Rabu, 19 Juni 2013

The Perfect Student : Hardwork, skill, and lucky
Jumat, 17 Mei 2013 | 22.14 WIB
Oleh Engelberta

Mungkin hampir tak ada insan yang menyiratkan bahwa lelaki itu berada di bawah tekanan hidupnya. Dari kecil, ia sudah terbiasa hidup tak sebanding dengan teman sebayanya.
“Mau makan aja susah.”
“Singkong dan ubi sudah menjadi santapan bekal setiap harinya di sekolah pas TK.”
“Uang jajan juga tidak ada.”
“Ya, begitulah tragedi krismon 1998, kehidupan ekonomi dalam keluarga langsung berantakan.”
Lelaki itu berasal dari Jawa Timur, tepatnya di Malang. Tingginya 170 cm, agak berbadan, kulit putih, wajahnya berbinar menyalurkan hasrat. Alur cerita itu mengingatkan saya pada tokoh keturunan Yahudi, Anne Frank. Namun, bukan berarti catatan diary gadis belia itu menyimpan konten yang serupa dengan tokoh “The Perfect Student”.
Ya, alur cerita yang sama. Maksudnya, hidup dalam tekanan, namun, memiliki sejuta harapan dan cita-cita. Bedanya, Anne keturunan Yahudi itu berada di bawah tekanan tentara Nazi pada masa itu, sedangkan pemuda itu besar di bawah tekanan ekonomi.
Tekanan yang kian merumit, pekerjaan tak tetap, hidup nomaden, tak semudah membalikkan telapak tangan bagi keluarganya, Teddy, yang akrab disapa oleh teman-temannya. Dari usia belia, lelaki itu kerap mengenal apa kepahitan hidup. Ketika ayahnya di PHK, masalah kian bercampur aduk. Perekonomian keluarga harus berawal dari nol. Ayahnya yang semula sebagai pekerja arsitek sekaligus teknik sipil, Koesetio hartono (Kwee Sing Hwat), kini rela menjadi sopir.
 “Ayah adalah seorang yang pekerja keras.”
“Saya bangga karena dari kepahitan yang pernah dialami, saya mengenal dunia itu seperti apa.”
Krisis soal materi kerap kali terjadi. “Beberapa problem menimpa di keluarga, yakni ibu saya dihipnotis oleh orang yang tak dikenal di angkot,”kata si sulung. Kejadian tersebut berlangsung ketika ibunya, Liem Giok Tien, ingin membeli keperluan keluarga di pasar. Semua investasi itu ludes, termasuk perhiasan milik tetangga.
“Jadi, setelah ibu saya dihipnotis oleh orang tersebut, tetangga rumah juga menjadi korban.”
“Total kerugian yang harus ditanggung kira-kira 90an juta.”
“Jadi, keluarga saya harus mengganti semua utang itu.”
RUWEEEETTTTT….RUWEEETT... Berhadapan dengan angka yang tak kecil itu, tak mampu dibayar dalam sekejap mata saja. Keluarga lelaki itu pun menjual rumah mereka.
Putra sulung itu tak mungkin leha-leha setelah mengetahui kondisi tersebut. Dengan dukungan kecerdasan yang dimiliki, ia pernah mencoba menekuni bidang menjadi guru les selama sebulan. Namun, pekerjaan tersebut kurang disukainya.
“Kaki dan badan saya pegal-pegal karena harus berdiri selama beberapa jam, selain itu, gaji sebulan yang didapat sangat minim,”katanya sambil menebarkan senyuman.
Pengalaman yang dilakoni sang pemuda itu tak pernah terbersit dalam benaknya, sejak itu pula, ia mencoba membuka kursus atau bimbingan belajar murid SD-SMP di rumah pindahannya yang ada di Tangerang. “Berawal dari satu orang, lama-lama anak-anak lesan saya bertambah menjadi 20an orang,”kata Teddy yang juga merupakan mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, Jurusan TI 2011.
Siapa sangka aktivitas yang dilakoninya saat ini, dari SMA ia tak pernah lagi meminta uang dari orangtuanya.
“Kalau keperluan pribadi sih pake duit hasil les-lesan, seperti laptop, HP, hardisk, dst, kecuali uang sekolah atau kuliah,”ungkapnya.  Ia tak pernah menyangka rezeki itu akan datang dalam hidupnya. Hitungan uang jajan mungkin berkelimpahan dalam takaran mahasiswa. Namun, terkadang ia juga harus menyalurkan rezeki tersebut kepada adik bungsunya, Katarina Inggraini. Tak segan ia menyisihkan uang tersebut untuk membeli keperluan adiknya, termasuk keperluan sekolah.
Hasil jerih payah dan keringatnya memang tak seberapa. Pria itu bukanlah mencari kenikmatan sesaat, namun, ia mencoba ingin membanggakan orangtuanya dari prestasi yang didapatkan di kampus, baik itu berupa IP yang sempurna, maupun kesempatan melanjutkan studi ke luar negeri demi tercapainya cita-cita.
Sebelumnya, ia tertarik pada dunia pilot maupun kedokteran. Namun, karena keterbatasan ekonomi, terpaksa pria itu mengambil alternatif terakhir, yakni mencoba masuk dalam dunia teknologi yang berbasis informasi. Ia mengikuti secara perlahan-lahan saat di kelas. Jiwa keteladanannya perlu diakui. Tiap dosen mengajarkan materi baru, tak ada satu kata pun yang terlintas di telinganya.
“Saya menjadi suka coding dan biasanya menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas kampus pada malam hari hingga langit menjelang pagi buta,”pengakuan oleh sang pemuda. Hal tersebut tentu tak mudah baginya untuk menyesuaikan bidang yang kurang dikuasainya. Namun, semangatnya tak luput, ia terus berkonsentrasi pada bidangnya. Lagi-lagi ia harus ditekan, bukan hanya dibalik keteladanannya. Salah satu motivasi yang membuatnya semangat belajar karena kondisi keluarganya yang memaksa ia harus berjuang lebih keras.
Sebenarnya, ia juga mengungkap dibalik kesuksesannya dalam bidang akademik, ada wanita yang selalu menyemangati dirinya. Siapakah wanita tersebut? Chetaaaar….
Pengalaman masa lalunya bersama dengan seorang wanita mungkin bisa dibilang tak seberuntung yang didapatinya saat ini. Pertengkaran tak diundang selalu terjadi dalam hubungan. Liku-liku tak berjalan dengan mulus. Sebaliknya, wanita yang berada di sisinya saat ini selalu memberikan dukungan kepada Teddy agar semangatnya tak kandas.
“Saya beruntung memilikinya, walaupun kami jarang bertemu, dia mau mengerti saya,”ungkap sang pria itu sambil melontarkan sedikit senyuman kepada saya. Di usia yang sama tak membuat hubungan mereka saling menyalahkan satu sama lain. Cukup dewasa perjalanan asmara yang dijalani meskipun terkadang ada masalah yang sulit diselesaikan.
Perbedaan yang kontras antara teknologi dan dunia fashion. Wanita di sisinya mengaku tidak menyukai bidang TI  karena musik merupakan bagian hidupnya. Sedangkan, pria itu sendiri tak mempermasalahkan latar belakang tersebut. Mereka berkomitmen saling menyeimbangkan, mutlaknya manusia diciptakan untuk saling menerima setiap kekurangan dan kelebihan. Walaupun terkadang Teddy sering melontarkan canda gurau kepada pasangannya untuk masuk dalam jurusan yang sama, namun, hal itu sering kali membuat pasangannya sendiri kesal karena hal itu tak dapat dipaksakan. Kadang kala, canda gurau menjadi hal yang serius bagi pacarnya. Pria itu menginginkan agar wanita idamannya gemuk. Hal yang mustahil bagi wanita untuk melebarkan perut, di samping itu, mereka selalu berdebat.
Hidup mereka cukup bahagia. Namun, bukan seolah-olah seperti kehidupan putri raja yang menikah di istana. Dalam hubungan yang berlangsung sekitar delapan bulan, perjalanan asmara tak selalu mengalir dengan tenang, namun, tak berakhir hingga perpisahan juga, layaknya gelombang yang datang dan pergi. Hubungan mereka juga disetujui oleh kedua belah pihak, baik dari pihak keluarga Teddy maupun pasangannya sendiri. Latar belakang kehidupan memang berbeda, ia sendiri mengaku ingin membahagiakan belahan jiwanya. Dengan bermodalan kerja keras dan berdoa, ia berharap mujizat akan terjadi. Pria dewasa yang penuh angan-angan, kelak akan menjadi satu keluarga yang harmonis dan saling mencintai dengan kasih murni.
Yang menarik juga, dirinya tak ingin disamakan dengan pria hebat lainnya, pemuda itu merasa dirinya belum berbuat apa-apa untuk kehidupan. Kepercayaan dirinya yang tinggi, kesanguinitasnya yang teruji, mampu membangkitkan mimpi masa depan yang cemerlang. Ia percaya bahwa kerja keras tidak akan berjalan sia-sia, ia juga meyakini penaburan kepahitan yang dilakukan, dapat dirasakan atau dituai saat ia sudah bekerja untuk masyarakat, kehidupan itu sendiri. Ia percaya bahwa ia akan SUKSES!
Modal ambiusitas yang tinggi, optimis akan kehidupan, membawa ia menyukai akan dunia mengajar. Sering kali ia ingin membagikan ilmunya kepada orang-orang, bukan membatasi pikiran dan otak yang tak terbatas itu. Pria itu senang dan bangga ketika ilmu yang disalurkan dapat dimengerti dan diterima oleh anak didikannya.
“Menjadi dosen juga enak karena kita bertemu dengan banyak orang, sosialisasi bertambah, juga dapat berbagi ilmu,”katanya.
Keahlian mengasah otak kirinya memang tak diragukan. Namun, ia merasa otak kanannya perlu diasah lebih dalam lagi untuk mendukung aktivitasnya, seperti kreativitas dalam membuat sebuah program berteknologi. Selama ini pria itu merasa kecerdasan pada otak kanannya tak dapat berfungsi secara maksimal, bisa disebut tak berjalan. Ia mengungkap saat masih duduk di bangku SD, pelajaran yang paling disebalinya adalah menggambar atau olahraga. Pelajaran berkaitan dengan akademik justru lebih digemarinya dari kecil. Tak menutup kemungkinan salah satu impiannya ingin menjadi seorang dosen, pengajar mata kuliah yang membutuhkan konsentrasi akan dunia abstrak, serta pengandalan logika yang berlipat ganda.
Dalam kesehariannya, Aryono sangat menghargai waktu. Dalam sehari, 24 jam, dirasakannya belum cukup untuk mengerjakan segala aktivitas yang ada. Di rumah, selain mengajar, ia selalu mengerjakan sesuatu yang dirasakannya penting, bukan menghabur-haburkan waktu dengan menonton TV atau bermain games. Orangtuanya juga sering berpesan kepadanya agar ada waktu yang disisihkan untuk belajar dan belajar. Tak ada waktu untuk bermain! Hal itu tak pernah diungkapkan kepada ibunya karena ia berusaha menutupi semua tekanan yang dihadapinya. Ia ingin membahagiakan kedua orangtuanya dengan belajar yang rajin. Hingga pada suatu hari, pemuda tersebut mencucurkan air mata di depan wanita kesayangannya karena tekanan yang banyak dalam hidupnya.
Bahkan, saat masa awal mereka pacaran, Teddy harus disiplin dalam mengatur waktu antara mengajar dan berpacaran. Hal itu selalu berbenturan di masa hubungan yang masih hangat. Telepon genggamnya sering bergetar pertanda ibunya menanyakan keberadaannya. Ia juga ditekan untuk membiayai keperluan keluarga, seperti membayar listrik, air, dan sebagainya. Berhubungan ayahnya yang tak selalu berada di rumah karena harus menjadi tulang punggung keluarga, sekali seminggu baru pulang, terkadang dua minggu sekali, ia harus menggantikan posisi ayahnya untuk mempercepat pembayaran.
Miracle.. oh miracle, mengharapakan suatu keajaiban akan tiba. Ia yakin waktunya tak terbuang dengan sia-sia karena pengawalan hidup dengan perjuangan gigih, prestasi yang membanggakan, ada kesempatan yang menghampirinya.
“Sukses toh juga datang dengan sendirinya, tak perlu ditunggu-tunggu, karena kita sudah berjuang mati-matian dari awal”, ungkapnya.
Pada  masanya, sangat jarang ada sosok pemuda sepertinya. Teddy penuh dengan tekanan hidup, tak membuat pergaulannya terhambat. Ia adalah pria yang mudah bergaul, baik di sekolah maupun di kampusnya saat ini. Jika ada tugas kelompok, terkadang ia harus mengerjakan semuanya sekaligus menjadi pemimpin kelompok karena tak jarang banyak temannya yang beralasan tak logis. Terpaksa sepanjang malam pemuda itu berusaha menyelesaikan tugas hingga berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.


Engelberta/ 11140110047/ B1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar