Rabu, 19 Juni 2013

Perjalanan (Koma) Hidup Agustinus Wibowo


Oleh Kevin Ivander -11140110066
________________________________


Hari itu ada yang berbeda.

Tidak biasanya saya menyempatkan diri untuk pergi ke kawasan Tangerang. Tepatnya di sekitar Tangerang City. Di sebuah restoran yang cukup besar, tampak sudah dimulai sebuah acara.

Terlihat di nametag para hadirin tertulis, “Travel Photography by Agustinus Wibowo”. Berarti benar. Saya tidak mau salah masuk acara. Memang sejak awal niat saya untuk bertemu Agustinus Wibowo adalah untuk belajar teknik fotografi perjalanan.

Tidak mau ketinggalan tempat terbaik, saya duduk di kursi depan. Ya, paling depan dan membelakangi 39 peserta lainnya termasuk seorang Andy F. Noya, host acara Kick Andy Metro TV yang ikut hadir sebagai peserta.

Sekitar 10-15 menit setelah saya duduk, masuklah seorang pria ke lantai 2 restoran Kopie Oey tersebut. Wajahnya seperti keturunan Cina, tingginya sekitar 165 cm dan terlihat sekitar umur 30 tahun.

“Terima kasih atas kedatangan teman-teman, saya Agustinus Wibowo,” ujarnya yang hari itu memakai kaos raglan abu-abu dengan celana panjang. Berkacamata, Agustinus terlihat seperti orang yang jenius pikir saya. Bahkan, bagi saya, dirinya tidak seperti orang yang suka travelling, tampilannya cocok sebagai si jenius yang mahir mereparasi komputer atau bahkan memainkan game online.

Ada sebuah lelucon yang ia sampaikan pada akhir ia berbicara mengenai teknik fotografi dalam sebuah perjalanan. Untuk saya, lelucon itu menggelitik.

Seorang pembeli datang ke pasar dan menawar harga kepala kambing.

“Ini berapa?”

“50 Afghani.”

“Ah, kemahalan! Harusnya 20 Afghani saja.”

“Ini kepala kambing tahu, bukan kepala manusia!”


Mungkin terdengar aneh, tapi itulah lelucon yang menggambarkan kehidupan Agustinus Wibowo di Afghanistan. Nyawa manusia sudah tidak berharga. Kondisi negara yang dilanda konflik, perang, dan gejolak memang telah menjadi rutinitas hidup normal. Namun, bagi Agus justru kondisi memilukan seperti itu memiliki manfaat tersendiri. “Di sisi lain, di tempat nyawa itu murah, kita akan merasakan nyawa kita begitu berharga,” ujar Agus yang mengaku fasih berbahasa mandarin, urdu, farsi, Nepal, turki, dan bahasa lainnya.

Tidak terasa sekitar hampir satu setengah jam Agus bercerita banyak tentang dunia fotografi dan perjalanannya di Afghanistan. Begitu hadirin sudah diperbolehkan pulang, saya tidak puas. Rasanya ingin sekali ‘mengulik’ lebih dalam sosok Agustinus Wibowo. Terima kasih. Agus menerima saya untuk menyita waktunya cukup lama. Pembicaraan empat mata pun dimulai.

*

Agustinus Wibowo
Awal perjalanan Agus di mulai sejak di bangku kuliah. Dirinya terobsesi dari beberapa teman kuliahnya yang sudah lebih dulu melakukan perjalanan. Pada liburan musim panas 2002, dirinya mengaku melakukan perjalanan yang pertama kali ke Mongolia. Walau hanya bermodalkan dana yang terbatas dan sebagai backpacker, perjalanan pertama itu pun tidak direstui keluarga. Oleh karena itu, dirinya selalu menyisihkan uang kiriman orang tua sebagai modal perjalanan.

Selain itu, perjalanan tersebut tidak langsung berbuah manis. Bagaimana tidak? Dirinya dirampok ketika baru hari pertama menginjakkan kaki di Mongolia. Tetapi, hal itu justru yang membakar semangat berpetualangnya untuk pergi ke Afrika Selatan. Alasannya terbilang memang sangat ‘petualang’. Jauh. Ya! Afrika Selatan merupakan titik terjauh yang bisa ditempuh Agus lewat jalur darat. Ia mengaku, dirinya tidak mau menggunakan pesawat untuk perjalanannya. Baginya, perjalanan adalah sebuah petualangan, dan pergi ke destinasi menggunakan pesawat bukanlah sebuah petualangan.

Tidak sampai ke Afrika Selatan, hati Agus tertambat lama di dua negara Asia Tengah, Pakistan selama 6 bulan dan Afghanistan selama 3 tahun. Bagi sebagian orang, negara tersebut terkesan menyeramkan karena dilanda konflik dan perang, tapi tidak bagi Agus. “Setiap hari (Afghanisthan) muncul di berita, tapi sebenarnya kita tidak mengenal negara itu, kita hanya liat satu sisinya saja, nah justru itu kita harus mengenal sisi lainnya yang lebih banyak. Dan itu adalah wajah dia yang sesungguhnya,” terangnya.

Selain itu dirinya mengaku memiliki pengalaman berharga yang tidak terlupakan ketika di Pakistan. “Saya pernah sakit hepatitis dan jatuh di tengah gurun di Pakistan, di gurun sahara. Nah tuan rumahnya juga bukan orang berada (Agus ditolong) dan mereka malah menyiapkan ranjang terbaik, dan kamarnya untuk saya istirahat disitu. Saya sempet malu karena tidak bisa membalas kebaikan mereka,” ucap Agus yang mengaku selama tiga minggu menetap di rumah tuan tanah tersebut. 

Jalan bahaya menuju Pamir, Afghanistan
Bukan hanya itu, ia juga mendapat pelajaran berarti dari si tuan tanah. “Mereka bilang bahwa dalam hidup itu tidak penting seberapa banyak yang kau kumpulkan, tapi seberapa banyak yang kau bisa berikan dan seberapa besar kau membuat hidupmu berarti untuk orang lain,” jelas Agus, yang mengaku beruntung bisa bertemu keluarga seperti itu. 

Tidak hanya penerimaan, perjalanan Agus juga diwarnai oleh penolakan. Ia mengaku ada tempat yang sangat tidak welcome terhadap dirinya. “Pernah saya bertamu ke rumah teman di Afghanistan. Disana ketika pembantunya tahu bahwa saya tidak seagama dengan mereka, mereka marah karena saya tidak memberitahu mereka, kata mereka piring dan gelasnya nya harus dibuang, bagi mereka itu najis,” ujar Agus yang juga pernah ditangkap polisi, dirampok, dipukuli, dan ditahan agen rahasia selama perjalanannya.

Meski Agus bisa dibilang sosok pemberani, tetapi diakui dalam dirinya bahwa rasa takut sangatlah ia perlukan. “Takut itu harus ada, justru karena takut itu kita manusiawi. Jurnalis perang yang mati kebanyakan adalah jurnalis yang senior, yang rasa takutnya sudah mati-yang sudah mengabaikan rasa takut,” jelas Agus, yang menganggap rasa takut harus dijadikan kekuatan untuk meningkatkan kewaspadaan dan bukan menjadi penghambat.

Dalam setiap perjalanannya, Agus tetap menjalin komunikasi dengan keluarga. “Ada, mereka kalau nuntut untuk pulang kebanyakan lewat email. Kalau lewat telepon biasanya orang tua tidak mau terlalu lama, dia takut ngabisin duit, termasuk duit anaknya,” tuturnya yang pernah merasa putus asa ketika kameranya rusak dalam perjalanannya. Diakui Agus, keluarga akhirnya memahami betul kehidupan perjalanannya. Ketika Agus mendapat pekerjaan, keluarga ikut merasa senang dan paham bahwa perjalanan ini bukan untuk fun, tapi untuk belajar.

Setelah sebelumnya meluncurkan Selimut Debu (2010), Garis Batas (2011), dan Titik Nol (2013), kini Agus mengaku tengah mempersiapkan buku keempatnya yang masih seputar perjalanan nya di Asia Tengah. Baginya, travel memiliki manfaat untuk melihat dunia dari berbagai sudut pandang. “Jadi ada satu saat dimana kita menghilangkan ego, sudah bukan kita lagi yang penting, tapi justru mereka yang penting, nah itu yang dimaksud belajar melihat dari berbagai sudut pandang,” ucap Agus yang pernah ditipu sopir bajaj di India.

“Setelah itu ada satu fase, kita tetap belajar untuk melihat diri kita sendiri. Keliatannya mudah untuk berkenalan dengan diri sendiri, tapi sebenarnya tidak. Terkadang perlu melihat, perlu melakukan perjalanan dan bercermin diri. Ibarat mata dan mulut yang berada pada sebuah wajah, mata tidak bisa melihat mulut, harus menggunakan cermin. Nah, untuk berkenalan dengan diri ya perlu cermin, yaitu dunia luar,” jelasnya.

Agus menjelaskan bahwa modal terpenting dalam setiap perjalanan adalah kemampuan seseorang untuk ’melepas’. Maksudnya, seberapa sanggup seseorang untuk melepas impian, melepas teman, melepas keluarga, termasuk melepaskan zona nyaman ketika hendak melakukan perjalanan. “Memang untuk melepaskan keinginan dan mimpi-mimpi itu yang berat. Bukan seberapa banyak modal, kita bisa traveling dengan modal berapapun. Orang India bisa travel bahkan dengan tanpa uang sama sekali,” kata Agus, yang kisah perjalanan Titik Nol miliknya dimuat dalam kolom Travel di Kompas.com.

Lulusan Tsinghua University, Beijing, Cina ini mengaku sekarang dirinya tidak memberi batasan pada destinasi mana yang harus ia tuju. Ke mana dan negara apa yang akan ia tuju bukanlah hal yang utama. “Apa gunanya kita datang ke suatu negara dengan 2-3 hari, lalu menganggap kita kenal negara itu? Tidak. Kita hanya melihat permukaannya,” terangnya. Baginya, apabila hanya mengejar jumlah negara, seseorang tidak akan pernah berkesempatan untuk mengenal dan ‘menyelam’ negara-negara tersebut.

Pria kelahiran Lumajang, 8 Agustus 1981 ini menjelaskan bahwa negara Asia Tengah yang berkahiran ‘Stan’ itu sebenarnya memiliki kesamaan dengan Indonesia. Memang apabila diukur dari jarak, kedua negara bisa dibilang jauh, tetapi sangat dekat bila dilihat dari kacamata sejarah perjuangan kedua negara. “Indonesia dan negara Stan sama-sama lahir dari penjajahan, dan yang saya lihat adalah keadaan mereka mencoba untuk menciptakan nasionalisme dengan cara-cara mereka, ada yang buatan, ada juga yang natural,” jelas Agus yang merasa kagum dengan nasionalisme penduduk Asia Tengah. “Apa benar kita sungguh-sungguh mengaku cinta Indonesia kalau kita tidak benar-benar mengerti makna nasionalisme? Apakah nasionalisme itu berarti kita harus membela semua tentang negara kita, ataukah kita harus membaik-baikan keaadaan negara kita, atau seperti apa nasionalisme itu? Nah itu yang saya pertanyakan lagi dari perjalanan saya,” ujar Agus menjelaskan makna perjalanan pergi ke negara Stan.

Kedepannya, Agus akan lebih melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia. Ia merasa beruntung. Pikirnya, dengan pengalaman melihat dunia luar lebih dulu dibanding negaranya sendiri, ia merasa akan memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat Indonesia. Oleh karena itu, ia merasa antusias untuk mengenal keindonesiaannya.

**

Pembicaraan empat mata terhenti.

Pemilik restoran datang ke hadapan kami. Ia menawari Agus untuk memesan beberapa makanan. Agus memang sepertinya belum sempat makan dari awal acara. Tidak seperti saya yang dari awal sudah menyantap welcome food bubur ayam. 
Setelah memesan beberapa menu, Agus kembali menanyakan kepada saya, “Sampai mana kita tadi?”. 

Saya berhenti sejenak. Saya melontarkan satu pertanyaan terakhir. Akan sejauh apa kecintaan Agus terhadap perjalanan? 

Bukan lelucon kepala kambing, atau quote dari Andy F. Noya di akhir acara yang keluar dari mulut Agus.

“Sepanjang hidupku ini adalah perjalanan,” tutupnya.

Hari itu memang berbeda.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar