Kamis, 20 Juni 2013

CERITA BALI

Cerita Bali
oleh Gavrilla Gertruida/11140110298

Penumpang, koper, kabin, dan antrian menuju nomor kursi adalah gambaran suasana dalam pesawat terbang tujuan Bali. Saya bersama teman – teman larut dalam suasana riuh. Menjaga satu dengan yang lain tetap aman. Menanti detik –detik penerbangan.

Pesawat mulai diisi bahan bakar. Siap melakukan penerbangannya. Semua petugas pun memastikan kesiapan pesawat dan keselamatan penumpang. Memperingatkan hal yang tidak boleh dilakukan selama penerbangan.

Pilot dan co-pilot mengambil posisi. Pramugari mengarahkan para penumpang. Degup jantung semakin memacu seiring dengan cepatnya gerakan (instruksi keamanan) pramugari. Senang, khawatir, cemas, tidak sabar. Berlomba – lomba mengisi suasana hati.

“cabin crew, take off position” kata terakhir yang disampaikan oleh pilot dalam penerbangan. Pesawat menembus 34.000 kaki atau sekitar 11.000 meter. Berada diantara sekumpulan awan membentuk gerakan perjalanan tersendat sendat. Bak menaiki wahana roller coaster.

Tekanan udara semakin meningkat. Membuka mulut, membuat gerakan- -gerakan seolah menguap, menutup hidung dengan menjepitkan tangan dan menghembuskan nafas sekuat tenaga, adalah cara – cara untuk mengusir pengang yang datang menyerang.

Langit menggoreskan keindahan dengan warna seindah violet. Mataku berpaling. Menarik perhatianku untuk menikmati suguhan warna yang ada diluar. Sentuhan lembut warna di langit dipadukan dengan bentuk awan yang menawan, seolah menguji kemampuan berimajinasiku dan membuatku terbuai selama penerbangan.

 “Terima kasih telah terbang bersama Air Asia. Sampai jumpa pada penerbangan Air Asia selanjutnya.” Kalimat penutup dalam kebersamaan kami selama penerbangan 2 jam. Saya pun melakukan doa penutup setelah perjalanan.

Terik matahari dan hamparan orang asing (bule) menyambut kedatangan saya bersama teman – teman diiringi dengan taxi driver yang mengikuti dan menanti tumpangan dari kami. Hanya tatapan lelah yang kami balas. Dengan sisa tenaga yang kami miliki, salah satu langkah taxi driver menuntun kami dalam perjalanan menuju hotel.

“yuk masuk sini, tahun lalu gue pernah nginep di sini.” Ujar temanku memastikan. Sebagian dari kami menatap khawatir. Tempat penginapan tua, tidak terawat. Sudah menampakkan kerapuhan. Murah, biaya semalam hanya Rp 50.000,00 saja. Namun, harus punya nyali besar untuk menghabisi tiap malam di tempat tersebut.

Saya takut. Tidak suka tempat itu. Sungguh! Untuk mengakalinya, saya pun membuat segala aktivitas di siang hari. Dengan harapan, saya lelah di malam hari, dan tidak menghiraukan suasana mencekam di malam tersebut.

Pantai Sanur, Uluwatu, Ubud, dan beberapa tempat kami telusuri satu per satu. Terik tidak menurunkan semangat kami dalam indahnya tempat – tempat di Bali. Baju pantai dengan corak bunga, menggambarkan keindahaan jika di padu padan kan dengan suasana pantai.

Tatto, kepang rambut, surfing, paraseling adalah segalintir pemandangan yang dapat kami lihat di setiap pantai di Pulau Dewata. Hal yang paling asik untuk dilakukan pasti nya bermain dengan air. Paraseling, banana boot.

Aktivitas hari pertama, pergi mengunjungi Uluwatu. Ungu dan kuning menjadi pilihan yang baik. Warna yang kain yang digunakan. Upaya melindungi diri dari serangan monyet – monyet di tempat tersebut.
“Hati – hati, kacamata saya habis dicuri dan dipatahkan oleh monyet – monyet jahil itu.” Bisik turis kepada kami sambil menunjuk - nunjuk ke gerombolan monyet.

Gentar. Sontak kami merapatkan barisan. Memaksakan mendapat foto di dekat para monyet, diiringi dengan rasa gemetar. Dapat beberapa foto. Walau tidak sebagus yang kami harapkan, namun rasa takut kami terhadap mamalia berbulu abu –abu tersebut lebih besar.

Senja tidak lagi merah. Kini sudah berganti dengan gulita dengan kerlip bintang. Semangat kami belum hilang. Langkah kaki kami membawa kami menuju tugu bom Bali. Mataku tidak lepas memandang deretan tulisan di tugu tersebut. Besar, meninggalkan goresan nama yang menyisakan kepedihan yang mendalam. Takjub dan prihatin.

“cakk… cakkk… cakk… caakkk…” ucapan saat upacara tarian kecak di mulai. Panasnya api yang ada, menyalur dan membakar semangat kami untuk menikmati tarian tersebut. Kami hanya perlu mengganti uang untuk menyaksikan tarian tersebut. Hanya Rp 60.000,00 per orang. Rasanya setimpal dengan yang kami saksikan.

Tari kecak yang terdiri dari 20 – 50 orang menari secara seirama. Menghangatkan suasana malam. Ciri khas yang dimiliki oleh Bali. Tari kecak, upacara,

Namun, satu yang perlu kalian ingat, jangan pernah menginjak/menendang sesajen dengan sengaja. Dapat di temukan di tiap – tiap depan rumah, toko, dll. Menurut kepercayaan mereka, itu merupakan suatu keberuntungan yang akan mereka dapatkan di hari tersebut.

Kepercayaan di Bali, dengan meletakkan canang di depan toko maupun rumah mereka dianggap sebagai pembawa keberuntungan (hoki) dalam usaha maupun kesejahteraan hidupnya. Canang sendiri yang berarti bunga, dapat juga berisi permen (rarapan) dan nasi (segehan). Untuk mengusir bala, kerugian, dan semua hal – hal buruk.

Peletakkan canang ini di taruh di pagi hari. Kegiatan di pagi hari, yang tidak pernah di lupakan oleh orang Bali. Meski tidak semua penduduk Bali melakukan kegiatan tersebut. Canang ini hanyalah sebuah kepercayaan sebagian orang Bali.

Canang ini tidak boleh dengan sengaja kita injak, tendang, ataupun hal yang dilakukan  dengan sengaja. Karena dihormati adannya canang ini. canang ini dapat diganti saat sore hari atau tidak sama sekali.
Kain persegi panjang. Bermotif kotak – kotak dan berwarna hitam dan putih. Hampir di setiap per-empatan kami temukan. di pohon besar, gerbang pura, bahkan kain ini juga digunakan sebagai kain (jarig) penari kecak dan para pengawal/petugas keamanan tradisional (pelacang).

Selain digunakan untuk dililit di pohon-pohon maupun di gerbang pura, kain poleng ini dililitkan ke benda sakral dan profan. Di pura, kain poleng juga digunakan untuk tedung (payung), umbul-umbul, untuk menghias palinggih, patung, dan kul-kul.

Demikian pula dalam kesenian Bali, baik itu seni drama, dramatari, maupun pedalangan. Dalam drama gong, yang sering memakai kain pleng adalah penakawannya. Sedangkan dalam wayang kulit, tokoh yang memakai hiasan poleng, selain penakawan Tualen dan Merdah, juga tokoh penting seperti Hanoman, Bima. 

Kain poleng juga banyak digunakan untuk menghias benda-benda profan baik di perkantoran maupun di hotel. Misalnya untuk meja makan dan benda-benda lain yang ada di sana. Namun, kain poleng untuk benda profan ini sering dicampuri dengan corak atau motif baru sehingga disebut kain poleng anyar.

Kain Poleng Sudhamala dan Tridatu Saput poleng sudhamala merupakan cerminan rwabhineda yang diketengahi oleh perantara sebagai penyelaras perbedaan dalam rwabhineda. Sedangkan,  saput poleng sudhamala merupakan cerminan rwabhineda yang diketengahi oleh perantara sebagai penyelaras perbedaan dalam rwabhineda.

Kain Poleng Tridatu melambangkan ajaran Triguna yakni satwam, rajah, tamah. Warna putih identik dengan kesadaran atau kebijaksanaan (satwam), warna merah adalah energi atau gerak (rajah) dan warna hitam melambangkan penghambat (tamah).

Kain Poleng yang seakan-akan sudah menjadi busana seragam bagi pecalang (petugas keamanan desa adat) juga terilhami oleh konsep ini, dimana seorang yang dipercayai oleh warga untuk menjadi “pengaman” hendaknya mampu dengan tegas memilah yang benar dan buruk.


Diharapkan pecalang bercermin pada saput poleng yang dikenakan, yakni mengetahui adanya rwabhineda, keadaan aman dan kacau, baik maupun buruk, yang selanjutkan melalui kedewasaan intelektual dan kesigapannya (celang), dapat mengendalikan situasi sehingga ketertitaban Desa Pekraman dapat diwujudkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar