Oleh Deonisia Arlinta / 11140110107
Dua pekan lagi Sekolah Darurat Kartini di Kampung Bandan, Ancol, Jakarta Utara, akan digusur oleh PT Kereta Api Indonesia. Namun sampai kini sekolah ini belum juga mendapat tempat pengganti. Hari ini pun tak tampak kegiatan di bangunan sekolah darurat di antara gudang-gudang Kampung Bandan. Pintunya yang terbuat dari kayu dan seng masih tergembok rapat.
Dikutip dari Tempo.co SELASA,18 JUNI
2013
“Itu Sur, yang sini yang di pel. Yang
dibelakang juga jangan lupa. Nanti sama Anto kamu berdua lanjutin lagi,”
seorang wanita berseru pada seorang anak yang umurnya masih sekitar 7 tahun itu
dengan tegas.
Di lain sudut terdengar suara
tongkat semacam bambu dihentakkan pada papan tulis.
Dook dook doook
“Ayo duduk di tempatnya
masing-masing. Latihan lagi. Nanti habis itu pulang.”
Dook dook dook
“Adam. Agus. Ikut Gus. Noris.
Wajik. Melu kabeeeh...” seru seorang
wanita yang wajahnya mirip dengan wanita sebelumnya kepada anak-anak yang
hendak berlatih alat musik angklung.
Kemudian
perpaduan musik angklung pun terdengar memainkan lagu Ayo Mama di ruangan berukuran 10x7 meter itu.
Pemandangan
seperti itulah yang terlihat di Sekolah Darurat Kartini yang letaknya di tengah
rumah-rumah kardus kumuh di sebelah rel kereta api di Pluit, Jakarta Utara.
***
Sekolah Darurat Kartini adalah
sekolah yang pertama kali dibentuk oleh Sri Rosiati (Rossy) pada tahun 1990 di
kawasan Pluit Jakarta Utara. Sekolah yang dibangun untuk membantu pendidikan
anak-anak yang tidak mampu untuk mengenyam bangku sekolahan. Sebelumnya,
sekolah ini lebih dikenal sebagai sanggar Kartini yang lebih mengajarkan
keterampilan dan kerajinan seperti perbengkelan, membua kue, membatik, dan
melukis. Namun, setelah sekolah ini juga memberikan pendidikan formal yang sama
seperti dianjurkan oleh Dinas Pendidikan, dimana murid-muridnya juga mengikuti
Ujian Negara untuk mendapatkan Ijasah, akhirnya berubah nama menjadi Sekolah
Darurat Kartini.
Sri Irianingsih (kiri) bersama Sri Rosiati (kanan) |
Bersama kembarannya Sri
Irianingsih yang bergabung pada tahun 1996, Sekolah Darurat Kartini mulai
berkembang dan mulai menetap di kawasan kumuh di Jakarta Utara tepatnya di
Jalan Lodan Raya, Pademangan, Jakarta Utara.
“Kenapa saya kasih nama Kartini tu ya karena Kartini jadi inspirasi
saya. Dari tulisannya dari pemikirannya juga. Pertama dia itu memperjuangakan
persamaan gender. Kedua dia juga wanita yang mandiri. Saya mau seperti itu,”
ujar Rossy saat menerangkan asal pemilihan untuk sekolah yang ia dirikan
tersebut.
***
Seperti pada artikel di awal tulisan
ini. Sekolah Darurat Kartini memang sangat sering mengalami penggusuran di berbagai
tempat. Penggusuran pada artikel tersebut bukan kali pertamanya. “Iya kita
memang udah belasan kali digusur. Dari awal sekolah ini berdiri, dari tahun
1990 dulu waktu masih di MOI (Mall of Indonesia) sampai di pinggiran rel kereta
api di Ancol. Sampe pernah ada preman yang dateng ke sekolah kita waktu itu,”
jelas Rossi sambil memperlihatkan data runtut dari tahun ke tahun sekolah
darurat kartini itu digusur dari sebuah buku catatannya.
Dalam setiap penggusuran yang
terjadi mereka selalu yakin untuk tetap bisa mempertahankan sekolah ini. “Kalau
sudah begitu ya kami hanya bisa pasrah sama Allah. Kita buka sekolah ini juga
kan bukan buat kita to. Kalau dibongkar dan ditutup mau belajar dimana lagi
mereka? Ga mau saya kalo mereka (murid-murid Sekolah Darurat Kartini) luntang
lantung trus malah jadi lonte
(pelacur) gitu. Emoh aku mbak,” ujar
Ibu Ryan dengan logat bahasa jawanya yang masih medog.
“Mereka kan orang orang
bermasalah. Tapi ya nggak bisa gitu. Kita harus mendidik mereka to ya. Wong
kita ini lebih pinter to? Kan kita ini orang beradab. Kita tau ada orang yang nggak
beradab masa ya kita nggak bantu,” tambah Ryan secara tegas diusianya yang
sudah menginjak umur 63 di tahun ini.
Perjalan panjang dari semangat
Ibu Rossyati dan Ibu Irranti memperjuangkan sekolah darurat Kartini berbuah
pada senyum kelegaan. Akhirnya pada 13 Maret 2013 diresmikanlah sekolah tetap
mereka oleh Kapolsek Metro Jaa, yang dipastikan tidak akan terkena penggusuran
lagi. Diatas tanah milik PT KAI seluas 17x10 meter, yang memang diberikan
secara cuma-cuma untuk sekolah ini, ditambah lagi pemberian dari Kapolsek
setempah sebesar 20x10 meter, berdirilah bangunan sederhana yang sampai saat
ini dipakai untuk mengajar lebih dari 1000 anak.
Siang itu keduanya, Ibu Ryan dan Ibu
Rossy, tampak dengan ayu mengenakan terusan berwarna kuning cerah juga dengan
topi dengan warna senada. Topi yang menjadi identitas mereka berdua yang
melekat saat tampil dimanapun. “Topi sudah jadi kebiasaan kami. Sejak kecil
Bapak saya sudah mengenakan kami topi kemanapun kami pergi,” kata Rossy sambil
membenarkan letak topi yang sedikit miring pada kepalanya.
Memang tidak banyak, bahkan
jarang sekali kita temui orang yang mau memberikan pengabdian tanpa pamrih
bahkan harus berkorban untuk orang lain yang asing untuk kita seperti ini. Dia
hanya ingin berbagi kasih kepada sesama. Baginya, memiliki sebuah kasih bukan
untuk diri sendiri atau anak dan keluarganya saja. “Memberikan kasih buat orang
lain itu kehidupan yang lebih. Kehidupan yang tidak merugi. Kalo hidup nggak
merugi maka berikan cinta kasih kepada sesamamu,” sambil tersenyum melihat
anak-anak didiknya Ibu Rossy menuturkan dengan lembut.
saat Ibu Guru Kembar mempersiapkan latihan memainkan angklung |
Melakukan seperti apa yang
dilakoni oleh ibu kembar ini selama bertahun-tahun bukanlah hal yang mudah.
Untuk bisa setia bertahan hingga saat ini tidak akan mungkin apabila bukan
sebuah pengabdian dan pelayanan tulus. Ongkos untuk membiayai seribu anak lebih
selama bertahun-tahun, bukan hanya pendidikan namun juga kebuthan dasar sehari
sehari, diakui Rossy tidak cukup Rp 30 juta per bulan, yang jelas tidak ada kembali
sepeserpun. Tapi Ryan yakini, semua ini tak muluk memang adalah sesuatu yang ia
ingin jalani. Bersama adik kembarnya Rossy, mereka akan terus berjuang untuk
bisa ikut mencerdaskan bangsa dan mendidik anak-anak generasi penerus bangsa.
Tidak peduli pada orang lain, bahkan oleh pemerintah.
“Kalo ini (kemiskinan dan
pendidikan) nggak tertuntaskan berarti generasi yang akan datang itu (akan)
membuat hancurnya negara kita. Kalo ( orang orang yang menduduki jabatan
pemerintahan) secara eksekutif, legislative itu tidak mempunyai kasih sayang
terhadap orang lain, berarti saya harus mendidik yang ini (anak didiknya). Kalo
udah gede kan susah,” Ryan menambahkan, “Mereka (orang pemerintahan) cuma
mementingkan diri sendiri itu kan nggak idealis. Tidak mementingkan rakyatnya.”
Dibalik itu semua jelas tertulis
bahwa anak-anak seperti yang dididik oleh Ibu Rossy ini harusnya mendapat
perlindungan dari negara. Yang notabene tertulis dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1) tertulis,
“Fakir miskin dan
anak terlantar diplihara oleh Negara.”
Dalam
Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 6 ayat 1 pun
jelas tertulis,
“Setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai minat dan bakat.”
Saat ditanya pandangan Ibu guru
yang telah lulus pendidikan S3 psikolognya ini hanya mengatakan bahwa dirinya
sendiri tidak akan berharap banyak terhadap pemerintah. Baginya lebih baik
dirinya bersama Ibu Rossy saja yang menjalankan ini semua, karena bisa saja
pemerintah tidak ikhlas dan hanya untuk kepentingan politik saja.
Ryan pun mengakui dirinya sama
sekali tidak ada rasa berat untuk menjalankan panggilan ini. “Saya tidak merasa
berat. Bahwa itu (untuk sekolah Kartini) semua pelayanan saya terhadap Tuhan.
Kalo manusia itu sedah diciptakan, dikasih makan, dikasih sehat itu berarti
menunjukkan apa pelayanan, pengabdian saya sama Tuhan. Ya ini, ini baru
sebagian dari hidup saya buat pelayanan Tuhan. Kalo tidak mau merugi ya
cintailah sesamamu,” jelas Ryan sambil menuangkan air sari kacang hijau dari
sebuh teko ke dalam cangkirnya yang bermotif bunga bugenvil itu.
Hidup dekat dengan orang-orang
yang bisa dibilang dalam lingkungan keras ini membuat Ryan semakin bisa melihat
bagaimana sebenarnya sudut-sudut kehidupan di masyarakat. Keras dan jauh dari
apa yang orang pikirkan mengenai hidup di dunia yang layak dan pantas.
Keinginan dan tujuannya yang mulia untuk mendidik sebagian kecil masyarakat
Indonesia ini selalu menuai pertentangan dari banyak pihak.
Yang paling sering adalah dari
orang tua anak yang ingin dia didik. Kebanyakan dari orang tua mereka memang
“memakai” anak mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Entah untuk
bekerja secara halal ataupun dipaksa untuk berkerja yang tidak semestinya,
seperti mencuri, merampok, menjadi pelacur, bahkan ada yang dipaksa untuk
menjadi seorang banci.
Pernah suatu saat salah satu dari
muridnya menangis dan mengadu padanya karena tidak ingin menuruti keinginan
bapaknya untuk menjadi seorang pelacur. Akhirnya, ibu Ryan pun berbicara dengan
ibunya dari anak ini. Namun, siapa sangka ternyata Ibu ini bukan malah membela
anaknya dan melarang bapaknya, tetapi melaporkan kepada bapaknya yang alih-alih
Ibu Rossy berhadapan dengan bapaknya yang sedang membawa bendo1. Dengan tegas
Ibu Rossy pun akhirnya memaksa anak tersebut untuk pindah ke Bandung untuk bisa
bekerja disana, dan berpisah dari orang tuanya. Dengan begitu anak ini tetap
bisa bekerja dan menghasilkan uang untuk ornag tuanya tapi dengan cara yang
halal. Di Bandung pun anak ini tetap ia sekolahkan dengan biaya darinya.
Setelah besar barulah anak ini bisa pulang kembali dengan anggapan orang tuanya
pasti sudah tidak berani memperlakukan semena-mena pada anaknya lagi.
“Semua itu saya lakukan ya biar
bermoral. Biar beradab. Bagaimana saya bisa membuat anak-anak ini beradab. Moso
yo mbe bapak’e dhewe? Opo nggak mumet coba? ( masa ya sama bapaknya sendiri?
Apa tidak pusing coba?) Sering, sering
kaya gitu, saya tu ya kadang mumet, nggak habis pikir. Sampe ada yang disuru
jadi banci itu,” ujar Ryan yang berbicara dengan campuran bahasa jawa itu mengeluhkan
perilaku orang tua yang baginya sama sekali tidak mementingkan masa depan
anaknya ini. Tapi hingga saat ini, Ryan bersyukur tidak ada dari anak didiknya
yang sampai mengikuti perintah orang tua mereka yang buruk seperti itu.
Pendidikan bagi mereka tidak
melulu soal membaca, menulis, dan berhitung. Namun, baginya pendidikan mengenai
akhlak, perilaku, moral, serta agama menjadi hal pokok yang tidak boleh
disampingkan. Kedua wanita ini mendidik muridnya supaya bisa mengangkat
martabat dan martabat mereka masing-masing.
Penanaman akan besarnya nilai
hidup yang harus diperjuangkan seperti inilah yang sejak awal ditanamkan bagi
anak didiknya, yang jelas berbeda dengan ajaran di sekolah pada umumnya. Ibu Rossy
mengaku untuk akhlak dan moral dia memang sangat keras dan tegas menanamkan
pada anak didiknya. “Yang penting mereka ini bisa ngerti dan melakukan
sikap-sikap yang beradab. Bangsa Indonesia sendiri jelas memiliki dasar supaya
masyarakatnya bisa beradab. Mereka ini hidup di lingkungan yang sangat keras,
kalau dibiarkan jelas mereka sangat berbahaya nantinya. Merusak Bangsa
Indonesia,” tegas Rossy.
Tertulis dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1995 yang mencantumkan supaya
warga negaranya bisa hidup beradap dan berakhlak mulia. Hal tersebut tepatnya
tertulis pada alinea ke-4 yang berbunyi:
"Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Dalam
pancasila pada sila ke-2 pun berbunyi :
Kemanusiaan yang
adil dan beradab.
Dari dasar-dasar negara yang
sudah tercantumkan sejak kemerdekaan silam sudah seharusnya menjadi harapan
seluruh bangsa Indonesia, yang harus diwujudnyatakan dalam kehidupan bernegara.
Cita-cita yang mulia tersebut bukan lagi hanya pemerintah saja yang
melakukannya, namun seluruh masyarakat harus ikut berperan serta.
Tapi inilah kenyataan di
Indonesia hingga saat ini, pemerintah mulai mencampur adukkan kepentingan kelompoknya
untuk mengesampingkan kepentingan rakyatnya, terlebih rakyat golongan bawah
(tidak mampu). Malahan, yang ada hanya segelintir orang-orang terpanggil yang
berusaha keras mewujudkannya. Bahkan segelintir orang ini sudah merasa masa
bodo dengan peran dari pemerintah. Lantar sekarang siapa yang seharusnya
dipersalahkan? Mereka yang membantu tampa pamrih malah sering ditolak bahkan
digusur oleh pemerintah. Namun, pemerintah sendiri seolah memberikan janji yang
tidak pasti.
“Iya waktu dulu pernah digusur
itu. walikota pada saat itu (Sutiyoso) pernah berbicara akan memberikan lahan
pengganti sekolah yang digusur. Tapi sampai dua bulan ya ga dikasih-kasih. Ya saya
cari sendiri lagi to ya? Masa ya anak-anak disuruh ga sekolah, nunggu terus?”
ucap Rossy sedikit jengkel mengingat kenangannya saat digusur dulu.
Sosok kedua wanita ini dengan
watak tegas dan mengutamakan moral yang tinggi ini jelas tidak lepas dari peran
orang tuanya yang mendidiknya sejak kecil. Linda, salah satu dari anak didiknya
pun mengaku bahwa kedua gurunya memiliki watak yang tegas dan keras. Ia mengaku
bahkan gurunya sering sekali marah kepada muridnya. “Bu Ryan lebih galak dari
pada Bu Rossy. Kadang teman saya pernah ada yang digebug malah,” ujar Linda. Ketika
diminta menirukan gaya marah gurunya Linda malah tertawa dan meringis geli, “Ahh
saya nggak bisa. Bu Rossy sama Bu Ryan kalo marah pake bahasa Jawa. Jadi saya
nggak ngerti. Hahaa.”
Keluarga yang memang berasal dari
golongan atas dan berpendidikan menjadi faktor utama yang membentuk karakter
mereka hingga seperti saat ini. Ayahnya yang dulu adalah seorang enginner, yang
dulu juga merupakan sahabat dari Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno, dan
Ibunya yang adalah seorang guru merupakan orang tua yang sangat tegas dalam
menanamkan nilai-nilai budi pekerti pada anaknya. Semua anaknya diajarkan semua
hal yang mencirikan seorang “Timur”.
“Saya Sembilan bersaudara. Saya anak keenam
dan Rossy anak ketujuh. Tapi semuanya diperlakukan sama. Semuanya ya harus
ngerti sopan santun. Semuanya harus bisa masak, kerja di bengkel, njahit,
ngelukis, tapi ya harus punya pendidikan formal juga. Pokoknya sembarang kalir
(apapun) harus bisa. Apalagi yang menyangkut budaya Timur, itu penting. Kita harus
sadar kita ini hidup dalam budaya timur, jadi jangan sampai itu ikut-ikut
budaya barat. Beda,” jelas Ryan, ibu yang lahir pada 4 Februari 1950 ini.
Dari sembilan saudara Ibu Ryan
ini hanya dirinya dan kembarannya saja yang terpanggil untuk menunaikan tugas
mulia untuk mendidik anak-anak tidak mampu di lingkungannya ini. Bukan karena
yang lain tidak mau namun wanita dengan dua anak ini mengatakan tidak semua
orang akan terpanggil untuk menjadi sepertinya, karena setiap orang memang
sudah diposisikan pada tempat yang tepat. Sehingga tidak masalah baginya apabila
tidak ada keluarganya yang ikut melakoni seperti apa yang dia lakukan. “Mereka
memang tidak membantu secara langsung. Tapi semua dana untuk anak-anak ini kan
ya bukan uang saya saja, ini dari uang keluarga. Beras juga dari sawah
keluarga. Dari situ saya juga yakin anak-anak saya ini tetap akan terjamin kok
untuk keperluannya,” tutur Ryan.
Ibu Guru Kembar membagikan mie instant sembari anak-anak berpamitan pulang |
“Oh ya jangan lupa ya besok bawa
barang-barang yang sudah dikasih tahu tadi sama bu guru. Rina kamu bawa apa
besok?” tanya Rossy pada salah satu muridnya.
“Wajan bu sama bawang putih,”
jawab Rina.
“Yasudah inget-inget siapa bawanya
apa. Jangan lupa. Ajak temennya kesini juga besok,” sahut Ryan mengingatkan
anak didiknya sebelum benar-benar meninggalkan sekolah.
Besok mereka memang akan memasak
besar karena besok menu makan mereka adalah daging kambing. Sudah menjadi
rutinitas memang di sekolah itu untuk menyediakan kebutuhan nutrisi bagi anak
didiknya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar