Desa
Kanekes / Baduy
Reynaldo O
11140110192
Hawa dingin mencucuk
tulang di dampingi tetesan air hujan yang jatuh sedikit demi sedikit dari atap
daun jerami yang kering saat saya sampai disebuah desa Gazeboh Baduy Luar.
Pepohonan seakan bernyanyi riang saat dihempaskan oleh tiupan angin yang
membuat seluruh tubuh terasa menjadi dingin, hawa dingin di Baduy berasal dari memang perkampungan di Baduy
terletak di bukit dan gunung yang masih terletak didalam hutan jauh dari
sentuhan tangan-tangan jahil dan memiliki ketinggian 500 meter diatas permukaan
laut.
Pemandangan, hawa
sejuk, suasana tentram dan damai terbayar lunas setelah melewati perjalanan 4
jam dari kampus menggunakan sepeda motor dan 1 jam mendaki melewati track-track
yang cukup rumit bagi seorang awam hiking, karena untuk masuk kedalam desa di
Baduy harus berjalan kaki melewati beberapa bukit, saya menginap di desa
Gazeboh Baduy Luar yang berjarak 8km dari pintu masuk ke Desa Baduy, perjalanan
cukup sulit karena track yang dilalui masih tanah berbatu dengan hujan gerimis
yang membuat jalan jadi licin sehingga beberapa kali saya terjatuh dan membuat
seluruh pakaian menjadi kotor, dengan memikul tas yang cukup berat ditambah
barang bawaan ditangan untuk oleh-oleh kepada orang dirumah yang saya akan
tinggali membuat perjalanan menjadi terasa berat.
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui
adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten
Lebak, Banten . Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka
merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu
mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah
Baduy dalam. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh
penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para
peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah
karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari
wilayah tersebut. (wikipedia-indonesia)
Karena di Baduy mereka
sehari-hari nya menggunakan bahasa Sunda yang kental dan kurang fasih dalam
berbahasa Indonesia saya sering mengalami sedikit kesulitan dalam berkomunikasi
dengan mereka, saya tinggal di rumah kediaman Pak Uncal seorang warga desa
Cibolager yang kesehariannya bekerja di ladang, memang hampir seluruh
masyarakat di Baduy bermata pencarian di ladang milik mereka sendiri.
Pak Uncal memiliki
postur badan yang cukup tinggi berkulit sawo matang dan bermata bulat, dengan
usia yang sudah menginjakan umur 66 Pak Uncal masih kuat mengurus sawah milik
keluarganya sendiri, Pak Uncal memiliki seorang istri dan 3 orang anak 2
perempuan dan 1 laki-laki. Anak perempuan Pak Uncal yang pertama sudah menikah
dan tinggal ditempat suaminya yang juga dekat dengan rumah Pak Uncal, adat suku
Baduy masih menolak pendidikan sehingga anak-anak desa Baduy tidak sekolah dan
banyak sekali dari mereka yang buta huruf.
Namun Pak Uncal sendiri mempunyai handphone yang diaktifkannya saat di
ladang, karena hanya di ladang lah yang mendapatkan sinyal, ladang tersebut
terletak sekitar 1km dari rumahnya dan ladang tersebut berada diatas bukit.
Di desa Cibolager
terdapat tempat yang menjadi tujuan turis-turis baik wisatawan asing ataupun
domestik karena di desa tersebut terdapat sebuah jembatan gantung yang terbuat
dari akar dan bambu yang melintasi sebuah sungai, di jembatan inilah banyak
wisatawan yang berkunjung mengabadikan fotonya di jembatan tersebut karena
cukup unik.
Di Baduy tidak ada yang
namanya toilet/mck mereka sepenuhnya masih menggunakan sungai untuk keperluan
tersebut karena menurut mereka sungai yang melintasi desa mereka adalah berkah
dari yang maha kuasa harus dijaga dan dipergunakan dengan baik, sungai-sungai
di Baduy
Desa Baduy/Desa Kanekes
selain dikenal sebagi objek wisata observasi juga menyimpan banyak misteri
tentang asal usul orang-orang Baduy, saya yang masih awam banyak bertanya
kepada Pak Uncal, saya pernah mendengar bahwa asal-usul orang Baduy adalah para
prajurit Padjajaran yang saat kerajaan nya diserang oleh Kerajaan Majapahit
melarikan diri kesana dan menetap sehingga munculah orang-orang Baduy, namun
setelah saya bertanya demikian Pak Uncal menyangkalnya, dia menjelaskan bahwa
orang-orang Baduy sudah aja sejak lama sebelum para prajurit Padjajaran datang,
memang menurut moyang kami ada sekelompok prajurit Padjajaran yang kesini namun
kami bukanlah berasal dari mereka, kami sudah ada sebelum mereka datang.
Orang-orang Baduy
terkenal ramah dan baik-baik ini terbukti ketika saya hendak menghabiskan waktu
sore hari yang sejuk dengan menonton para anak-anak laki-laki bermain bola saya
diajak mereka bermain dengan perlengkapan seadanya mereka dengan mahir
memainkan bola yang terbuat dari plastik yang dibeli ketika mereka keluar dari
perkampungan mereka.
Baduy anak-anak sejak muda sudah diajari untuk
bekerja baik itu bekerja diladang ataupun bekerja mencari kayu-kayu bakar
sebagai bahan bakar untuk memasak,
bahkan anak-anak usia 6 tahun pun sudah ikut orangtua nya ke ladang dan
membantu memanen hasil tani, ada juga yang sudah membantu membawakan hasil
panen ke pasar yang terletak di Desa Cibolager yang merupakan pintu awal
memasuki kampung Baduy yang berjarak 8 km dari desa Gazeboh tempat mereka
tinggal.
Menyempatkan diri
memasuki kawasan Baduy Dalam yaitu Desa Cibeo dari tempat saya menginap
perjalanan menempuh waktu kurang lebih 2 jam, track yang dilalui pun cukup
sulit karena harus naik turun bukit, di Desa Cibeo yang merupakan Baduy Dalam
peralatan modern tidak diperbolehkan disini sesuai dengan adat istiadat mereka
yang masih memegang penuh unsur tradisional, sehingga kamera saya pun saya
taruh di tempat saya menginap di Baduy Dalam para penduduknya berpakaian serba
putih dengan ikat kepala putih beda dengan Baduy Luar yang biasa memakai
pakaian bewarna hitam, dan laki-laki di Baduy Dalam tidak menggunakan celana
melainkan menggunakan kain sarung yang dililitkan sehingga terlihat seperti
rok.
Pada bulan tertentu
masyarakat luar tidak boleh memasuki Baduy Dalam yaitu saat Bulan Kawalu, Bulan
Kawalu adalah bulan suci bagi masyarakat Kampung Baduy, Bulan Kawalu adalah
bulan disaat para masayarakat Kampung Baduy memanen hasil panen nya dan
biasanya setiap masyarakat Kampung Baduy Dalam yaitu Desa Cibeo, Cikertawarna,
dan Cikeusik mengumpulkan hasil panen nya kemudian di doakan oleh para Puun
atau pemimpin adat Baduy Dalam dari ketiga kampung tersebut, para masyarakat
Baduy Dalam juga pada bulan tersebut tidak diperbolehkan meninggalkan kampung
mereka.
Tidak sekedar tempat tinggal biasa bagi
masyarakat suku Baduy Dalam, lebih dari itu. Terdapat nilai-nilai luhur warisan
nenek moyang mereka yang harus di lestarikan dan di perhatikan. Suku baduy
dalam sangat yakin bahwa daerah yang mereka tinggali sekarang, daerah
pegunungan Kendeng adalah pusat alam semesta. Sehingga salah satu tradisi suku
Baduy Dalam mengolah tanahnya yaitu menghindari mengolah tanah menggunakan
cangkul. (http://sukubaduydalam2.blogspot.com)
Selain itu rumah-rumah
di Baduy Dalam dibangun sesuai dengan tekstur tanah itu sendiri mereka tidak
meratakan tanahnya seringkali kita jumpai rumah-rumah tersebut tidak rata,
kemudia mereka juga tidak memperdulikan jendela sehingga tidak ada jendela
dirumah suku Baduy Dalam menurut mereka jendela yang berfungsi sebagai
pertukaran ventilasi sudah tergantikan dengan lantai bangunan rumah panggung
mereka yang terbuat dari bambu. Kemudian didalam rumah mereka terdapat
bagian-bagian tempat tamu menginap disebut sosoro biasanya mereka melarang orang
asing memasuki wilayah kedalam rumah karena dianggap memabawa pengaruh buruk
dari luar sehingga biasanya tamu diperuntukan ruangan tengah atau yang lebih
dikenal dengan nama sosoro.
Dalam mendirikan sebuah
rumah hampir seluruh warga kampung bergotong-royong membantu dan saat saya
datang ke Desa Cibeo saya beruntung melihat mereka membangun sebuah rumah baru,
mereka sama sekali tidak menggunakan paku untuk merapatkan bambu-bambu yang
digunakan sebagai pondasi melainkan hanya menggunakan ikatan rotan, dan atap
mereka terbuat dari daun kelapa dan ijuk yang dikeringkan mereka tidak
menggunkan genting untuk atap rumah karena mereka beranggapan sama saja
mengubur diri sendiri karena genting terbuat dari tanah, dan tanah digunakan
untung mengubur orang mati saja, mereka menggap rumah itu tempat suci sehingga
tanah tidak boleh berada diatas rumah, namun saya pun heran jika bangunan yang
mereka kerjakan itu dapat bertahan selama 20-30 tahun, masyarakat Baduy Dalam
juga memegang agama Sunda Wiwitan agama yang diwariskan secara turun menurun.
Satu
hari di Baduy Dalam saya kembali menuju tempat saya tinggal yaitu di Desa
Gazeboh, saya berusaha berkomunikasi ke Pak Uncal menanyakan tentang apa yang
sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat Baduy sebagai warga negara Indonesia, ketika
saya menanyakan hal itu dia menjawab sebenarnya yang masih mereka keluhkan
adalah agama mereka (Sunda Wiwitan) tidak masuk dalam agama yang diakui di
Indonesia dan oleh karena itu banyak dari mereka yang mempunyai kartu tanda
penduduk berisi agama Islam ataupun Hindu.
Panasnya matahari tidak terasa menyengat lewat sela
sela dedaunan pohon yang mengiringi perjalanan saya kembali ke Desa Cibolager
tempat saya menitipkan sepeda motor, Pak Uncal terlihat jalan lebih dahulu
memimpin sebagai pemandu jalan saya, perjalanan pulang kali ini pun sama dengan
perjalanan saat datang kondisi gerimis tanah yang becek membuat jalan bukit
yang licin dengan batuan-batuan yang tajam bagi siapapun yang jatuh
mengenainya, saat saya berpisah Pak Uncal mengoleh-olehkan madu hasil dari
Baduy murni untuk saya, “ Jangan lupa kalo ada waktu datang lagi saya menunggu “
begitu kata-katanya yang masih saya ingat. Perjalanan observasi panjang dengan
kehidupan sederhana jauh dari keramaian kota begitu melegakan jiwa siapapun
yang datang kesana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar