Rabu, 19 Juni 2013

DUA TOPI KEMBAR, DUA WANITA PAHLAWAN BANGSA


Oleh Deonisia Arlinta / 11140110107 

Dua pekan lagi Sekolah Darurat Kartini di Kampung Bandan, Ancol, Jakarta Utara, akan digusur oleh PT Kereta Api Indonesia. Namun sampai kini sekolah ini belum juga mendapat tempat pengganti. Hari ini pun tak tampak kegiatan di bangunan sekolah darurat di antara gudang-gudang Kampung Bandan. Pintunya yang terbuat dari kayu dan seng masih tergembok rapat.
                                                                          Dikutip dari Tempo.co SELASA,18 JUNI 2013

“Itu Sur, yang sini yang di pel. Yang dibelakang juga jangan lupa. Nanti sama Anto kamu berdua lanjutin lagi,” seorang wanita berseru pada seorang anak yang umurnya masih sekitar 7 tahun itu dengan tegas.
Di lain sudut terdengar suara tongkat semacam bambu dihentakkan pada papan tulis.
Dook dook doook
“Ayo duduk di tempatnya masing-masing. Latihan lagi. Nanti habis itu pulang.”
Dook dook dook
“Adam. Agus. Ikut Gus. Noris. Wajik. Melu kabeeeh...” seru seorang wanita yang wajahnya mirip dengan wanita sebelumnya kepada anak-anak yang hendak berlatih alat musik angklung.
Kemudian perpaduan musik angklung pun terdengar memainkan lagu Ayo Mama di ruangan berukuran 10x7 meter itu.
Pemandangan seperti itulah yang terlihat di Sekolah Darurat Kartini yang letaknya di tengah rumah-rumah kardus kumuh di sebelah rel kereta api di Pluit, Jakarta Utara.
***
Sekolah Darurat Kartini adalah sekolah yang pertama kali dibentuk oleh Sri Rosiati (Rossy) pada tahun 1990 di kawasan Pluit Jakarta Utara. Sekolah yang dibangun untuk membantu pendidikan anak-anak yang tidak mampu untuk mengenyam bangku sekolahan. Sebelumnya, sekolah ini lebih dikenal sebagai sanggar Kartini yang lebih mengajarkan keterampilan dan kerajinan seperti perbengkelan, membua kue, membatik, dan melukis. Namun, setelah sekolah ini juga memberikan pendidikan formal yang sama seperti dianjurkan oleh Dinas Pendidikan, dimana murid-muridnya juga mengikuti Ujian Negara untuk mendapatkan Ijasah, akhirnya berubah nama menjadi Sekolah Darurat Kartini.
Sri Irianingsih (kiri) bersama Sri Rosiati (kanan)

Bersama kembarannya Sri Irianingsih yang bergabung pada tahun 1996, Sekolah Darurat Kartini mulai berkembang dan mulai menetap di kawasan kumuh di Jakarta Utara tepatnya di Jalan Lodan Raya, Pademangan, Jakarta Utara.  “Kenapa saya kasih nama Kartini tu ya karena Kartini jadi inspirasi saya. Dari tulisannya dari pemikirannya juga. Pertama dia itu memperjuangakan persamaan gender. Kedua dia juga wanita yang mandiri. Saya mau seperti itu,” ujar Rossy saat menerangkan asal pemilihan untuk sekolah yang ia dirikan tersebut.
***
            Seperti pada artikel di awal tulisan ini. Sekolah Darurat Kartini memang sangat sering mengalami penggusuran di berbagai tempat. Penggusuran pada artikel tersebut bukan kali pertamanya. “Iya kita memang udah belasan kali digusur. Dari awal sekolah ini berdiri, dari tahun 1990 dulu waktu masih di MOI (Mall of Indonesia) sampai di pinggiran rel kereta api di Ancol. Sampe pernah ada preman yang dateng ke sekolah kita waktu itu,” jelas Rossi sambil memperlihatkan data runtut dari tahun ke tahun sekolah darurat kartini itu digusur dari sebuah buku catatannya.
Dalam setiap penggusuran yang terjadi mereka selalu yakin untuk tetap bisa mempertahankan sekolah ini. “Kalau sudah begitu ya kami hanya bisa pasrah sama Allah. Kita buka sekolah ini juga kan bukan buat kita to. Kalau dibongkar dan ditutup mau belajar dimana lagi mereka? Ga mau saya kalo mereka (murid-murid Sekolah Darurat Kartini) luntang lantung trus malah jadi lonte (pelacur) gitu. Emoh aku mbak,” ujar Ibu Ryan dengan logat bahasa jawanya yang masih medog.
“Mereka kan orang orang bermasalah. Tapi ya nggak bisa gitu. Kita harus mendidik mereka to ya. Wong kita ini lebih pinter to? Kan kita ini orang beradab. Kita tau ada orang yang nggak beradab masa ya kita nggak bantu,” tambah Ryan secara tegas diusianya yang sudah menginjak umur 63 di tahun ini.
Perjalan panjang dari semangat Ibu Rossyati dan Ibu Irranti memperjuangkan sekolah darurat Kartini berbuah pada senyum kelegaan. Akhirnya pada 13 Maret 2013 diresmikanlah sekolah tetap mereka oleh Kapolsek Metro Jaa, yang dipastikan tidak akan terkena penggusuran lagi. Diatas tanah milik PT KAI seluas 17x10 meter, yang memang diberikan secara cuma-cuma untuk sekolah ini, ditambah lagi pemberian dari Kapolsek setempah sebesar 20x10 meter, berdirilah bangunan sederhana yang sampai saat ini dipakai untuk mengajar lebih dari 1000 anak.
            Siang itu keduanya, Ibu Ryan dan Ibu Rossy, tampak dengan ayu mengenakan terusan berwarna kuning cerah juga dengan topi dengan warna senada. Topi yang menjadi identitas mereka berdua yang melekat saat tampil dimanapun. “Topi sudah jadi kebiasaan kami. Sejak kecil Bapak saya sudah mengenakan kami topi kemanapun kami pergi,” kata Rossy sambil membenarkan letak topi yang sedikit miring pada kepalanya.
Memang tidak banyak, bahkan jarang sekali kita temui orang yang mau memberikan pengabdian tanpa pamrih bahkan harus berkorban untuk orang lain yang asing untuk kita seperti ini. Dia hanya ingin berbagi kasih kepada sesama. Baginya, memiliki sebuah kasih bukan untuk diri sendiri atau anak dan keluarganya saja. “Memberikan kasih buat orang lain itu kehidupan yang lebih. Kehidupan yang tidak merugi. Kalo hidup nggak merugi maka berikan cinta kasih kepada sesamamu,” sambil tersenyum melihat anak-anak didiknya Ibu Rossy menuturkan dengan lembut.
saat Ibu Guru Kembar mempersiapkan latihan memainkan angklung

Melakukan seperti apa yang dilakoni oleh ibu kembar ini selama bertahun-tahun bukanlah hal yang mudah. Untuk bisa setia bertahan hingga saat ini tidak akan mungkin apabila bukan sebuah pengabdian dan pelayanan tulus. Ongkos untuk membiayai seribu anak lebih selama bertahun-tahun, bukan hanya pendidikan namun juga kebuthan dasar sehari sehari, diakui Rossy tidak cukup Rp 30 juta per bulan, yang jelas tidak ada kembali sepeserpun. Tapi Ryan yakini, semua ini tak muluk memang adalah sesuatu yang ia ingin jalani. Bersama adik kembarnya Rossy, mereka akan terus berjuang untuk bisa ikut mencerdaskan bangsa dan mendidik anak-anak generasi penerus bangsa. Tidak peduli pada orang lain, bahkan oleh pemerintah.
“Kalo ini (kemiskinan dan pendidikan) nggak tertuntaskan berarti generasi yang akan datang itu (akan) membuat hancurnya negara kita. Kalo ( orang orang yang menduduki jabatan pemerintahan) secara eksekutif, legislative itu tidak mempunyai kasih sayang terhadap orang lain, berarti saya harus mendidik yang ini (anak didiknya). Kalo udah gede kan susah,” Ryan menambahkan, “Mereka (orang pemerintahan) cuma mementingkan diri sendiri itu kan nggak idealis. Tidak mementingkan rakyatnya.”
Dibalik itu semua jelas tertulis bahwa anak-anak seperti yang dididik oleh Ibu Rossy ini harusnya mendapat perlindungan dari negara. Yang notabene tertulis dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1) tertulis,
“Fakir miskin dan anak terlantar diplihara oleh Negara.”
Dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 6 ayat 1 pun jelas tertulis,
“Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai minat dan bakat.”
Saat ditanya pandangan Ibu guru yang telah lulus pendidikan S3 psikolognya ini hanya mengatakan bahwa dirinya sendiri tidak akan berharap banyak terhadap pemerintah. Baginya lebih baik dirinya bersama Ibu Rossy saja yang menjalankan ini semua, karena bisa saja pemerintah tidak ikhlas dan hanya untuk kepentingan politik saja.
Ryan pun mengakui dirinya sama sekali tidak ada rasa berat untuk menjalankan panggilan ini. “Saya tidak merasa berat. Bahwa itu (untuk sekolah Kartini) semua pelayanan saya terhadap Tuhan. Kalo manusia itu sedah diciptakan, dikasih makan, dikasih sehat itu berarti menunjukkan apa pelayanan, pengabdian saya sama Tuhan. Ya ini, ini baru sebagian dari hidup saya buat pelayanan Tuhan. Kalo tidak mau merugi ya cintailah sesamamu,” jelas Ryan sambil menuangkan air sari kacang hijau dari sebuh teko ke dalam cangkirnya yang bermotif bunga bugenvil itu.
Hidup dekat dengan orang-orang yang bisa dibilang dalam lingkungan keras ini membuat Ryan semakin bisa melihat bagaimana sebenarnya sudut-sudut kehidupan di masyarakat. Keras dan jauh dari apa yang orang pikirkan mengenai hidup di dunia yang layak dan pantas. Keinginan dan tujuannya yang mulia untuk mendidik sebagian kecil masyarakat Indonesia ini selalu menuai pertentangan dari banyak pihak.
Yang paling sering adalah dari orang tua anak yang ingin dia didik. Kebanyakan dari orang tua mereka memang “memakai” anak mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Entah untuk bekerja secara halal ataupun dipaksa untuk berkerja yang tidak semestinya, seperti mencuri, merampok, menjadi pelacur, bahkan ada yang dipaksa untuk menjadi seorang banci.
Pernah suatu saat salah satu dari muridnya menangis dan mengadu padanya karena tidak ingin menuruti keinginan bapaknya untuk menjadi seorang pelacur. Akhirnya, ibu Ryan pun berbicara dengan ibunya dari anak ini. Namun, siapa sangka ternyata Ibu ini bukan malah membela anaknya dan melarang bapaknya, tetapi melaporkan kepada bapaknya yang alih-alih Ibu Rossy berhadapan dengan bapaknya yang sedang membawa bendo1. Dengan tegas Ibu Rossy pun akhirnya memaksa anak tersebut untuk pindah ke Bandung untuk bisa bekerja disana, dan berpisah dari orang tuanya. Dengan begitu anak ini tetap bisa bekerja dan menghasilkan uang untuk ornag tuanya tapi dengan cara yang halal. Di Bandung pun anak ini tetap ia sekolahkan dengan biaya darinya. Setelah besar barulah anak ini bisa pulang kembali dengan anggapan orang tuanya pasti sudah tidak berani memperlakukan semena-mena pada anaknya lagi.
“Semua itu saya lakukan ya biar bermoral. Biar beradab. Bagaimana saya bisa membuat anak-anak ini beradab. Moso yo mbe bapak’e dhewe? Opo nggak mumet coba? ( masa ya sama bapaknya sendiri? Apa tidak pusing coba?)  Sering, sering kaya gitu, saya tu ya kadang mumet, nggak habis pikir. Sampe ada yang disuru jadi banci itu,” ujar Ryan yang berbicara dengan campuran bahasa jawa itu mengeluhkan perilaku orang tua yang baginya sama sekali tidak mementingkan masa depan anaknya ini. Tapi hingga saat ini, Ryan bersyukur tidak ada dari anak didiknya yang sampai mengikuti perintah orang tua mereka yang buruk seperti itu.
Pendidikan bagi mereka tidak melulu soal membaca, menulis, dan berhitung. Namun, baginya pendidikan mengenai akhlak, perilaku, moral, serta agama menjadi hal pokok yang tidak boleh disampingkan. Kedua wanita ini mendidik muridnya supaya bisa mengangkat martabat dan martabat mereka masing-masing.
Penanaman akan besarnya nilai hidup yang harus diperjuangkan seperti inilah yang sejak awal ditanamkan bagi anak didiknya, yang jelas berbeda dengan ajaran di sekolah pada umumnya. Ibu Rossy mengaku untuk akhlak dan moral dia memang sangat keras dan tegas menanamkan pada anak didiknya. “Yang penting mereka ini bisa ngerti dan melakukan sikap-sikap yang beradab. Bangsa Indonesia sendiri jelas memiliki dasar supaya masyarakatnya bisa beradab. Mereka ini hidup di lingkungan yang sangat keras, kalau dibiarkan jelas mereka sangat berbahaya nantinya. Merusak Bangsa Indonesia,” tegas Rossy.
Tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1995 yang mencantumkan supaya warga negaranya bisa hidup beradap dan berakhlak mulia. Hal tersebut tepatnya tertulis pada alinea ke-4 yang berbunyi:
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Dalam pancasila pada sila ke-2 pun berbunyi :
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dari dasar-dasar negara yang sudah tercantumkan sejak kemerdekaan silam sudah seharusnya menjadi harapan seluruh bangsa Indonesia, yang harus diwujudnyatakan dalam kehidupan bernegara. Cita-cita yang mulia tersebut bukan lagi hanya pemerintah saja yang melakukannya, namun seluruh masyarakat harus ikut berperan serta.
Tapi inilah kenyataan di Indonesia hingga saat ini, pemerintah mulai mencampur adukkan kepentingan kelompoknya untuk mengesampingkan kepentingan rakyatnya, terlebih rakyat golongan bawah (tidak mampu). Malahan, yang ada hanya segelintir orang-orang terpanggil yang berusaha keras mewujudkannya. Bahkan segelintir orang ini sudah merasa masa bodo dengan peran dari pemerintah. Lantar sekarang siapa yang seharusnya dipersalahkan? Mereka yang membantu tampa pamrih malah sering ditolak bahkan digusur oleh pemerintah. Namun, pemerintah sendiri seolah memberikan janji yang tidak pasti.
“Iya waktu dulu pernah digusur itu. walikota pada saat itu (Sutiyoso) pernah berbicara akan memberikan lahan pengganti sekolah yang digusur. Tapi sampai dua bulan ya ga dikasih-kasih. Ya saya cari sendiri lagi to ya? Masa ya anak-anak disuruh ga sekolah, nunggu terus?” ucap Rossy sedikit jengkel mengingat kenangannya saat digusur dulu.
Sosok kedua wanita ini dengan watak tegas dan mengutamakan moral yang tinggi ini jelas tidak lepas dari peran orang tuanya yang mendidiknya sejak kecil. Linda, salah satu dari anak didiknya pun mengaku bahwa kedua gurunya memiliki watak yang tegas dan keras. Ia mengaku bahkan gurunya sering sekali marah kepada muridnya. “Bu Ryan lebih galak dari pada Bu Rossy. Kadang teman saya pernah ada yang digebug malah,” ujar Linda. Ketika diminta menirukan gaya marah gurunya Linda malah tertawa dan meringis geli, “Ahh saya nggak bisa. Bu Rossy sama Bu Ryan kalo marah pake bahasa Jawa. Jadi saya nggak ngerti. Hahaa.”
Keluarga yang memang berasal dari golongan atas dan berpendidikan menjadi faktor utama yang membentuk karakter mereka hingga seperti saat ini. Ayahnya yang dulu adalah seorang enginner, yang dulu juga merupakan sahabat dari Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno, dan Ibunya yang adalah seorang guru merupakan orang tua yang sangat tegas dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti pada anaknya. Semua anaknya diajarkan semua hal yang mencirikan seorang “Timur”.
 “Saya Sembilan bersaudara. Saya anak keenam dan Rossy anak ketujuh. Tapi semuanya diperlakukan sama. Semuanya ya harus ngerti sopan santun. Semuanya harus bisa masak, kerja di bengkel, njahit, ngelukis, tapi ya harus punya pendidikan formal juga. Pokoknya sembarang kalir (apapun) harus bisa. Apalagi yang menyangkut budaya Timur, itu penting. Kita harus sadar kita ini hidup dalam budaya timur, jadi jangan sampai itu ikut-ikut budaya barat. Beda,” jelas Ryan, ibu yang lahir pada 4 Februari 1950 ini.
Dari sembilan saudara Ibu Ryan ini hanya dirinya dan kembarannya saja yang terpanggil untuk menunaikan tugas mulia untuk mendidik anak-anak tidak mampu di lingkungannya ini. Bukan karena yang lain tidak mau namun wanita dengan dua anak ini mengatakan tidak semua orang akan terpanggil untuk menjadi sepertinya, karena setiap orang memang sudah diposisikan pada tempat yang tepat. Sehingga tidak masalah baginya apabila tidak ada keluarganya yang ikut melakoni seperti apa yang dia lakukan. “Mereka memang tidak membantu secara langsung. Tapi semua dana untuk anak-anak ini kan ya bukan uang saya saja, ini dari uang keluarga. Beras juga dari sawah keluarga. Dari situ saya juga yakin anak-anak saya ini tetap akan terjamin kok untuk keperluannya,” tutur Ryan.
Saat ditanya mengenai sampai kapan akan meneruskan Sekolah Kartini ini, wanita yang memiliki tokoh panutan Margaretha Kecher ini hanya menjawab dengan sederhana, “Ya kalau saya sudah nggak kuat lagi. Tapi kan sekarang masih bisa, masih kuat.” Kepuasan tersendiri sehingga Ibu Ryan masih bersemangat untuk melanjutkan sekolah kartini ini adalah ketika melihat anak didiknya sudah bisa bekerja dan diterima di masyarakat luas. Bukan lagi dipandang sebelah mata. “Puas. Ya kalo lihat anak-anak sudah berkerja, diterima di masyarakat. Tidak kriminal dan tidak melacur. Ya pokoknya namanya orang hidup mereka harus berguna,” ujar Rossy yang langsung bangkit membantu Ryan membagikan mie instant pada anak didiknya yang akan pulang ke rumah masing-masing.
Ibu Guru Kembar membagikan mie instant sembari anak-anak berpamitan pulang

“Oh ya jangan lupa ya besok bawa barang-barang yang sudah dikasih tahu tadi sama bu guru. Rina kamu bawa apa besok?” tanya Rossy pada salah satu muridnya.
“Wajan bu sama bawang putih,” jawab Rina.
            “Yasudah inget-inget siapa bawanya apa. Jangan lupa. Ajak temennya kesini juga besok,” sahut Ryan mengingatkan anak didiknya sebelum benar-benar meninggalkan sekolah.
Besok mereka memang akan memasak besar karena besok menu makan mereka adalah daging kambing. Sudah menjadi rutinitas memang di sekolah itu untuk menyediakan kebutuhan nutrisi bagi anak didiknya.
***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar