Rabu, 19 Juni 2013

Desa Kanekes / Baduy


Desa Kanekes / Baduy
Reynaldo O
11140110192
Hawa dingin mencucuk tulang di dampingi tetesan air hujan yang jatuh sedikit demi sedikit dari atap daun jerami yang kering saat saya sampai disebuah desa Gazeboh Baduy Luar. Pepohonan seakan bernyanyi riang saat dihempaskan oleh tiupan angin yang membuat seluruh tubuh terasa menjadi dingin, hawa dingin di Baduy  berasal dari memang perkampungan di Baduy terletak di bukit dan gunung yang masih terletak didalam hutan jauh dari sentuhan tangan-tangan jahil dan memiliki ketinggian 500 meter diatas permukaan laut.
Pemandangan, hawa sejuk, suasana tentram dan damai terbayar lunas setelah melewati perjalanan 4 jam dari kampus menggunakan sepeda motor dan 1 jam mendaki melewati track-track yang cukup rumit bagi seorang awam hiking, karena untuk masuk kedalam desa di Baduy harus berjalan kaki melewati beberapa bukit, saya menginap di desa Gazeboh Baduy Luar yang berjarak 8km dari pintu masuk ke Desa Baduy, perjalanan cukup sulit karena track yang dilalui masih tanah berbatu dengan hujan gerimis yang membuat jalan jadi licin sehingga beberapa kali saya terjatuh dan membuat seluruh pakaian menjadi kotor, dengan memikul tas yang cukup berat ditambah barang bawaan ditangan untuk oleh-oleh kepada orang dirumah yang saya akan tinggali membuat perjalanan menjadi terasa berat.
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten . Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. (wikipedia-indonesia)
Karena di Baduy mereka sehari-hari nya menggunakan bahasa Sunda yang kental dan kurang fasih dalam berbahasa Indonesia saya sering mengalami sedikit kesulitan dalam berkomunikasi dengan mereka, saya tinggal di rumah kediaman Pak Uncal seorang warga desa Cibolager yang kesehariannya bekerja di ladang, memang hampir seluruh masyarakat di Baduy bermata pencarian di ladang milik mereka sendiri.
Pak Uncal memiliki postur badan yang cukup tinggi berkulit sawo matang dan bermata bulat, dengan usia yang sudah menginjakan umur 66 Pak Uncal masih kuat mengurus sawah milik keluarganya sendiri, Pak Uncal memiliki seorang istri dan 3 orang anak 2 perempuan dan 1 laki-laki. Anak perempuan Pak Uncal yang pertama sudah menikah dan tinggal ditempat suaminya yang juga dekat dengan rumah Pak Uncal, adat suku Baduy masih menolak pendidikan sehingga anak-anak desa Baduy tidak sekolah dan banyak sekali dari mereka yang buta huruf.  Namun Pak Uncal sendiri mempunyai handphone yang diaktifkannya saat di ladang, karena hanya di ladang lah yang mendapatkan sinyal, ladang tersebut terletak sekitar 1km dari rumahnya dan ladang tersebut berada diatas bukit.
Di desa Cibolager terdapat tempat yang menjadi tujuan turis-turis baik wisatawan asing ataupun domestik karena di desa tersebut terdapat sebuah jembatan gantung yang terbuat dari akar dan bambu yang melintasi sebuah sungai, di jembatan inilah banyak wisatawan yang berkunjung mengabadikan fotonya di jembatan tersebut karena cukup unik.
Di Baduy tidak ada yang namanya toilet/mck mereka sepenuhnya masih menggunakan sungai untuk keperluan tersebut karena menurut mereka sungai yang melintasi desa mereka adalah berkah dari yang maha kuasa harus dijaga dan dipergunakan dengan baik, sungai-sungai di Baduy
Desa Baduy/Desa Kanekes selain dikenal sebagi objek wisata observasi juga menyimpan banyak misteri tentang asal usul orang-orang Baduy, saya yang masih awam banyak bertanya kepada Pak Uncal, saya pernah mendengar bahwa asal-usul orang Baduy adalah para prajurit Padjajaran yang saat kerajaan nya diserang oleh Kerajaan Majapahit melarikan diri kesana dan menetap sehingga munculah orang-orang Baduy, namun setelah saya bertanya demikian Pak Uncal menyangkalnya, dia menjelaskan bahwa orang-orang Baduy sudah aja sejak lama sebelum para prajurit Padjajaran datang, memang menurut moyang kami ada sekelompok prajurit Padjajaran yang kesini namun kami bukanlah berasal dari mereka, kami sudah ada sebelum mereka datang.
Orang-orang Baduy terkenal ramah dan baik-baik ini terbukti ketika saya hendak menghabiskan waktu sore hari yang sejuk dengan menonton para anak-anak laki-laki bermain bola saya diajak mereka bermain dengan perlengkapan seadanya mereka dengan mahir memainkan bola yang terbuat dari plastik yang dibeli ketika mereka keluar dari perkampungan mereka.
 Baduy anak-anak sejak muda sudah diajari untuk bekerja baik itu bekerja diladang ataupun bekerja mencari kayu-kayu bakar sebagai  bahan bakar untuk memasak, bahkan anak-anak usia 6 tahun pun sudah ikut orangtua nya ke ladang dan membantu memanen hasil tani, ada juga yang sudah membantu membawakan hasil panen ke pasar yang terletak di Desa Cibolager yang merupakan pintu awal memasuki kampung Baduy yang berjarak 8 km dari desa Gazeboh tempat mereka tinggal.
Menyempatkan diri memasuki kawasan Baduy Dalam yaitu Desa Cibeo dari tempat saya menginap perjalanan menempuh waktu kurang lebih 2 jam, track yang dilalui pun cukup sulit karena harus naik turun bukit, di Desa Cibeo yang merupakan Baduy Dalam peralatan modern tidak diperbolehkan disini sesuai dengan adat istiadat mereka yang masih memegang penuh unsur tradisional, sehingga kamera saya pun saya taruh di tempat saya menginap di Baduy Dalam para penduduknya berpakaian serba putih dengan ikat kepala putih beda dengan Baduy Luar yang biasa memakai pakaian bewarna hitam, dan laki-laki di Baduy Dalam tidak menggunakan celana melainkan menggunakan kain sarung yang dililitkan sehingga terlihat seperti rok.
Pada bulan tertentu masyarakat luar tidak boleh memasuki Baduy Dalam yaitu saat Bulan Kawalu, Bulan Kawalu adalah bulan suci bagi masyarakat Kampung Baduy, Bulan Kawalu adalah bulan disaat para masayarakat Kampung Baduy memanen hasil panen nya dan biasanya setiap masyarakat Kampung Baduy Dalam yaitu Desa Cibeo, Cikertawarna, dan Cikeusik mengumpulkan hasil panen nya kemudian di doakan oleh para Puun atau pemimpin adat Baduy Dalam dari ketiga kampung tersebut, para masyarakat Baduy Dalam juga pada bulan tersebut tidak diperbolehkan meninggalkan kampung mereka.
 Tidak sekedar tempat tinggal biasa bagi masyarakat suku Baduy Dalam, lebih dari itu. Terdapat nilai-nilai luhur warisan nenek moyang mereka yang harus di lestarikan dan di perhatikan. Suku baduy dalam sangat yakin bahwa daerah yang mereka tinggali sekarang, daerah pegunungan Kendeng adalah pusat alam semesta. Sehingga salah satu tradisi suku Baduy Dalam mengolah tanahnya yaitu menghindari mengolah tanah menggunakan cangkul. (http://sukubaduydalam2.blogspot.com)
Selain itu rumah-rumah di Baduy Dalam dibangun sesuai dengan tekstur tanah itu sendiri mereka tidak meratakan tanahnya seringkali kita jumpai rumah-rumah tersebut tidak rata, kemudia mereka juga tidak memperdulikan jendela sehingga tidak ada jendela dirumah suku Baduy Dalam menurut mereka jendela yang berfungsi sebagai pertukaran ventilasi sudah tergantikan dengan lantai bangunan rumah panggung mereka yang terbuat dari bambu. Kemudian didalam rumah mereka terdapat bagian-bagian tempat tamu menginap disebut sosoro biasanya mereka melarang orang asing memasuki wilayah kedalam rumah karena dianggap memabawa pengaruh buruk dari luar sehingga biasanya tamu diperuntukan ruangan tengah atau yang lebih dikenal dengan nama sosoro.
Dalam mendirikan sebuah rumah hampir seluruh warga kampung bergotong-royong membantu dan saat saya datang ke Desa Cibeo saya beruntung melihat mereka membangun sebuah rumah baru, mereka sama sekali tidak menggunakan paku untuk merapatkan bambu-bambu yang digunakan sebagai pondasi melainkan hanya menggunakan ikatan rotan, dan atap mereka terbuat dari daun kelapa dan ijuk yang dikeringkan mereka tidak menggunkan genting untuk atap rumah karena mereka beranggapan sama saja mengubur diri sendiri karena genting terbuat dari tanah, dan tanah digunakan untung mengubur orang mati saja, mereka menggap rumah itu tempat suci sehingga tanah tidak boleh berada diatas rumah, namun saya pun heran jika bangunan yang mereka kerjakan itu dapat bertahan selama 20-30 tahun, masyarakat Baduy Dalam juga memegang agama Sunda Wiwitan agama yang diwariskan secara turun menurun.
            Satu hari di Baduy Dalam saya kembali menuju tempat saya tinggal yaitu di Desa Gazeboh, saya berusaha berkomunikasi ke Pak Uncal menanyakan tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat Baduy sebagai warga negara Indonesia, ketika saya menanyakan hal itu dia menjawab sebenarnya yang masih mereka keluhkan adalah agama mereka (Sunda Wiwitan) tidak masuk dalam agama yang diakui di Indonesia dan oleh karena itu banyak dari mereka yang mempunyai kartu tanda penduduk berisi agama Islam ataupun Hindu.
Panasnya matahari tidak terasa menyengat lewat sela sela dedaunan pohon yang mengiringi perjalanan saya kembali ke Desa Cibolager tempat saya menitipkan sepeda motor, Pak Uncal terlihat jalan lebih dahulu memimpin sebagai pemandu jalan saya, perjalanan pulang kali ini pun sama dengan perjalanan saat datang kondisi gerimis tanah yang becek membuat jalan bukit yang licin dengan batuan-batuan yang tajam bagi siapapun yang jatuh mengenainya, saat saya berpisah Pak Uncal mengoleh-olehkan madu hasil dari Baduy murni untuk saya, “ Jangan lupa kalo ada waktu datang lagi saya menunggu “ begitu kata-katanya yang masih saya ingat. Perjalanan observasi panjang dengan kehidupan sederhana jauh dari keramaian kota begitu melegakan jiwa siapapun yang datang kesana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar