Selasa, 18 Juni 2013

KUSTA, RSK DR. SITANALA, DAN NIKAH MASSAL


KUSTA, RSK DR. SITANALA, DAN NIKAH MASSAL
Oleh Maria Meidiatami Kira


 “KUSTA susah matinya!” ujar seorang perawat Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala berdarah Sumatera, Ibu Elisabet namanya.

            Mata sayu. Rambut pendek, sebahu. Anting-anting. Gelang. Kalung. Cincin. Silver. Senyum. Senyum sumringah tersungging di wajah ibu yang lahir pada 24 Oktober 1963 yang masih segar itu. Garis-garis halus di tepian matanya lah yang bercerita tentang lika-liku dunia, yang hampir setengah abad ini ia jalani. Seorang ibu dengan dua putri. Seorang Istri.
Saat bercerita, gelak tawa kecilnya yang khas ibu-ibu mewarnai pendapat-pendapat masyarakat yang masih menganggap kusta sebagai sesuatu yang ngeri. Perawat ini seperti Ernesto Che Guevara, seorang calon dokter yang melakukan perjalanan menuju rumah sakit kusta terbesar di San Pablo dengan mengendarai sepeda motor, dalam The Motorcycle Diaries.

bersama Ibu Elisabet


Ya. Mereka sedikit berbeda. Ernesto seorang lelaki calon dokter. Sedangkan ibu Elisabeth seorang perawat. Namun, mereka sama-sama tidak takut dan ingin mengubah pandangan orang-orang tentang kusta, atau lepra, atau Hansen’s disease.


Apa itu kusta?
“Penyakit seram dan bahaya. Soalnya menular.” (Aris Hwanggara, Mahasiswa)
Penyakit kulit dan syaraf, yang cukup ditakuti dan memang dampaknya bisa berbahaya, tapi mungkin terlalu banyak diekspos kengeriannya, tapi sedikit diketahui tentang apa yang sesungguhnya jadi penyebab dan bagaimana menghadapinya. Mungkin akan berbeda kalau masyarakat well-informed tentang kusta.” (Ariel Obadyah, Dosen)

Bener. Kusta itu susah matinya,” ibu Elisabet kembali berkata dengan nada serius yang ringan. Namun, mengubah pola pikir yang selama ini terukir di otak, yaitu kusta adalah penyakit mematikan.

            Penyakit yang menyerang saraf tepi manusia ini sudah ada sejak zaman purbakala. Di masa itu, penderita kusta mengasingkan diri secara spontan karena adanya rasa rendah diri dan malu terhadap kecacatan yang terjadi. Selain itu, manusia lain juga merasa takut dengan mereka. Di zaman pertengahan, penderita lebih diisolasi dan dibuang di suatu tempat (daerah) khusus orang-orang kusta dan menghabiskan sisa hidupnya di sana. Kemudian, di zaman modern, G.H. Hansen (1873) menemukan kuman kusta. Karena hal itu, penyakit kusta ini dikenal juga dengan nama Hansen’s Disease. Perkembangan tentang informasi dan penanggulangan kusta juga terjadi di Indonesia. Ada seorang dokter asal Maluku yang mempelopori berobat jalan bagi pasien kusta. Ia adalah dr. Sitanala. Pasien tidak lagi diisolasi di suatu tempat, namun diberikan DDS (diaminophenylsulfone) dan Kombinasi Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan WHO (World Health Organization). Obat-obatan untuk penderita kusta diberikan secara gratis oleh pemerintah di bawah pengawasan WHO.


Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan:
Pasal 4
“Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam meperoleh derajat kesehatan yang optimal.”
Pasal 5
“Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, dan lingkungannya.”


            Selain diberikan pengobatan di rumah sakit, kini penderita kusta dapat menjangkau pelayanan yang sama di puskesmas. Sekarang, puskesmas-puskesmas wajib mengetahui cara penanggulangan penyakit kusta sehingga penderita mendapat pengobatan secepatnya.

Pasal 6
“Pemerintah bertugas mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraannya upaya kesehatan.”
Pasal 7
“Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.”

            Masyarakat dunia yang terkena penyakit akibat bakteri Mycobacterium leprae ini tercatat 640.000 kasus pada 1999. Lalu, 738.284 kasus pada 2000. Kebanyakan penderita berasal dari India, Myanmar, dan Nepal. Di Indonesia, pada 2000, terdapat 15.000 penderita yang sebagian besar berasal dari Jawa Timur. Kemudian pada 2005, ada sedikitnya 21.000 kasus, dan jumlah itu belum menunjukkan penurunan dari tahun-tahun sebelumnya.
            Pemerintah membangun rumah sakit kusta sejumlah dua puluh dua rumah sakit. Menurut data pada 2003, kapasitas tempat tidur rumah sakit kusta disediakan 2.274 unit. Salah satunya adalah Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala.

“Kalau pasien dulu, kalau satu bulan ya, dulu bisa seribuan. Lewat seribu. Sehari bisa ratusan,” kata ibu Elisabet seraya mengingat-ingat, “(pasien) biasanya dari daerah pesisir sama pegunungan. Dari Kuningan, dari Indramayu, dari Kerawang.”

Pesisir. Pegunungan. Sanitasi. Kebersihan. Gizi. Ekonomi rendah.

Cuman kita kalo kusta ini terkena biasanya daerah-daerah pegunungan dan pesisir kenapa? Karena kurang kebersihan, kurangnya sanitasi, dan kurang gizi. Hanya itu aja.”

Kusta bukan penyakit turunan.
Kusta bukan penyakit menular.
Kusta bukan kutukan!

            Dengan gaya bercandanya yang lembut, ibu Elisabet menambahkan suatu pernyataan yang membuka wawasan tentang penyakit kusta.

“Makanya orang sakit kusta jarang di orang menengah ke atas.”

“Oh iya… Bener… Bener…” pikir saya saat itu.

“Jadi 1001 (perbandingan) orang yang menengah ke atas (untuk terkena kusta).”


Sedikit pasien meninggal. Antara satu sampai sepuluh, hanya tiga yang meninggal, menurut Ibu Elisabet. Yang membuat ngeri hanyalah kecacatan yang ditimbulkan penyakit akibat bakteri Mycobacterium leprae ini. Kusta tidak menyerang lever. Tidak menyerang jantung. Dari seribu pasien, delapan ratus sembuh total, asal rajin menjalani pengobatan. Kusta menyerang saraf tepi. Pasien-pasien yang meninggal adalah mereka yang terkena penyakit komplikasi. Minuman keras. Rokok. Hidup tidak sehat. Tidak bersih. Itulah penyebab-penyebab kematian. Ulah mereka sendiri.
Kusta basah. Kusta kering. Dua jenis kusta. Luka-luka dan bernanah, itu adalah karakteristik kusta basah. Reaksi dan menimbulkan cacat permanen di anggota tubuh, itu adalah karakteristik kusta kering. Mengerikan, namun tidak mematikan.

“Pengemis jalanan sebenernya sudah sembuh, tapi mereka bikin (luka) lagi untuk cari nafkah. Karena mereka sudah ditolak masyarakat.”

            Jijik. Takut. Parno. Ingin menghindar. Leprophobia, ketakutan berlebihan terhadap penderita kusta. Potret masyarakat.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 42 Tentang Hak Asasi Manusia:
“Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Apa kabarnya bantuan-bantuan itu?
Bagaimana usaha untuk membina penderita kusta yang sudah keluar dari rumah sakit?
Di mana kah Hak Asasi Manusia?

****

Seperti apa RSK Dr. Sitanala itu?
“Sitanala dulu rumah sakit kumuh. Tapi baru-baru ini direnovasi.” (Servulus Armando Dje, Mahasiswa)

BANGUNAN zaman Belanda. Tua. Model kuno. Baru direnovasi. Secure parking. Cat berwarna hijau muda. Atap coklat tua. Tangerang, Banten.  Bangunannya berbentuk khas Belanda. Halaman luas membuat kami menelusur jalanan rumah sakit itu dengan mengendarai motor. Area lahan 54 hektar. RSK Dr. Sitanala. Dulu, rumah sakit ini adalah rumah sakit khusus kusta yang didirkan Departemen Kesehatan RI dan diberi nama ‘Rumah Sakit Sewan’ pada 28 Juli 1951.  Sebagai penghargaan kepada dr. J.B. Sitanala, dokter yang berasal dari Maluku dan pertama kalinya di Indonesia menangani penderita kusta, pada 1962 rumah sakit ini diganti namanya
dengan ‘Pusat Rehabilitasi Sitanala’. Ny. Rahmi Hatta, Ibu Wakil Presiden RI Pertama, meresmikan rumah sakit ini. ‘Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala’ menjadi nama rumah sakit ini hingga sekarang, dan melayani penyakit umum juga, di samping kusta.

Pasien kusta terlihat di koridor ruang perawatan. Di koridor Seruni dan Flamboyan. Ada yang menggunakan kursi roda, ada yang masih berjalan biasa, dan ada yang buta.
           
Kaos putih bertuliskan ‘Thailand’ dan rok selutut ber motif batik mewarnai penampilan wanita yang sudah 25 tahun menjalani kehidupannya melayani penderita kusta di RSK Dr. Sitanala.  Bertemu di kantin rumah sakit yang lumayan bersih dan rapih, perawat ini melantunkan kata-kata yang mungkin selama ini mengganjal hatinya.

“Mereka (orang lain di sekitar ibu Elisabet) menganggap enteng sekali kalo kerja di sini (RSK Dr. Sitanala). Ada kusta apa gitu.”

Mata sayunya kian menurun. Merenung.
Suaranya ringan. Mengalun dan santai. Logat Sumatera-nya nyaris tak terdengar.
Di sela-sela kisahnya dan RSK Dr. Sitanala, ia bercerita tentang keluarganya.
Dua orang putri, melaksanakan  studi psikologi di perguruan tinggi (UKRIDA) dan sekolah menegah pertama.
Seorang suami, TNI, yang kini almarhum.

“Saya gak malu kerja di sini. Dulu saya di RSU Tangerang,” lanjut ibu yang gemar bernyanyi dan bermain voli ini.

            Penerimaan. Penghargaan. Rasa peduli. Kasih sayang. Semangat. Buah-buah kehidupan yang didamba pasien-pasien kusta RSK Dr. Sitanala. Damba mereka ini menjadi kebahagiaan ketika mendapati pelayanan dan ‘hidup normal’ dari para perawat Rumah Sakit Kusta yang bertempat di Tangerang ini. Para perawat senantiasa membantu mereka dan mengobrol. Saling bertukar kisah  dan kasih.
            Ibu Elisabet bercerita tentang seorang pasien kusta yang masih remaja. Perempuan. Waktu itu tahun 1989 atau 1990-an. Saat diantar oleh keluarganya ke rumah sakit, ia dititipkan begitu saja. Setelah itu, keluarganya tidak pernah menjenguk lagi. Gadis ini menjadi sedih dan merasa telah dibuang dan tidak dianggap seseorang lagi di keluarganya.
            Ada pula cerita tentang seorang suami yang menderita kusta. Namun, ia menyembunyikan penyakit ini dari istrinya dan tidak mau berobat ke rumah sakit. Setelah kusta itu tidak bisa ditahan lagi, akhirnya ia mendatangi RSK Dr. Sitanala bersama istrinya, dan bertemu dengan ibu Elisabet, yang sedang berjaga saat itu. Mengetahui suaminya mengidap kusta, istri ingin meminta cerai. Sering mendapati keadaan seperti ini, ibu Elisabet gusar.

“‘Ibu ingat,” saya bilang, “sakit di suami Ibu kayak gitu, Ibu ga mau lagi merawat dia. Ga boleh begitu, Bu. Seandainya Ibu yang begitu.”,’ ujarnya menirukan adegan kejadian beberapa tahun lalu.

‘”Kalau ibu merawat suaminya dalam sakit-sakitnya begini, Ibu bahkan tidak bisa kena. Jadi ga boleh takut. Saya aja merawat setiap hari ga takut.”’

            Akhirnya istri itu tidak jadi bercerai dengan suaminya. Ia merawat dan memperhatikan suaminya senantiasa. Bahkan kini, hidup mereka lebih bahagia.

“Kita harus kasih pengertian kepada pasien dan keluarganya. Supaya pasien (kusta) tidak terbuang,” ia mengakhiri cerita suami istri itu sambil tersenyum.

Sudahkah Anda menerima mereka?
Sudahkah Anda menghargai mereka?
Sudahkah Anda menyemangati mereka?

***

Apa istimewanya?
“Rumah sakit itu dulu pernah didatangi Lady Diana.” (Deonisia Arlinta, Mahasiswa)
RS-nya...deket rumah di Tangerang...bersih dan rapi walau bangunan tua..sering buat lokasi shooting...beberapa film horor juga dibuat di situ....” (Mahendra, masyarakat)

RUMAH Sakit Kusta terbesar se-Asia Tenggara. Ya. Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala. Banyak penderita kusta yang di kirim ke sana.
Diana Frances Spencer, atau yang lebih akrab disebut Lady Diana mengunjungi rumah sakit ini pada 1989. Ia pun tidak ragu bersalaman dengan beberapa penderitanya. Karena kedatangan istri Pangeran Charles ini, RSK Dr. Sitanala sempat menjadi sorot perhatian masyarakat.
Selain dua hal di atas, ada beberapa hal lagi yang membuat rumah sakit kusta ini istimewa. Kerja bakti. Kegiatan-kegiatan pasien. Nikah massal.

Kalo sekarang ga ada kegiatan. Kalo dulu rumah sakit khusus Sitanala itu banyak (pasien) main bola, tenis-tenis meja,” kata ibu Elisabet, “Dulu sebulan sekali kerja bakti.”

Ada motivasi-motivasi yang mendorong pasien kusta untuk sembuh dan melanjutkan hidup di luar sana. Apakah itu? Ya. Ingin membesarkan anak-anak mereka. Bagaimana bisa? Inilah ceritanya…..

            Pasien kusta juga manusia. Mereka memiliki ketertarikan kepada lawan jenis. Di rumah sakit ini, mereka terkena ‘cinta lokasi’. Ya. Pasien kusta ada yang masih muda-muda. Ibu Elisabet bercerita tentang mereka yang saling jatuh cinta. Pasien-pasien kusta berkenalan satu sama lain. Saling mengobrol. Saling suka.

“Di sini pasiennya kalo muda, kalo anak-anak muda, mereka suka pacaran gitu. Nanti kawin massal,” cerita ibu Elisabet, “Dulu suka sama suka terus dikawinkan massal. Nanti mereka punya anak, tidak mau mati lagi. Sebelum itu pada mati-mati terus.”

Pada dasarnya sikap ini manusiawi. Rasa saling menyayangi. Keinginan tetap hidup untuk anak-anak mereka.

Ibu Elisabet juga bercerita tentang alasan diadakannya nikah massal, “Dari pada terjadi hal-hal gak diinginkan (kumpul kebo, berzinah, dll) maka pihak rumah sakit menikahkan mereka secara massal.”

             Apabila pasien yang mengikuti nikah massal masih berada pada tahap perawatan, suami istri itu harus tinggal terpisah, sesuai dengan ruangan perawatannya. Setelah sembuh, barulah mereka keluar dari rumah sakit dan hidup bersama. Di belakang rumah sakit, ada sebuah pemukiman yang berisi penderita-penderita kusta yang sudah sembuh. Lahan itu milik rumah sakit, namun dipakai oleh mereka karena rumah sakit belum membutuhkannya. Kegiatan nikah massal ini terakhir dilakukan pada tahun 2000. Hal ini dikarenakan penurunan jumlah pasien yang ada di RSK Dr. Sitanala.

Cerita penderita kusta. Cerita perawat. Cerita rumah sakit. Motivasi. Semangat. Harapan. Cinta. Manusia.

“Prinsip saya pas pertama masuk itu (adalah) kerja, saya gak memikirkan (kusta) menular,” kenang ibu Elisabet, “Kalau saya merawat mereka, Tuhan pasti gak kasih menular. Itu prinsip saya.”

            Kusta, kematian, dan nikah massal. Tidak lupa, sosok perawat yang senantiasa melayani para penderitanya. Jatuh bangun, suka dan duka. Che Guevara juga pernah berkata pada salah satu penderita kusta, “You gotta fight for every breath, and tell death to go to hell. (Ya, [hidup] memang sangat mengecewakan, tapi kita harus berjuang untuk setiap napas kita dan bilang pada kematian untuk enyah).”

***

Ga takut, Neng?” sapa seorang pasien kusta lanjut usia. Saat itu saya dan Intan, seorang teman kuliah, melewati koridor ruang perawatan Seruni, ruang rawat pasien kusta wanita di RSK Dr. Sitanala.

Jika ditanya seperti itu, apa jawab yang akan Anda berikan kepadanya?








UAS PENULISAN FEATURE
DOSEN : SAMIAJI BINTANG
KELAS : B1
NAMA : MARIA MEIDIATAMI KIRA
NIM : 11140110018
UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
JURNALISTIK 2011


8 komentar:

  1. a very nice writing tam. pengen ngeliput ke sana juga deh :D

    BalasHapus
  2. Thank you so much, Kak Jeffry! :'] Ini semua juga berkat informasi yang kakak berikan buat Tami :'] Kapan-kapan aku juga pingin ke sana lagi. Nanti barengan yuk.... ehehehehe :D

    BalasHapus
  3. Well,, it's very interesting :D
    Gak nyangka ada kisah yg kayak gitu..
    Yang paling mengena itu paragraf akhirnya..
    :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. terkadang masyarakat kurang melihat lebih dekat, Lyv. ehehehe. iya.... bahkan aku juga terenyuh gimana gitu waktu ibu-ibunya nanya kayak gitu :'] and thank you for the feedbacknya ya, Lyv! it means so much for me :'D

      Hapus
  4. Great story, Tam! :)
    Yang harus diberantas penyakitnya, tapi penderitanya harus dirawat dan dimanusiakan juga..
    Keep writing ya Tam, looking forward for your next story :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. thank you, Chunkey! iyaaaa :'] kebanyakan orang-orang kurang notice dengan hal itu....

      siiippp! I'll keep writing! :'] thank you for the feedback! :']

      Hapus
  5. thanks atas infonya, ditunggu artikel yang lainnya

    http://obatnyapenyakit.com/obat-alami-penyakit-kusta/

    BalasHapus
  6. https://jualpartisir8indonesia01.blogspot.com/
    https://id.pinterest.com/partisir8indonesia01/_saved/
    https://www.kaskus.co.id/@partisipamer619/viewallposts/?ref=header&med=profile_menu
    https://wordpress.com/posts/partisir8indonesia01.wordpress.com
    https://www.instagram.com/partisir8indonesia/
    https://twitter.com/r8indonesia01
    https://www.jualo.com/profile/iklan
    https://www.tokopedia.com/salsabilahnur
    https://www.youtube.com/channel/UCGxKdi6BLuY9wbCAmXn5-xQ
    https://medium.com/me/stories/drafts
    https://www.linkedin.com/in/partisi-r8-indonesia-b1b599214/detail/recent-activity/
    https://sites.google.com/u/1/new?authuser=1


    BalasHapus