah. Prinsip dasar
perawatannya sama seperti piringan hitam, selama tidak baret-baret CD itu akan
baik-baik saja. Kelebihan lain adalah Terdapat banyak alat untuk dapat
memutarnya. CD dapat diputar apabila sensor yang berbentuk seperti mata yang
terdapat di alat pemutar CD dapat membaca CD tersebut.
***
Ketika
rekaman resmi dengan lisensi mulai diperkenalkan di Indonesia sekira 1988 yang
dipicu oleh kemarahan Bob Geldof. karena dibajaknya album charity USA For
Africa, kebiasaan membeli album buatan pembajak lokal semakin terkikis. Sebagai
gantinya, orang mulai terpaksa untuk membeli album penuh, kecuali tentu saja
jika ada album yang merupakan album kompilasi resmi. Hal ini yang menyebabkan
harga cd di pasaran menjadi sangat mahal.
“Dulu
3 ribu aja gw udah bisa satu keping piringan hitam, paling mahal 20 ribu,”.
“Sekarang?”.
“Syukur
kalo bisa dengan harga 100 ribu”.
“penjual
sekarang udah pada tau duit, jadi dia bisa jual dengan harga tinggi”.
Nada
bicaranya mulai berubah.
David
pun mengalami kesulitan dalam mengumpulkan piringan hitam. Pada awal david
ingin mencari piringan hitam di saat itu pula peredaran rekaman secara fisik di
batasi. Pemerintahan mengeluarkan lisensi kepada para pemusik.
Namun lepas apakah bajakan atau tidak,
memiliki rekaman, membeli sebuah karya seni musik dalam suatu media penyimpan
data berupa kaset, CD, atau di masa lebih lampau lagi adalah piringan hitam
menjadi sebuah nilai plus dalam mengapresiasi seni musik. Itu semua tergantung
artifact yang di rasakan antara artis dan penggemarnya.
“Bagi Gw piringan hitam
secara tradisional merupakan elemen mendasar dari pemujaan rock. Bukan cd atau
kaset, mereka datang belakangan. Piringan hitam menghubungkan sang pujaan dan
pemuja. Seperti sesuatu yang mengandung DNA sang pujaan yang bisa dilebur oleh
jiwa pemujanya,”
kata david dengan bangga.
David menyiapkan dana khusus untuk
hobinya yang satu ini. Dengan nilai dua juta rupiah per bulan bisa ia keluarkan
dari dalam sakunya hanya untuk membeli piringan hitam kesukaannya.
“Hidup miskin, hidup miskin deh, gak
apa-apa,”.
“Tapi itu waktu gw masih sendiri,
belum berkeluarga”.
Laki-laki yang selalu memakai
topi khas Bob marley ini memang sangat
mencintai dunia musik. Bukti lain dari kecintaannya dengan musik adalah ia
selalu membeli hasil rekaman dalam bentuk fisik. Originalitas dari piringan
hitam, kaset, ataupun cd yang ia beli selalu di perhatikannya.
“Gw gak suka yang reissue, baik itu dalam bentuk vinyl juga, apalagi kaset atau cd.”
David pun selalu
di dukung oleh orang-orang yang berada di sekitarnya dalam hobinya mengoleksi
benda yang dibisa di bilang lawas ini. Tak ada larangan dari orang tua maupun
istrinya. Mereka hanya bisa mengomentari apa bila david sudah mendengakan atau
merawat piringan hitamnya itu.
“Gw itu bisa
seharian penuh dengerin musik, Bisa banget!, sampe gak keluar kamar seharian.
Setiap sabtu minggu biasanya gw dengerin piringan hitam gw, dengan
ritual-ritual khusus sebelumnya pasti,”.
Membersihkan
piringan hitam dengan cairan pembersih khusus, mengecek turntable, merupakan
salah satu ritual khusus yang dilakukan david sebelum mendengarkan salah satu
dari koleksinya. Pastinya dengan di temani segelas kopi hangat kesukaannya.
“istri gw sering
marah-marah kalo mengeliat piringan hitam gw berceceran di lantai,” ujarnya
sambil sedikit tersenyum.
David pun tak
berhenti hanya sekedar mengoleksi piringan hitam saja, tetapi ia juga telah
memiliki sebuah perusahaan label musik yang dirikan bersama teman-temannya. Label
musiknya di dirikan dari hasil
persahabatan mereka dengan komunitas-komunitas musik independen dan
kecintaan mereka terhadap musik itu sendiri.
Ia beranggapan piringan
hitam tentunya
akan makin punah. Apalagi di
Indonesia. Yang makin banyak tentunya pedagang piringan hitam baru atau bekas
dan kaset bekas. Di Barat walaupun penjualan plat naik, banyak juga toko
rekaman yang tutup. Yang akan bertahan tentunya toko-toko kecil atau toko
khusus. Faktor yang cukup
berpengaruh juga tentunya dengan adanya internet.
Berharap bagi
para pemusik atau pekerja seni sebaiknya
mengemas rekaman fisik dengan
menarik. Buat para penggemar berat merasa craving. Sesuatu yang bisa bergerak mewakili segala
elemen yang membuat para fans gemeteran. Sesuatu yang bisa dialami. Didengar,
dilihat, dirasa, dan dipakai. Berlaku untuk rilisan dan juga merchandise,
agar mereka bisa tetap Berjaya di industri musik Indonesia.
Piringan Hitam Pertama Saya |
Sri Gemi Nastiti
11140110016
Penulisan Feature B1
keren...boleh minta alamat emailnya?
BalasHapus