Oleh Jeannyffer
Willyam
Percayakah Anda
jika ada seseorang yang bukan ahli medis dan tidak pernah menempuh pendidikan
yang berhubungan dengan dunia kesehatan ataupun pengobatan alternatif, tetapi
bisa menyembuhkan penderita kanker? Mungkin yang terlintas dalam benak Anda
adalah orang-orang dengan kemampuan spiritual khusus, dukun misalnya. Namun,
yang satu ini berbeda. Ia tidak menggunakan alat-alat kedokteran, obat-obatan,
mantra, ataupun benda-benda canggih lainnya. Ia hanya menggunakan makanan.
***
Waktu menunjukkan hampir
pukul delapan malam. Kurang lebih tiga jam sudah saya menunggu. Bosan.. Capek..
Ya, memang benar istilah yang mengatakan kalau menunggu adalah pekerjaan yang
paling tidak menyenangkan. “Ini mau nunggu sampai kapan?” tanya salah seorang
teman. “Sabar.. Bentar lagi datang..” jawab saya.
Dari tampangnya,
memang teman-teman saya ini terlihat sudah lelah menunggu. Saya pun sebenarnya hampir
menyerah dan ingin memutuskan untuk pulang saja, tetapi saya urungkan niat itu,
mengingat kami sudah ada di sini dan akan susah untuk mengatur janji bertemu lagi
di lain waktu.
Untuk mengusir
kebosanan, saya mengambil sebuah air mineral kemasan gelas dan sebuah kerupuk
putih. Belum habis saya memakan kerupuk itu, akhirnya yang ditunggu-tunggu
datang juga.
“Maaf terlambat, tadi habis dari rumah sakit.
Saya dipanggil buat bantuin, ada yang kena kanker, dokter sudah angkat tangan,”
ujar lelaki itu ramah, sambil buru-buru mengambil kursi dan duduk bergabung
bersama kami. Ia mengenakan topi dan kemeja berwarna ungu.
Ya, dialah Adi Kharisma,
orang yang kami tunggu sejak pukul lima sore tadi. Sebelumnya, kami memang
berjanji untuk bertemu dengan Pak Adi di Sweet
Purple, jalan Kelapa Puan Raya AG 1 no.18 Sektor 1A, Ruko Gading Serpong
Summarecon. Namun, Pak Adi mengabarkan kalau ia akan datang terlambat karena
mendadak harus ke rumah sakit.
Raut wajah kami
yang semula kelelahan mendadak berubah menjadi bersemangat ketika Pak Adi
datang. Setelah berbasa-basi sejenak, Pak Adi pun memulai kisahnya.
***
Bermula dari rasa
traumanya akibat kejadian miris yang ia hadapi, yaitu satu per satu orang-orang
yang ia sayangi harus pergi meninggalkannya akibat penyakit kanker. “Tahun
1995, cici saya, guru fitness, meninggal gara-gara kanker.
Waktu saya SMP, orang yang saya taksir juga pergi karena kanker payudara. SMA
pun begitu. Sampai akhirnya mama saya meninggal juga karena kanker,” kisah Adi.
Diperhadapkan
pada kenyataan tersebut, Adi tak mau tinggal diam. Seperti ada gejolak dalam
dirinya untuk berperang melawan penyakit yang seolah-olah menghantui hidupnya
itu. “Setelah saya cari-cari di internet, saya baca buku, ternyata kesalahannya
itu di pola makan. Akhirnya saya bertekad, saya harus berubah. Saya harus
hentikan kanker ini,” ujar pria asal Bali itu semangat.
Berdasarkan
hasil pencariannya, Adi menemukan ada satu jenis bahan pangan yang dinilai
memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi, yaitu ubi ungu. Menurut riset dari
Amerika, ternyata ubi jalar yang berwarna ungu ini mengandung zat antioksidan
dan antosianin yang dipercaya dapat melawan racun dalam tubuh dan mencegah,
bahkan menghentikan kinerja sel kanker agar tidak bertambah parah.
Seperti yang
dikutip dari inovasikesehatan.blogspot.com,
kandungan pada ubi jalar yang memiliki nama latin Ipomea batatas poiret ini memang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan jenis ubi yang lain, yakni dari 100 gr ubi ungu mengandung vitamin A
kurang lebih 7.700 mg, mengalahkan kandungan vitamin A pada buah tomat dan bit.
Kandungan ubi
jalar ungu yang lain di antaranya Zn, K, Mg, Cu, lisin, vitamin C, B1, mineral,
lemak, protein, dan serat kasar. Bak mendapatkan harta karun, Adi pun mulai
berkonsentrasi pada ubi ungu ini.
***
ADI KHARISMA dilahirkan di Bali, 26 Desember. Saat
ditanya berapa usianya, Adi tertawa. Ia malah balik menanyai berapa usia ayah
kami satu per satu. Setelah kami semua menjawab, barulah ia mengatakan berapa
usianya. “Saya 53 tahun,” ujarnya sambil tersenyum. Jika dilihat dari fisiknya,
memang sulit dipercaya kalau lelaki kelahiran 1959 ini sudah berkepala lima. Ia
masih terlihat bugar. Tubuhnya berisi, tidak terlalu tinggi, dan berkulit
coklat. “Awet muda ya Pak..” komentar saya. Ia tertawa.
“Asal kalian
tau, saya tadi ke sini kayak terbang rasanya,” kata Adi disertai tawa. Memang
saya melihatnya menggunakan sepeda motor. Adi bukannya tidak mampu membeli
mobil. Ia hanya tidak ingin memanjakan tubuhnya. Ketika sedang menceritakan
kisahnya, ia pun tampak bersemangat. Namun Adi menolak dikatakan sehat. “Bukan
sehat, optima. Jadi lebih berstamina lagi dari pada yang sebelumnnya,” terang
Adi.
Adi memang
memulai dari dirinya sendiri. Ia mengubah pola hidupnya, dari yang tidak
terlalu ambil pusing soal makanan dan minuman apa yang masuk ke dalam tubuhnya,
beralih mengonsumsi olahan dari ubi ungu dan menghindari makanan serta minuman
yang tidak menyehatkan, seperti yang tinggi kandungan lemaknya, terigu, dan
kolesterol.
Adi menghindari seafood, junk food, soft drink,
roti, dan mie. “Saya gak makan lagi itu cumi-cumi, udang, kepiting. Kalau
daging, saya hanya makan daging ayam dan daging ikan,” terangnya.
Adi mengisahkan,
saat sedang liburan di Bali, ia dan beberapa orang rekannya sempat makan
bersama di salah satu restaurant seafood yang
ada di sana. “Lobster, cumi, itu habis semua. Giliran ikan, masih sisa. Gak ada
yang makan. Ya udah, saya aja yang makan. Ditawari udang, saya gak mau,” cerita
Adi.
Akibat pola
makannya yang sehat itulah, Adi mengaku daya tahan tubuhnya jadi lebih kuat.
“Sudah tiga belas tahun ini saya gak kenal lagi itu yang namanya flu,” aku Adi.
Sepertinya, ia memang menjaga sekali kesehatannya dan tidak ingin kalau sampai
akhirnya ia juga harus merasakan penderitaan yang dialami oleh orang-orang
terdekatnya itu.
***
SETELAH pertemuan kami dengan bapak Adi hari
itu, saya kembali mengatur janji untuk bertemu dengannya. Saya perlu menggali
informasi lebih lagi tentang pribadi lelaki itu. Beruntung, Pak Adi yang memang
sibuk, kebetulan sedang ada di Tangerang. Kami pun bertemu, kali ini di rumah
Pak Adi, di kawasan Alam Sutera Delima.
Saat saya dan
seorang teman saya tiba di rumahnya, Pak Adi tengah sibuk dengan laptopnya.
Begitu ia melihat kami, ia pun bangkit berdiri dan mempersilahkan kami masuk. Tidak
ada yang berubah dari Pak Adi. Ia masih ramah seperti saat pertama kami bertemu
dan masih ingat siapa nama saya. Masih juga mengenakan kemeja dan topi berwarna
ungu, tapi kali ini ada semacam tambalan di topinya yang senada dengan yang ada
di celana jeans yang ia kenakan.
Rumah Pak Adi
tidak terlalu besar, tetapi bertingkat dua. Kondisinya bisa dikatakan cukup
berantakan. Ada tumpukkan barang di atas meja dan di dekat tangga. “Maklum,
jarang ditempati,” kata Pak Adi. Ia tinggal sendiri di rumah ini. Di depan
rumahnya, saya sempat melihat ada tanaman ubi dan beberapa tanaman lain.
Saya cukup
kesulitan menggali kehidupan pribadi Pak Adi. Pada dasarnya, ia tidak terlalu
suka menceritakan hal-hal pribadinya. “Saya pengennya yang lebih bisa
menginspirasi buat orang lain,” ujarnya. Ia lebih antusias menceritakan tentang
rencana bisnisnya.
***
Tamat dari SMA, Adi
Kharisma melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, yaitu Amerika. Ia memilih
peminatan International Business. “Dulu
sempat ada konflik sama papa. Papa gak setuju saya ke Amerika,” kenang Adi.
Namun, ia tetap bersikeras pergi.
Kini, Adi telah
berkeluarga. Ia memiliki seorang isteri dan dikaruniai dua orang anak. Anak
pertamanya perempuan, dan saat ini tengah berkuliah di Universitas Indonesia, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, semester empat. Anak keduanya laki-laki, berusia
14 tahun, duduk di bangku SMP kelas dua. Isteri dan anak kedua Adi tinggal di
Bali, sedangkan anak pertamanya di Jakarta.
Anak pertama Adi
ingin menjadi Diplomat, tetapi Adi kurang setuju. “Kita ini orang Chinese, gak bisa jadi Diplomat. Gak ada
koneksi,” ujar Adi. Namun, puterinya itu tetap ingin mengejar cita-citanya. Adi
tidak bisa melarang. Ia hanya mempersiapkan kalau-kalau rencana anaknya itu
gagal. “Sudah saya siapin bisnis apartement.
Dari sekarang saya ajarin jual rumah,” jelas Adi.
Untuk anak kedua,
sejak dini Adi sudah mengarahkannya. “Sudah tak
pasangi ‘kacamata kuda’. Saya bilang kalau kamu gak sekolah arsitek, insinyur,
atau desain, papa gak mau biayain,” ujar Adi seraya tertawa. Adi juga
mengangkat seorang anak yang ia biayai pendidikannya dan ia persiapkan untuk
menjadi arsitek. Saat ini, anak tersebut duduk di bangku kelas enam Sekolah
Dasar.
Adi mendoktrin
anak-anaknya agar kelak bisa sukses. “Kalau mau dapat uang banyak itu bisnis
properti,” ujar Adi.
***
DI TEMPAT usahanya, Sweet Purple, di mana kami pertama bertemu, Adi memiliki dua orang
karyawan. Satu orang wanita bernama Renita dan satu orang pria bernama Arya. Di mata karyawannya, Adi adalah sosok pemimpin yang baik.
“Pak Adi
orangnya baik. Bijaksana sama karyawan,” ujar Renita. Wanita asal Cilacap ini
baru empat bulan bekerja untuk Adi. Ia mengatakan, bekerja di Sweet Purple itu menyenangkan, bisa
menambah pengalaman dan pengetahuan mengenai manfaat ubi. Namun, yang disayangkan
adalah tempatnya yang kurang strategis sehingga sepi pengunjung. Selama bekerja
dengan Adi, Renita mengaku belum pernah bermasalah. “Mungkin karena belum
terlalu dekat,” ujar wanita berusia 20 tahun ini.
Arya yang sudah
bekerja hampir dua tahun dengan Adi pun mengaku belum pernah mengalami masalah.
Pria yang juga berasal dari Cilacap ini mengatakan kalau terkadang Adi
memberinya masukan mengenai kekurangan di Sweet
Purple dan mengajarinya menu baru. Menurut pria kelahiran 1991 ini, Adi
kurang dekat dengan karyawannya. “Kalau datang paling kasih stock barang, tanya-tanya bentar terus
pulang,” ujar Arya.
***
Banyak varian dari
olahan ubi ungu yang Adi ciptakan, seperti nasi ungu, ice burger, jus, ice cream,
dan lain-lain. Tidak hanya ubi ungu, ia juga menggunakan ubi lain untuk membuat
sate lilit dan roti. Setiap pagi, Adi meminum jus ubi ungu, siangnya ia makan
nasi ungu, dan malamnya ice burger.
Dalam
mengembangkan kuliner ubi ungu ini, kegagalan juga pernah Adi alami.
Sebelumnya, ia pernah mencoba peruntungan dengan berbisnis minyak kelapa dan virgin oil, tetapi usahanya itu gagal.
Hingga akhirnya, tahun 2006 Adi memilih usaha ubi ungu ini. Berkat
kekreatifitasannya dalam memadukan ubi ungu menjadi berbagai macam olahan
makanan, ia diundang untuk mengikuti acara Slow
Food di Italia, yang rutin diadakan dua tahun sekali. Menurutnya, kreasi
ubi ungu seperti yang ia buat ini belum ada di belahan dunia mana pun selain
Indonesia.
“William Wongso
bilang saya ini pengganda kuliner di Indonesia. Kalau kuliner Indonesia itu ada
2000, ditambah ubi sama saya jadi 4000,” ujar Adi seraya tertawa. Ia memulai
bisnisnya ini dari daerah asalnya, Bali. Kemudian ia memperkenalkan kuliner ubi
ungu ini ke Jakarta, dan beralih ke Gading Serpong. Ia menamai tempat usahanya Sweet Purple, di mana tidak hanya
menunya saja yang berwarna ungu, tetapi juga perabotan, bahkan sampai seragam
karyawannya pun ungu. Sebenarnya, Sweet
Purple di Gading Serpong adalah milik tante Adi. Ia hanya mengelolanya
saja.
Pengolahan ubi
ungu yang dilakukan Adi tidak sembarangan. Ia sangat memerhatikan prosesnya.
Cara dan alat yang digunakan masih alami, termasuk saat membuat ice cream. Adi juga tidak mau
menambahkan bahan-bahan kimia pada makanan maupun minuman olahannya. “Ia karena
saya juga ikut menikmati, makanya gak boleh sembarangan,” ujar Adi.
***
Di balik usahanya ini,
Adi menyimpan niat yang mulia. “Kalau ada orang yang sakit kanker, stadium
akhir, dokter sudah angkat tangan, kasih sama saya,” ujarnya. Adi tidak melakukan
pengobatan atau terapi khusus. Ia hanya mengajak penderita kanker untuk
mengubah kebiasaan makannya, dari makanan yang tidak sehat menjadi
makanan-makanan yang dapat melawan penyakit tersebut.
“Saya suruh
makan olahan ubi ungu, rumput laut, jamur kuping. Pokoknya yang warnanya ungu,
hitam, atau merah tua,” ujar Adi. Dengan pola makan seperti itu, Adi mengatakan
sel kanker dalam tubuh orang tersebut diistirahatkan, artinya tidak diberi
‘makan’. Dan untuk usaha mulianya ini, Adi tidak memungut bayaran. Ia
melakukannya secara cuma-cuma, sebagai bentuk kepeduliannya untuk melawan
kanker yang telah merenggut nyawa orang-orang yang ia kasihi.
Adi sadar, tidak
semua orang mau mengonsumsi olahan dari ubi ungu ini. “Karena belum terbiasa.
Zaman dulu kan belum ada. Mungkin mereka pikir, emak gak ngajarin,” ujar Adi sambil tertawa. Ia memperkirakan,
sekitar 50 tahun lagi barulah ubi ungu ini akan lebih bisa diterima di
masyarakat.
Bahkan, keluarga
Adi sendiri tidak mau mengonsumsi olahan ubi ungu ini. “Anak-anak saya itu
disuruh makan gak mau. Kenapa? Karena maminya gak makan. Saya memang kurang
dapat dukungan,” ujar Adi.
***
Kedepannya, Adi berharap
agar masyarakat sadar akan manfaat dari ubi ungu ini dan mau untuk mulai
mengubah pola makannya menjadi pola makan yang sehat. “Kalau kita sudah tau
manfaatnya sedemikian banyak, kenapa kita gak tinggal memakannya saja?” ujar
Adi.
Selain bisnis
ubi ungu, Adi memiliki impian untuk berbisnis properti. Ia sadar, jika hanya
mengandalkan ubi ungu, ia tidak bisa bertahan. Adi ingin membangun sebuah
perumahan dengan konsep Taman Firdaus. “Nanti rumahnya gak usah dibangun
berjejer gitu. Di sekitar perumahan kita tanamin pohon, tumbuhan, kayak cabe,
sayur. Jadi penghuni bisa ambil gratis. Seminggu sekali kita kasih makan karedok
atau gado-gado free,” ujar Adi
antusias.
Ia memang sangat
bersemangat menceritakan ide bisnisnya ini. Berulang-ulang kali ia menunjukkan
denah lokasi tanah di mana rencananya perumahan itu akan di bangun. Adi memang
sedang mendoakan impiannya ini. “Kalau saya yang bekerja, pasti gak mampu. Tapi
kalau sudah Tuhan yang bekerja, pasti jadi,” ujar Adi yakin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar