Rabu, 19 Juni 2013

Berani Melawan, Berani Mengubah !

Oleh : Gisela Niken Kusumawardani
11140110086

“Hanya satu kata,” teriak seorang pria
“Lawan !!” jawab orang-orang di sekitarnya

Di atas panggung pria itu mengepalkan kedua tangannya. Melemparnya ke atas. Orang yang melihatnya pun ikut mengepalkan tangan dan berteriak. Rasanya mereka semua terbakar dalam semangat yang sama. Angka “32” tertera jelas di kaus berwarna coklat yang ia kenakan. Muka mantan Presiden RI, Soeharto juga terlihat jelas di sana. Apa saya berada di tengah demonstrasi mahasiswa Mei 1998 ?

Tentu saja bukan.

Ini adalah sebuah konser hiphop yang dibuat oleh pria itu. Konser hiphop ? Di tahun 2013 ? Di saat jutaan orang senang menonton konser Noah hingga boyband korea, orang ini malah membuat konser hiphop. Saya penasaran. Maka, sore itu saya duduk bersama dengannya di sebuah kedai kopi yang terletak di daerah Senayan. Saya pun mendengarkan banyak kisah hidup langsung dari mulutnya. Lantas siapa sebenarnya pria itu ?

  Pria itu adalah Pandji Pragiwakson. Usianya 33 tahun dan lahir di Singapura. Pria kelahiran 18 Juni ini menghasilkan karya dengan berbagai bentuk. Ia mengawali karir menjadi penyiar radio. Kemudian mulai melebarkan karier menjadi penulis, pembawa acara, rapper hingga menjadi komedian yang melucu lewat aksi stand up comedy, kultur yang sedang berjaya di kalangan anak muda. Sosok Pandji semakin menarik ketika seluruh karya-karya yang dihasilkan membawa satu semangat. Nasionalisme.

Pandji kecil tinggal di tengah-tengah keluarga yang mapan. Ia kembali ke Jakarta saat mulai masuk playgroup. Saat itu rumahnya di Simprug Golf, area elit di Jakarta pada masa itu. Menjalani masa kanak-kanak hingga sekolah dasar sebagai anak yang bercukupan. Kala itu ia bersekolah di sekolah swasta, Triguna namanya. Guru, lingkungan hingga teman-teman semuanya baik.

Kehidupan dirasa berbalik ketika masuk SMP. Pandji yang mulai beranjak remaja harus diterpa masalah keluarga yang berat. Orang tuanya bercerai. Pindah rumah dari Simprug Golf ke Bintaro Jaya membuatnya harus menerima keadaan yang sekarang. “Rumahnya jauuuh lebih kecil daripada rumah kami di Simprug.  Saya agak shock dengan sempitnya ruang gerak di rumah kami.  Dulu, saya bisa main bulutangkis di lantai atas rumah kami. Sekarang boro-boro ada 2 lantai.” Begitu yang ia tulis di buku karangannya sendiri, Nasional.is.me

Perlakuan tak baik dari senior langsung didapatkan saat hari pertama masuk sekolah. Masih terekam di pikirannya, saat itu sekolah sedang ramai. Maklum anak-anak yang masuk pagi baru pulang sekolah dan yang masuk siang akan masuk sekolah. Kebetulan di lapangan basket sedang ada pertandingan basket, maka Pandji beserta anak tingkat satu yang lain menonton. Secara tak sengaja Pandji yang duduk tepat di bawah ring basket terkena cipratan air dari bola yang jatuh ke genangan air. “Senior-senior gue pada ketawa terus gue juga ketawa. Cuman pada bilang, lagi-lagi. Ya gue langsung kesel gitu. Oh nantangin-nantangin nih kata mereka. Terus tiba-tiba semua orang pada dorong-dorongin gue. Itu adalah momen yang membuat gue merasa sangat berbeda,” kenangnya. Kenakalan di masa sekolah dirasakan betul oleh Pandji semasa SMP.

Lain sekolah, lain pula pengalaman yang didapat. Pandji melanjutkan pendidikan SMA di sebuah SMA Katolik, Kolese Gonzaga. Pengalaman kesulitan mencari sekolah membuat Pandji berpikir ulang masuk ke sekolah tersebut. Namun, menginjakkan kaki di sekolah itu ternyata membuatnya tak ingin meninggalkan sekolah tersebut. Kekerasan yang dialami semasa SMP seakan terpatahkan dengan hal-hal yang dilihat di sekolah ini. Pemandangan tawuran yang biasa ia lihat kini tak terlihat lagi.

Masa muda seorang Pandji pun berbarengan dengan sebuah momentum penting bagi negeri ini, peristiwa Mei 1998. Jakarta pecah. Mahasiswa turun ke jalan, menuntut Soeharto turun dari kursi kekuasaan yang telah diduduki selama 32 tahun. Ekonomi Indonesia mengalami krisis. Nilai tukar rupiah pun mencapai Rp 17.000/ dollar. Terjadi penjarahan dimana-mana. Pusat perbelanjaan hingga fasilitas umum menjadi sasaran empuk.

“Saat itu gue lagi di Bandung dan Bandung gak begitu kerasa, kita cuman ngikutin beritanya dan terasanya mencemaskan,” ujar Pandji. Saat kejadian itu ia sedang menjadi mahasiswa tingkat dua Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Bandung. Tak ada yang ia perbuat sampai akhirnya ia merasa ditampar saat ingin membayar uang kost di siang itu.

“Pandji kamu kan mahasiswa. Tolong kami. Tolong anak-anak ini.” Kata-kata itu didapat dari ibu kostnya menangis di depan televisi melihat berita kerusuhan tersebut. Pandji tergerak. Ia masuk ke kamar kemudian berpikir keras. Ia pun melihat jadwal kuliah dan menyadari bahwa apa yang ia lakukan harus sesuai dengan disiplin ilmu yang sedang dijalani. Ya. Sesuatu yang berhubungan dengan seni dan design.

Mahasiswa tingkat dua yang belagak membuat gerakan akhirnya mengajak senior-senior untuk mengadakan rapat. “Mungkin dari dulu sampe sekarang emang antusias gitu. Jadi kalo ada  ide, ya obses,” begitu Pandji mengakui sifatnya yang selalu optimis. Optimisme tersebut berhasil membuat sebuah rapat akbar. Tak banyak yang datang. Namun mereka memiliki satu tujuan.

Kampanye anti-kekerasan pun dibuat. Para mahasiswa seni ini membuat poster hingga iklan di bioskop untuk membawa satu pesan. Pesan untuk menolak kekerasan. Mereka tak bisa meredam kekerasan yang terjadi di Jakarta. Namun, mereka bisa menyelamatkan Bandung dari kekerasan. Itulah kali pertama Pandji membuat sebuah kampanye.

Di awal tahun 2000-an, Pandji masih di Bandung. Ia menemukan apa yang ia tunggu selama hidupnya saat ia membeli DVD bajakan “Robin Williams Live in Broadway”. Sebuah show stand up comedy selama hampir dua jam dan sukses membuat semua penonton tertawa.  “ Sebenernya gue udah sering ngelakuin ini di SMA nih,” pikirnya saat itu

Pandji sendiri senang melawak sejak SMA. Setiap jam pelajaran kosong ia selalu berdiri di depan kelas dan menirukan gaya guru mereka. Kalau sedang berkumpul pun seorang Pandji selalu memasang badan di depan layaknya seorang komik, sebutan untuk orang yang melakukan stand up comedy. “Jadi ada semangat setiap kejadian itu and ooh this is what I’ve been waiting of  all my life,” ujar pria yang sudah menikah dan sudah memiliki satu anak ini.

Setiap mengingat kejadian itu, ia berusaha untuk membuat sebuah pertunjukan stand up yang pada saat itu memang belum banyak dikenal masyarakat umum. Cukup panjang prosesnya hingga akhirnya ia sendiri nekat menyelipkan stand up comedy selama 30 menit di acara musik bulanan yang ia adakan. Pikirnya waktu itu yang akan menikmati juga adalah orang-orang yang senang menikmati karyanya. Kenekatan ini juga ditambah dengan mengunggah aksi stand up tersebut ke Youtube. Keinginannya hanya satu,agar orang-orang tahu bahwa budaya ini sedang berusaha eksis di Indonesia.

Lantas perjuangan Pandji beserta komika lain seperti Raditya Dika dan Soleh Solihun kini berbuah manis. Lihat saja dari tempat nongkrong, cafe di kalangan menengah atas hingga pusat perbelanjaan menyajikan aksi stand up comedy. Para komik pun kini semakin beragam. Siapapun bisa menjajal aksi ini. Tak terbatas pekerjaan maupun usia.

“Hidup dari karyanya.” Jawaban yang singkat dan jelas saya dapatkan ketika pertanyaan saya menjurus kepada kesulitan dalam menggeluti pekerjaan ini. Pandji mengaku untuk masalah penghasilan, stand up comedy bukan pekerjaan yang menjanjikan.Kesulitan lainnya hanyalah dalam hal penyampaian pesan yakni mengatur ekspektasi orang.

Tak masalah bagi Pandji ketika ada orang yang tidak setuju sama materi yang disampaikan. Mungkin bagi seseorang hal tersebut tidak lucu, namun bagi orang lain bisa saja sangat lucu. Pandji selalu ingat pula dengan prinsip yang ia dapatkan di SMA dan dibawa hingga sekarang. “Kita tidak perlu menutup perbedaan dianggap satu tetapi menerima perbedaan dan kemudian bersatu.”

Pembicaraan sore itu semakin hangat. Kedai kopi masih penuhi orang, antrian untuk membeli kopi juga masih panjang. Tapi saya masih asik mendengar dan Pandji masih asik berkisah. Ada rasa penasaran dalam diri saya. Orang yang senang berkarya ini pasti punya satu karya yang membuatnya puas dengan karya tersebut. Saya tak ragu menanyakan hal ini.

“Musik. Gue bikin acara bulanan, Twitvate Concert. Terus gue bikin konser ‘32’ di Museum Nasional. Ngeliat orang yang dateng, bersedia untuk bayar and then hapal lirik gue teriak-teriak. Dari awal, dua jam tuh konser sampe akhir. To me that’s an achievement buat seorang musisi yang dibilang gak laku,” ujar rapper yang sudah memiliki empat album ini.

Saya tergelitik. Logikanya betul juga. Musik hiphop di Indonesia tidak begitu berkembang. Rapper di Indonesia sebut saja Iwa K ataupun Saykoji sekalipun jarang ada di televisi. Lagu yang akrab di telinga masyarakat hanya satu, dua saja. Tapi bagi seorang Pandji sebuah kebanggaan baginya jika ada orang-orang yang setiap bulan rela mengeluarkan uang seratus ribu rupiah untuk Twitvate Concert. Ya, hanya untuk melihat karya-karya Pandji.

Komunitas pecinta karya Pandji sudah pula terbentuk. Mereka inilah yang menjadi pendukung setia Pandji untuk berkarya. Menurut Robin salah satu anggota di dalamnya, apapun yang dilakukan Pandji saat berkarya di bidang komersil untuk mendukung idealismenya sendiri. “Itu semua semata-mata agar Mas Pandji bisa punya modal untuk bisa berkarya independenttanpa ada distorsi dari pihak lain, sehingga karya-karyanya yg berkualitas bisa mencerdaskan bangsa indonesia,” ujar pria berusia 25 tahun ini.

Pandji tak gentar meski sampai detik ia mengakui belum bisa menemukan cara yang tepat untuk hidup dari musik hiphop. Sosoknya yang sangat optimistis akan idealisme yang ia percayai membuatnya tak lelah untuk terus berkarya. Harapannya ingin hidup dari karya musik ini, bukan dari yang lain.

Pandangan Pandji ini pun dibagikan kepada anak muda yang lain, dimana ada harapan untuk lebih baik menghasilkan karya bagi negeri sendiri dibanding menikmati karya orang lain. “Anak muda Indonesia harusnya lebih mau berkarya dibanding bekerja, mau mencipta dibanding mengkonsumsi. Menurut gue itu kuncinya sih. Kan kita ekonominya bagus, tapi kita spending mulu nih. Bagus juga sih spending, ya merupakan salah satu kekuatan ekonomi kita juga. But come on masa kita beli mulu sih ? Masa kita gak dagang ke luar ? Masa orang yang dagang ke kita ?”ujarnya meyakinkan saya bahwa harapan bagi Indonesia masih ada. Benar saja, menurut Badan Pusat Statistik jumlah wirausahawan di Indonesia hanya sebesar 0,24 % dari jumlah penduduk.

Harapannya bagi Indonesia juga tertuang jelas dalam musik dan lirik yang dibuat. Semua liriknya menceritakan semangat bagi negeri ini. Berbicara soal keindahan Indonesia ? “Lagu Melayu” nampaknya bisa mewakili. Bicara soal semangat pemuda Indonesia ? Coba dengarkan “Generasi Synergy” yang mungkin bisa membakar semangat nasionalisme kita. “Bermusik bagi gue punya dua tujuan. Satu, membuka wawasan baru. Dua, membuat mereka yang melakukan sesuatu. Kami Tidak Takut di tahun 2009 membuat mereka melakukan pergerakan,” ujar pria penyuka olahraga basket ini. Sore itu pun Pandji menjelaskan apa yang berhasil dibuat oleh lagu Kami Tidak Takut.

Pagi itu di tanggal 17 Juli 2009. Pandji masih melakukan aktivitas yang sudah digeluti sejak tahun 2001 yakni penyiar Good Morning Hardrocker Show. Sebuah acara di pagi hari di radio Hard Rock. Namun pagi itu berbeda ketika ada ledakan di Ritz Carlton dan JW Marriot. Ledakan juga terjadi di sebuah social media yang mulai eksis saat itu, Twitter. Pesan berisikan terror soal bom susulan hingga foto-foto korban tersebar dengan cepat. Maklum, social media ini mampu mengirim pesan dengan sangat cepat dan sangat mudah dilihat orang.

Kepedulian sosial yang tertanam dalam diri Pandji membuat tangannya gatal untuk tidak beraksi. Ia kesal karena lagi-lagi ketakutan dan berita buruk soal Indonesia menyebar. Jari-jarinya pun ikut meramaikan Twitter hingga akhirnya ia bersama beberapa kawan di Twitter membawakan satu pesan yang sama. Indonesia Unite. Sebuah kata asing yang berarti Indonesia Bersatu. Pesan yang miliki tujuan untuk memberi tahu dunia bahwa Indonesia masih ada dan melawan.

Saat sedang melancarkan aksi membawa berita-berita positif tentang Indonesia. Salah seorang teman membagikan link lagu yang ditulis Pandji pada 2008, Kami Tidak Takut. Saat menulis lagu itu, Pandji sendiri sedang gerah dengan pemberitaan di media soal teroris. “Banyak orang yang juga kesal kepada teroris, dan banyak orang yang ingin berteriak bahwa usaha mereka untuk menakut-nakuti Bangsa Indonesia gagal, kami tidak takut,” lanjut Pandji.

Dengan cepat kata-kata “Kami Tidak Takut” beserta liriknya tersebar di seluruh pelosok Indonesia lewat dunia maya. Gerakan untuk menyelamatkan Indonesia dari kabar buruk dan terorisme dibuat.Lirik dalam lagu itu menjadi suntikan bagi anak muda yang optimis akan bangsanya. Ternyata idealisme dan optimisme yang ia punya berhasil membuat gerakan. Tak hanya berani mengubah tetapi menjadi inspirasi bagi pemuda Indonesia lainnya.

“Kalau soal konser hiphop yang judulnya 32 itu bagaimana ?” Pertanyaan penutup yang seharusnya bisa menjawab penasaran saya sebenarnya. “Itu sebenarnya dalam rangka launching album gue yang judulnya “32”.  Pandji tersenyum dan lanjut menjawab dengan yakin “Konsep besar dari album 32 ini adalah 32 tahun rezim Soeharto yang berdampak kepada 32 tahun kehidupan gue.”

Layar hitam besar bertuliskan “32” masih terpampang jelas. Wajah Soeharto juga masih terlihat. Suara teriakan penonton masih terdengar jelas. Masih sama kerasnya. Suara drum, gitar, keyboard, bass mulai berbunyi. Mereka mengeluarkan bit bit yang membuat suara penonton semakin riuh.

Sosok pria berbaju coklat tadi naik ke atas panggung. Kini, kaos bertuliskan “32” dibalut oleh sebuah jaket merah yang ia kenakan. INDONESIA, sebuah kata yang sangat jelas tertulis di jaket merah menyala itu. Sebuah lagu mulai dimainkan, suara penonton lebih keras ketika mereka semua mulai menyuarakan “Kami Tidak Takut!”














Tidak ada komentar:

Posting Komentar