The Perfect Student : Hardwork, skill, and lucky
Jumat, 17 Mei
2013 | 22.14 WIB
Oleh Engelberta
Mungkin hampir tak ada insan yang menyiratkan bahwa
lelaki itu berada di bawah tekanan hidupnya. Dari kecil, ia sudah terbiasa
hidup tak sebanding dengan teman sebayanya.
“Mau makan aja susah.”
“Singkong dan ubi sudah menjadi santapan bekal setiap
harinya di sekolah pas TK.”
“Uang jajan juga tidak ada.”
“Ya, begitulah tragedi krismon 1998, kehidupan ekonomi
dalam keluarga langsung berantakan.”
Lelaki itu berasal dari Jawa Timur, tepatnya di
Malang. Tingginya 170 cm, agak berbadan, kulit putih, wajahnya berbinar
menyalurkan hasrat. Alur cerita itu mengingatkan saya pada tokoh keturunan
Yahudi, Anne Frank. Namun, bukan berarti catatan diary gadis belia itu menyimpan konten yang serupa dengan tokoh
“The Perfect Student”.
Ya, alur cerita yang sama. Maksudnya, hidup dalam
tekanan, namun, memiliki sejuta harapan dan cita-cita. Bedanya, Anne keturunan
Yahudi itu berada di bawah tekanan tentara Nazi pada masa itu, sedangkan pemuda
itu besar di bawah tekanan ekonomi.
Tekanan yang kian merumit, pekerjaan tak tetap, hidup
nomaden, tak semudah membalikkan telapak tangan bagi keluarganya, Teddy, yang
akrab disapa oleh teman-temannya. Dari usia belia, lelaki itu kerap mengenal
apa kepahitan hidup. Ketika ayahnya di PHK, masalah kian bercampur aduk. Perekonomian
keluarga harus berawal dari nol. Ayahnya yang semula sebagai pekerja arsitek
sekaligus teknik sipil, Koesetio hartono (Kwee Sing Hwat), kini rela menjadi
sopir.
“Ayah adalah seorang
yang pekerja keras.”
“Saya bangga karena dari kepahitan yang pernah
dialami, saya mengenal dunia itu seperti apa.”
Krisis soal materi kerap kali terjadi. “Beberapa
problem menimpa di keluarga, yakni ibu saya dihipnotis oleh orang yang tak
dikenal di angkot,”kata si sulung. Kejadian tersebut berlangsung ketika ibunya,
Liem Giok Tien, ingin membeli keperluan keluarga di pasar. Semua investasi itu
ludes, termasuk perhiasan milik tetangga.
“Jadi, setelah ibu saya dihipnotis oleh orang
tersebut, tetangga rumah juga menjadi korban.”
“Total kerugian yang harus ditanggung kira-kira 90an
juta.”
“Jadi, keluarga saya harus mengganti semua utang itu.”
RUWEEEETTTTT….RUWEEETT... Berhadapan dengan angka yang
tak kecil itu, tak mampu dibayar dalam sekejap mata saja. Keluarga lelaki itu
pun menjual rumah mereka.
Putra sulung itu tak mungkin leha-leha setelah
mengetahui kondisi tersebut. Dengan dukungan kecerdasan yang dimiliki, ia pernah
mencoba menekuni bidang menjadi guru les selama sebulan. Namun, pekerjaan
tersebut kurang disukainya.
“Kaki dan badan saya pegal-pegal karena harus berdiri
selama beberapa jam, selain itu, gaji sebulan yang didapat sangat minim,”katanya
sambil menebarkan senyuman.
Pengalaman yang dilakoni sang pemuda itu tak pernah
terbersit dalam benaknya, sejak itu pula, ia mencoba membuka kursus atau
bimbingan belajar murid SD-SMP di rumah pindahannya yang ada di Tangerang. “Berawal
dari satu orang, lama-lama anak-anak lesan saya bertambah menjadi 20an orang,”kata
Teddy yang juga merupakan mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, Jurusan
TI 2011.
Siapa sangka aktivitas yang dilakoninya saat ini, dari
SMA ia tak pernah lagi meminta uang dari orangtuanya.
“Kalau keperluan pribadi sih pake duit hasil
les-lesan, seperti laptop, HP, hardisk, dst, kecuali uang sekolah atau kuliah,”ungkapnya.
Ia tak pernah menyangka rezeki itu akan
datang dalam hidupnya. Hitungan uang jajan mungkin berkelimpahan dalam takaran
mahasiswa. Namun, terkadang ia juga harus menyalurkan rezeki tersebut kepada
adik bungsunya, Katarina Inggraini. Tak segan ia menyisihkan uang tersebut
untuk membeli keperluan adiknya, termasuk keperluan sekolah.
Hasil jerih payah dan keringatnya memang tak seberapa.
Pria itu bukanlah mencari kenikmatan sesaat, namun, ia mencoba ingin
membanggakan orangtuanya dari prestasi yang didapatkan di kampus, baik itu
berupa IP yang sempurna, maupun kesempatan melanjutkan studi ke luar negeri
demi tercapainya cita-cita.
Sebelumnya, ia tertarik pada dunia pilot maupun
kedokteran. Namun, karena keterbatasan ekonomi, terpaksa pria itu mengambil
alternatif terakhir, yakni mencoba masuk dalam dunia teknologi yang berbasis informasi.
Ia mengikuti secara perlahan-lahan saat di kelas. Jiwa keteladanannya perlu
diakui. Tiap dosen mengajarkan materi baru, tak ada satu kata pun yang
terlintas di telinganya.
“Saya menjadi suka coding
dan biasanya menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas kampus pada malam hari
hingga langit menjelang pagi buta,”pengakuan oleh sang pemuda. Hal tersebut
tentu tak mudah baginya untuk menyesuaikan bidang yang kurang dikuasainya.
Namun, semangatnya tak luput, ia terus berkonsentrasi pada bidangnya. Lagi-lagi
ia harus ditekan, bukan hanya dibalik keteladanannya. Salah satu motivasi yang membuatnya
semangat belajar karena kondisi keluarganya yang memaksa ia harus berjuang lebih
keras.
Sebenarnya, ia juga mengungkap dibalik kesuksesannya
dalam bidang akademik, ada wanita yang selalu menyemangati dirinya. Siapakah
wanita tersebut? Chetaaaar….
Pengalaman masa lalunya bersama dengan seorang wanita
mungkin bisa dibilang tak seberuntung yang didapatinya saat ini. Pertengkaran
tak diundang selalu terjadi dalam hubungan. Liku-liku tak berjalan dengan
mulus. Sebaliknya, wanita yang berada di sisinya saat ini selalu memberikan
dukungan kepada Teddy agar semangatnya tak kandas.
“Saya beruntung memilikinya, walaupun kami jarang
bertemu, dia mau mengerti saya,”ungkap sang pria itu sambil melontarkan sedikit
senyuman kepada saya. Di usia yang sama tak membuat hubungan mereka saling
menyalahkan satu sama lain. Cukup dewasa perjalanan asmara yang dijalani
meskipun terkadang ada masalah yang sulit diselesaikan.
Perbedaan yang kontras antara teknologi dan dunia fashion. Wanita di sisinya mengaku tidak
menyukai bidang TI karena musik
merupakan bagian hidupnya. Sedangkan, pria itu sendiri tak mempermasalahkan
latar belakang tersebut. Mereka berkomitmen saling menyeimbangkan, mutlaknya
manusia diciptakan untuk saling menerima setiap kekurangan dan kelebihan.
Walaupun terkadang Teddy sering melontarkan canda gurau kepada pasangannya
untuk masuk dalam jurusan yang sama, namun, hal itu sering kali membuat
pasangannya sendiri kesal karena hal itu tak dapat dipaksakan. Kadang kala,
canda gurau menjadi hal yang serius bagi pacarnya. Pria itu menginginkan agar
wanita idamannya gemuk. Hal yang mustahil bagi wanita untuk melebarkan perut,
di samping itu, mereka selalu berdebat.
Hidup mereka cukup bahagia. Namun, bukan seolah-olah
seperti kehidupan putri raja yang menikah di istana. Dalam hubungan yang
berlangsung sekitar delapan bulan, perjalanan asmara tak selalu mengalir dengan
tenang, namun, tak berakhir hingga perpisahan juga, layaknya gelombang yang
datang dan pergi. Hubungan mereka juga disetujui oleh kedua belah pihak, baik
dari pihak keluarga Teddy maupun pasangannya sendiri. Latar belakang kehidupan
memang berbeda, ia sendiri mengaku ingin membahagiakan belahan jiwanya. Dengan
bermodalan kerja keras dan berdoa, ia berharap mujizat akan terjadi. Pria dewasa
yang penuh angan-angan, kelak akan menjadi satu keluarga yang harmonis dan
saling mencintai dengan kasih murni.
Yang menarik juga, dirinya tak ingin disamakan dengan
pria hebat lainnya, pemuda itu merasa dirinya belum berbuat apa-apa untuk
kehidupan. Kepercayaan dirinya yang tinggi, kesanguinitasnya yang teruji, mampu
membangkitkan mimpi masa depan yang cemerlang. Ia percaya bahwa kerja keras
tidak akan berjalan sia-sia, ia juga meyakini penaburan kepahitan yang
dilakukan, dapat dirasakan atau dituai saat ia sudah bekerja untuk masyarakat,
kehidupan itu sendiri. Ia percaya bahwa ia akan SUKSES!
Modal ambiusitas yang tinggi, optimis akan kehidupan,
membawa ia menyukai akan dunia mengajar. Sering kali ia ingin membagikan
ilmunya kepada orang-orang, bukan membatasi pikiran dan otak yang tak terbatas
itu. Pria itu senang dan bangga ketika ilmu yang disalurkan dapat dimengerti
dan diterima oleh anak didikannya.
“Menjadi dosen juga enak karena kita bertemu dengan
banyak orang, sosialisasi bertambah, juga dapat berbagi ilmu,”katanya.
Keahlian mengasah otak kirinya memang tak diragukan.
Namun, ia merasa otak kanannya perlu diasah lebih dalam lagi untuk mendukung
aktivitasnya, seperti kreativitas dalam membuat sebuah program berteknologi.
Selama ini pria itu merasa kecerdasan pada otak kanannya tak dapat berfungsi
secara maksimal, bisa disebut tak berjalan. Ia mengungkap saat masih duduk di
bangku SD, pelajaran yang paling disebalinya adalah menggambar atau olahraga.
Pelajaran berkaitan dengan akademik justru lebih digemarinya dari kecil. Tak
menutup kemungkinan salah satu impiannya ingin menjadi seorang dosen, pengajar
mata kuliah yang membutuhkan konsentrasi akan dunia abstrak, serta pengandalan
logika yang berlipat ganda.
Dalam kesehariannya, Aryono sangat menghargai waktu.
Dalam sehari, 24 jam, dirasakannya belum cukup untuk mengerjakan segala
aktivitas yang ada. Di rumah, selain mengajar, ia selalu mengerjakan sesuatu
yang dirasakannya penting, bukan menghabur-haburkan waktu dengan menonton TV
atau bermain games. Orangtuanya juga
sering berpesan kepadanya agar ada waktu yang disisihkan untuk belajar dan
belajar. Tak ada waktu untuk bermain! Hal itu tak pernah diungkapkan kepada
ibunya karena ia berusaha menutupi semua tekanan yang dihadapinya. Ia ingin
membahagiakan kedua orangtuanya dengan belajar yang rajin. Hingga pada suatu
hari, pemuda tersebut mencucurkan air mata di depan wanita kesayangannya karena
tekanan yang banyak dalam hidupnya.
Bahkan, saat masa awal mereka pacaran, Teddy harus
disiplin dalam mengatur waktu antara mengajar dan berpacaran. Hal itu selalu
berbenturan di masa hubungan yang masih hangat. Telepon genggamnya sering
bergetar pertanda ibunya menanyakan keberadaannya. Ia juga ditekan untuk
membiayai keperluan keluarga, seperti membayar listrik, air, dan sebagainya.
Berhubungan ayahnya yang tak selalu berada di rumah karena harus menjadi tulang
punggung keluarga, sekali seminggu baru pulang, terkadang dua minggu sekali, ia
harus menggantikan posisi ayahnya untuk mempercepat pembayaran.
Miracle.. oh miracle, mengharapakan suatu keajaiban
akan tiba. Ia yakin waktunya tak terbuang dengan sia-sia karena pengawalan
hidup dengan perjuangan gigih, prestasi yang membanggakan, ada kesempatan yang
menghampirinya.
“Sukses toh juga datang dengan sendirinya, tak perlu
ditunggu-tunggu, karena kita sudah berjuang mati-matian dari awal”, ungkapnya.
Pada masanya,
sangat jarang ada sosok pemuda sepertinya. Teddy penuh dengan tekanan hidup,
tak membuat pergaulannya terhambat. Ia adalah pria yang mudah bergaul, baik di
sekolah maupun di kampusnya saat ini. Jika ada tugas kelompok, terkadang ia
harus mengerjakan semuanya sekaligus menjadi pemimpin kelompok karena tak
jarang banyak temannya yang beralasan tak logis. Terpaksa sepanjang malam
pemuda itu berusaha menyelesaikan tugas hingga berminggu-minggu bahkan
berbulan-bulan.
Engelberta/ 11140110047/ B1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar