Rabu, 19 Juni 2013

BERPUTAR BERSAMA PIRINGAN HITAM

Lantunan lagu I want to hold your hand terdengar dari speaker. Suara khas penyanyi legendaris asal Inggris the beatles seakan membuat para pendegarnya menjadi ingin bergoyang mengikuti alunan musik.

Irama ngebit yang dihasilkan mengantarkan diri kita kembali mengenang masa lalu. Di saat band itu mulai di agung-agungkan oleh para pendengar setianya.

Lagu itu berasal dari sebuah speaker yang terhubung dengan sebuah alat. Di atasnya terdapat sebuah plat berwarna hitam. berukuran 30 cm. berputar dengan perlahan, di atas sebuah alat pemutar khusus. Plat ini sering disebut juga dengan piringan hitam atau vinyl. Jarum pemutar di letakkan diatas garis piringan hitam yang berputar.

“ini baru dunia gw, di sini surga gw,” kata seorang pria pada saat itu. 

Pria itu adalah David Tarigan. Ia adalah Salah satu kolektor piringan hitam. Laki-laki yang berumur 36 tahun ini sudah jatuh hati pada dunia musik sejak ia duduk di sekolah dasar. Lebih dari 100 keping piringan hitam tersusun rapi dalam rak di rumahnya. Mulai dari lagu rock sampai lagu melayu telah ia miliki.

“Entah kenapa, dari kecil saya memang sudah punya antusias yang berlebihan pada musik, walaupun saya tidak pernah sekolah musik,” kata david sambil tersenyum.

Berawal dari kecintaannya dengan lagu-lagu lawas, david kecil pun mulai melirik piringan hitam (vinyl), kaset, dan cd. Pada akhirnya ia lebih memilih piringan hitam.

Menurutnya, kualitas suara yang dihasilkan dari piringan hitam jauh lebih bagus di bandingkan kaset. Piringan hitam tidak mudah rusak dan suara yang direkam bagus. Jadi selama piringan hitamnya  tidak baret-baret, maka piringan hitam tidak akan bermasalah. Oleh karena itulah piringan hitam banyak disukai orang-orang.

Piringan hitam pertama david di dapat saat ia berumur 12 tahun. Sebagai hadiah ulang tahunnya david dengan sengaja mengajak orang tuanya pergi ke Jalan Surabaya hanya untuk membeli piringan hitam. Setelah memilih pilihannya jatuh pada beberapa keping piringan hitam.

“Gw lupa apa yang gw beli waktu itu, yang jelas gw beli 3 keping,” ujarnya sambil terus mengingat.

Sampai di rumah david hanya bisa memandangi piringan hitam miliknya, karena ia belum mempunyai alat pemutarnya. Sering disebut dengan turntable. Beberapa bulan kemudian david akhirnya bisa membeli turntable, dengan uang jajan yang sengaja dia sisihkan setiap harinya.

Menurutnya, Mendengarkan sebuah lagu atau musik dari sebuah band hanyalah salah satu bagian dari paket besar pengalaman rock. Mulai dari band, fashion mereka, instrument, lirik, karya seni, semua elemen yang mengkonstruksi budayanya.

Era rock telah mengajarkan david tidak hanya sekedar mendengar saja, tetapi juga mengalaminya dengan seluruh jiwa raga. Itulah sensasi yang di rasakan saat mempunyai piringan hitam. berbeda saat mendengarkannya hanya lewat rekaman digital.

Piringan hitam yang sudah ada sejak tahun 1940-an pun sudah mulai di tinggalkan oleh para penikmatnya. Tahun 1980-an, kaset pita dan cd sudah mulai muncul dalam dunia permusikan Indonesia. Berbeda dengan remaja-remaja lainnya yang mencari kaset atau cd dari band terkenal. David malah mencari piringan hitam dari band atau musisi yang belum ia ketahui.
“Setiap orang pasti suka musik yang berbeda-beda genrenya, termasuk gw. Tidak ada satu genre khusus, semua musik gw suka. Untuk lagu Indonesia. Mulai dari lagu yang terkenal sampai lagu yang gak banget, gw punya.” Ujar david saat di temui di kantornya.

***

Di Indonesia sendiri, piringan hitam mulai digunakan sebagai alat perekam sekitar tahun 1957. Perusahaan rekaman yang berjaya saat itu dan memproduksi piringan hitam adalah Lokananta di Surakarta dan Irama di Menteng.

Beberapa artis seperti Koes Bersaudara, Titiek Puspa, dan Lilies Suryani adalah yang merekam lagunya di perusahaan rekaman tersebut dalam format piringan hitam. Pada masa itu di Indonesia, piringan hitam termasuk mahal, ditambah lagi dengan alat pemutarnya, jadi tidak semua orang di Indonesia memilikinya. Itulah salah satu faktor yang menyebabkan piringan hitam kurang terkenal di Indonesia.

Untuk di dunia sendiri, piringan hitam mulai turun pamornya sejak adanya CD pada awal tahun 1980-an. CD berhasil menggusur pasar piringan hitam karena fisiknya yang lebih kecil sehingga dapat dengan mudah dibawa, ditambah lagi suaranya yang jernih.

Namun, pada masa sekarang ini, piringan hitam masih dan sedang banyak dicari. Karena orang-orang yang ingin memiliki rekaman musisi idolanya, ingin mempunyai rekaman mereka dari zaman piringan hitam. Lagi pula rekaman lagu-lagu untuk musisi-musisi lama lebih banyak di piringan hitam. Selain itu nilai tambahan untuk yang mempunyai piringan hitam sekarang ini adalah kepuasan batin, gengsi, dan esensinya dalam mengoleksi barang.

Mulai tahun 1958, piringan hitam mulai dicoba untuk dipasarkan kepada umum melalui RRI. Lokananta terdapat bukti - bukti sejarah yang terekam dalam piringan hitam yang kini bisu. Saat ini lokananta disebut  sebagai perpustakaan audio, karena hingga saat ini lokananta memiliki koleksi sekitar 40 ribu keping piringan hitam dan koleksi audio dalam beragam format seperti kaset pita, CD.

Koleksinya terdiri dari rekaman lagu nasional dan daerah. Rekaman seni budaya semisal Karawitan Ki Nartosabdho, pementasan kesenian, dan dagelan Basiyo, hingga fakta-fakta sejarah penting, antara lain beberapa piringan hitam pidato-pidato Soekarno, dan 833 keping piringan hitam yang berisi lagu kebangsaan.

Salah satu rekaman yang penting adalah pidato Presiden Soekarno yang mengungkap rahasia dibalik misteri Supersemar. Di Lokananta pula terrekam lagu Indonesia Raya dengan versi 3 stanza.

Jalan Surabaya adalah salah satu pusat penjualan piringan hitam di Jakarta. Sebuah jalan yang berada di kawasan Jakarta Pusat itu, memang sering dikunjungi oleh para kolektor dari berbagai daerah. Termasuk kolektor dari luar negeri.

Di sepanjang jalan Surabaya Jakarta berjejer kios-kios yang menjual piringan hitam. Di dalam kios yang berukuran 3x2 meter itu, di keliling rak-rak besi berkarat yang berisi ratusan keping piringan hitam berjejer.

Setiap harinya para kolektor datang untuk mencari piringan hitam. Ada yang datang untuk menambah koleksi mereka atau hanya sekedar bernostagia.

***

Selain piringan hitam medium penyimpanan musik, adalah kaset pita. Keberadaan kaset di dunia sejak tahun 1963. Akan tetapi kaset tidak bisa menggusur kedudukan piringan hitam saat itu. Sekitar tahun 1970-an barulah kaset mulai banyak dilirik oleh orang-orang dan juga industri rekaman.

Kaset mempunyai bentuk yang sederhana, dengan dua bolongan sebagai alat pemutar pita magnetiknya. Pita magnetik adalah media untuk merekam suara di dalam kaset. Kapasitas merekam yang dapat dilakukan sebuah kaset berbeda-beda, yang paling sedikit kapasitasnya hanya bisa merekam selam tujuh menit di setiap sidenya, jadi bila dijumlahkan durasi satu kaset adalah 14 menit, sedangkan yang paling panjang kapasitasnya adalah yang bisa merekam sampai 60 menit di setiap sidenya, jadi durasi keseluruhannya adalah 120 menit atau dua jam.

Primadona alat perekam musik sampai saat ini adalah compact disc yang biasa kita kenal dengan CD. Hadir pada awal tahun 1980an dan berhasil menggeser kedudukan pendahulunya, piringan hitam dan kaset. Keunggulan CD yaitu pada bentuknya yang hanya berdiameter 12 cm dengan berat 15-20 gram, mempunyai kualitas suaranya yang jernih, kemampuan merekamnya yang melebihi kaset, dapat merekam hingga lebih dari 700 mega byte.

Selain itu perawatan CD juga terbilang lebih mudah. Prinsip dasar perawatannya sama seperti piringan hitam, selama tidak baret-baret CD itu akan baik-baik saja. Kelebihan lain adalah Terdapat banyak alat untuk dapat memutarnya. CD dapat diputar apabila sensor yang berbentuk seperti mata yang terdapat di alat pemutar CD dapat membaca CD tersebut.

***

Ketika rekaman resmi dengan lisensi mulai diperkenalkan di Indonesia sekira 1988 yang dipicu oleh kemarahan Bob Geldof. karena dibajaknya album charity USA For Africa, kebiasaan membeli album buatan pembajak lokal semakin terkikis. Sebagai gantinya, orang mulai terpaksa untuk membeli album penuh, kecuali tentu saja jika ada album yang merupakan album kompilasi resmi. Hal ini yang menyebabkan harga cd di pasaran menjadi sangat mahal.

“Dulu 3 ribu aja gw udah bisa satu keping piringan hitam, paling mahal 20 ribu,”.

“Sekarang?”.

“Syukur kalo bisa dengan harga 100 ribu”.

“penjual sekarang udah pada tau duit, jadi dia bisa jual dengan harga tinggi”.
Nada bicaranya mulai berubah.

David pun mengalami kesulitan dalam mengumpulkan piringan hitam. Pada awal david ingin mencari piringan hitam di saat itu pula peredaran rekaman secara fisik di batasi. Pemerintahan mengeluarkan lisensi kepada para pemusik.

Namun lepas apakah bajakan atau tidak, memiliki rekaman, membeli sebuah karya seni musik dalam suatu media penyimpan data berupa kaset, CD, atau di masa lebih lampau lagi adalah piringan hitam menjadi sebuah nilai plus dalam mengapresiasi seni musik. Itu semua tergantung artifact yang di rasakan antara artis dan penggemarnya.

Bagi Gw piringan hitam secara tradisional merupakan elemen mendasar dari pemujaan rock. Bukan cd atau kaset, mereka datang belakangan. Piringan hitam menghubungkan sang pujaan dan pemuja. Seperti sesuatu yang mengandung DNA sang pujaan yang bisa dilebur oleh jiwa pemujanya,” kata david dengan bangga.

David menyiapkan dana khusus untuk hobinya yang satu ini. Dengan nilai dua juta rupiah per bulan bisa ia keluarkan dari dalam sakunya hanya untuk membeli piringan hitam kesukaannya.

“Hidup miskin, hidup miskin deh, gak apa-apa,”.

“Tapi itu waktu gw masih sendiri, belum berkeluarga”.

Laki-laki yang selalu memakai topi  khas Bob marley ini memang sangat mencintai dunia musik. Bukti lain dari kecintaannya dengan musik adalah ia selalu membeli hasil rekaman dalam bentuk fisik. Originalitas dari piringan hitam, kaset, ataupun cd yang ia beli selalu di perhatikannya.
“Gw gak suka yang reissue, baik itu dalam bentuk vinyl juga, apalagi kaset atau cd. 

David pun selalu di dukung oleh orang-orang yang berada di sekitarnya dalam hobinya mengoleksi benda yang dibisa di bilang lawas ini. Tak ada larangan dari orang tua maupun istrinya. Mereka hanya bisa mengomentari apa bila david sudah mendengakan atau merawat piringan hitamnya itu.

“Gw itu bisa seharian penuh dengerin musik, Bisa banget!, sampe gak keluar kamar seharian. Setiap sabtu minggu biasanya gw dengerin piringan hitam gw, dengan ritual-ritual khusus sebelumnya pasti,”.

Membersihkan piringan hitam dengan cairan pembersih khusus, mengecek turntable, merupakan salah satu ritual khusus yang dilakukan david sebelum mendengarkan salah satu dari koleksinya. Pastinya dengan di temani segelas kopi hangat kesukaannya.

“istri gw sering marah-marah kalo mengeliat piringan hitam gw berceceran di lantai,” ujarnya sambil sedikit tersenyum.

David pun tak berhenti hanya sekedar mengoleksi piringan hitam saja, tetapi ia juga telah memiliki sebuah perusahaan label musik yang dirikan bersama teman-temannya. Label musiknya di dirikan dari hasil  persahabatan mereka dengan komunitas-komunitas musik independen dan kecintaan mereka terhadap musik itu sendiri.

Ia beranggapan piringan hitam tentunya akan makin punah. Apalagi di Indonesia. Yang makin banyak tentunya pedagang piringan hitam baru atau bekas dan kaset bekas. Di Barat walaupun penjualan plat naik, banyak juga toko rekaman yang tutup. Yang akan bertahan tentunya toko-toko kecil atau toko khusus. Faktor yang cukup berpengaruh juga tentunya dengan adanya internet.

Berharap bagi para pemusik atau pekerja seni  sebaiknya mengemas rekaman fisik dengan menarik. Buat para penggemar berat  merasa craving. Sesuatu yang bisa bergerak mewakili segala elemen yang membuat para fans gemeteran. Sesuatu yang bisa dialami. Didengar, dilihat, dirasa, dan dipakai. Berlaku untuk rilisan dan juga merchandise, agar mereka bisa tetap Berjaya di industri musik Indonesia.
 Piringan Hitam Pertama Saya

 Sri Gemi Nastiti
11140110016
Penulisan Feature B1

1 komentar: