Rabu, 19 Juni 2013

DUKUNGAN SEDERHANA UNTUK SANG PEJUANG HIDUP


“Enggak, aku gak pernah menyesal atau kecewa sama Tuhan walaupun keadaan aku seperti ini.” 


Fransisca atau sisca, gadis berkulit gelap dan berambut hitam ikal. Mempunyai tahi lalat di atas bibir kanannya. Pipi bulatnya sering terangkat seiring senyumnya yang mengembang saat menyapa kami atau membalas candaan kami. Tingginya tak lebih dari 160 cm, mata belonya bersinar kala mendengar berbagai candaan yang kulepas mengenai hidung peseknya saat berkunjung ke rumahnya dua tahun lalu.
 
ki-ka: Mona, Sisca, Jessica (Jeju), Hellen saat merayakan ulangtahun Hellen saat SMA

Saat aku berkunjung ke rumahnya awal bulan Juni lalu keadaannya sungguh berbeda, tubuhnya sungguh kurus, berat badannya habis untuk melawan penyakit yang memaksanya cuci darah dua kali dalam seminggu. Rumahnya berada tepat di belakang komplek megah sekolah tempat ibunya mencari nafkah. Sebuah rumah kecil, yang mempunyai dua lantai. lantai dua yang tak berubin, berupa kayu yang dialasi karpet tempat untuk berpijak. Aku berjengit ngeri mendengar suara debaman keras ketika ada yang berjalan di atas, membayangkan lantai kayu itu tak kuat menopang beban dan akhirnya rubuh. 
 

Ia langsung mengambil posisi duduk ketika aku datang, di depan pintu rumah sempat bertemu dengan ibunya dan sedikit berbasa-basi sebelum akhirnya masuk. Ia sempat menawari teh, namun aku menolaknya.


“Ayolah, kerjaan aku pagi-siang-sore cuma bikin teh nih. Kamu mau gak? Itung-itung ngasi aku kerjaan.” candanya saat aku menolak suguhan sederhananya.

Kulihat lengannya yang kini hanya tulang berbalut kulit. Kedua lengannya bengkak dan juga penuh dengan balutan kasa dan plester, ia baru saja cuci darah beberapa waktu lalu. 


“Aku cuci darahnya seminggu dua kali, hari Senin ama hari Kamis. Aku gak boleh makan kacang-kacangan, daging-dagingan, telur, kepiting, jahe. Termasuk kecap, tempe. Makanan yang bisa aku makan terbatas, jadi udah gak bisa makan bebas kayak dulu lagi. Udah gak pernah makan krim sup yang dulu sering kita bikin sama-sama”  ceritanya sambil melempar senyuman.   

Fransisca Dwi Ratna, nama lengkapnya. Gadis yang berjuang menahan sakit. Saat itu pipinya bengkak dan melebar, hingga membuat hidungnya makin terlihat tenggelam di antara dua pipi yang menggelembung bak balon. Penyakit itu jugalah yang membuatnya berada di ambang kematian dan merubah seluruh hidupnya. Penyakit yang menyerangnya beberapa saat setelah lulus sekolah menengah atas yang membuatnya harus memasuki babak baru dalam kehidupannya, memasuki ujian hidup yang tak semua orang mampu mengalaminya. Ia bukan berasal dari keluarga kaya, hanya anak dari seorang karyawan sekolah, office girl di sekolah kami.


Aku melayangkan pandangan pada ruang tamu rumahnya yang kini beralih fungsi menjadi kamar tempat ia tidur. Matras besar yang ditaruh di atas karpet merah lusuh karena usia. Matras itu tak berseprai dan juga terdapat selimut tebal bermotif kembang-kembang. Berbagai alat makan tergeletak tepat di sebelah matras. Pintu masuk rumah yang dibuka menyorotkan sinar matahari pagi ke lantai rumah. Aku duduk di atas karpet membelakangi TV yang menyala menayangkan FTV pagi yang tidak kami tonton.
 
“Aku dikasi PR nih, suruh bikin puisi sampe binder ini penuh.” Katanya sambil menunjukkan binder baru dengan kertas-kertas yang masih kosong. 
 

“Aku sampai dibeliin buku panduan buat bikin puisi.” Lanjutnya mengeluarkan buku yang tidak terlalu tebal dari kresek berlambang salah satu toko buku terkenal. Ia diberi tugas membuat puisi oleh orang yang membiayainya berobat. Ia memang gemar menulis, tapi menulis cerita pendek atau cerita bersambung semasa SMA. Mungkin tugas yang diberi oleh dermawan itu dimaksudkan untuk membangkitkan semangatnya lagi. Agar tak selalu diam berpangku tangan di rumah. Setidaknya dengan menulis bisa membuatnya melupakan rasa sakitnya. 

keadaan terakhir Sisca Juni 2013

Hidupnya tidaklah mudah, namun penyakitnyalah yang menjadi titik balik dari kehidupannya .

Semasa SMP ia dipanggil anak babu dan mulai dijauhi teman-teman yang lain, dia selalu sendiri. Hanya segelintir orang yang mau menjadi temannya. Dia dinilai aneh dan berlebihan atau lebay oleh orang lain termasuk beberapa guru. Bahkan waktu tahun pertama SMA saat pertama kali berkenalan dengannya dan mulai saling melempar sapaan, beberapa orang berkata padaku untuk menjauhinya karena ia adalah orang yang aneh dan lebay. Namun ia terlihat ramah dan tak bermasalah, walau terkadang sedikit sikapnya berlebihan. Masa SMA dijalaninya walau dengan teman yang sedikit, ia tak bisa menjalani masa SMA yang menyenangkan karena harus mendengar berbagai cacian yang ditujukan padanya. Tak banyak yang dapat kulakukan, sebagai seorang gadis SMA yang tidak ingin dibenci teman-temannya hanya bisa tersenyum miris ketika mendengar orang lain mencacinya. Menyemangatinya melalui kata-kata penguatan yang memintanya untuk tidak mendengarkan perkataan mereka. Sosok yang mudah menangis untuk hal-hal yang sering tak dimengerti, namun bisa menjadi sosok yang tegar saat menghadapi berbagai cacian di sekolah. 


Sisca sering mengantuk di kelas dan sering ditegur oleh guru-guru. Pekerjaaannya di malam hari yang memaksanya untuk tidur lebih sedikit dibandingkan orang lain, menjadi operator di warnet dilakoninya selama dua tahun untuk membantu orangtuanya. Ia bukan sosok yang cemerlang di sekolah, tergolong anak yang sedang-sedang saja. Sesekali ia dibantu beberapa temannya untuk kembali menjelaskan beberapa pelajaran atau materi yang tak ia mengerti. Kesulitannya pada pelajaran cukup membuatnya sport jantung mendekati pengumuman kelulusan, dia merasa bahagia ketika akhirnya bisa lulus dengan nilai yang cukup memuaskannya.

Gedung sekolah tiga tingkat yang baru di cat itu tampak mentereng. Lapangan basket masih dipenuhi beberapa anak yang nampak memantulkan bola merah dan memasukkannya ke dalam ring. Di seberang lapangan, kantin kecil yang menjual beragam aneka jajanan sekolah itu tampak masih dipenuhi beberapa orangtua dan anak yang jajan atau hanya sekedar duduk di pinggiran pot yang cukup tebal yang sudah diubin. Gedung sekolah terdiri atas SD di lantai satu SMP di lantai dua dan lantai paling atas diperuntukkan untuk SMA. Dibalik gedung panjang itu juga terdapat komplek gedung lain yang masih berasal dari yayasan sekolah yang sama. 



Sekolah dimana Sisca dulu menuntut ilmu. Kaki ini melangkah memasuki gedung sekolah, kemudian menaiki tangga menuju lantai tiga. Berniat menemui Ibu Agustin atau biasa dipanggil bundo oleh Sisca, bekas wali kelas Sisca yang memang sangat dekat dengannya. Tak butuh waktu lama bagi saya hingga akhirnya bertemu Bu Agustin, sedikit berbincang sampai akhirnya mengutarakan niat saya mewawacarai beliau untuk menulis tentang Sisca.


“Saya merinding lho denger kamu mau menulis tentang dia” ujar Bu Agustin sambil memeluk lengannya sendiri. Bulu romanya merebak, dan ia terus mengucapkan hal yang sama. Bu Agustin membimbing saya untuk memasuki ruang kelas terdekat dan memulai wawancara.

“Sisca itu sosok yang berani beda. Saya menjadi wali kelas nya untuk XI IPS 3. Dia berani berkata tidak walaupun semua orang berkata ya. Berani, walaupun akhirnya hanya dia sendiri yang menentang ide dari teman-teman yang lainnya.” Buka guru Bahasa Indonesia itu begitu yakin mengucapkan kalimatnya. 


Aku mengangguk setuju, teringat peristiwa dua tahun lalu.

Kala itu berada di kelas tiga. Kami berada di kelas yang sama dan duduk berdekatan. XII IPS 3, kelas yang anak-anaknya cukup kompak.

Semester dua di kelas tiga merupakan saat dimana siswa SMA benar-benar kenyang dengan ujian yang diberikan oleh sekolah. Menjalani berbagai ujian dan PRA UN cukup menguras tenaga dan otak. Lima kali PRA UN sungguh membuat jengah ditambah lagi kelas regular setelah ujian sampai jam pulang sekolah. Beberapa anak mengutarakan idenya untuk membolos kelas setelah ujian. Tak butuh waktu lama bagi anak-anak lainnya untuk menyetujuinya, hingga keputusan kelas ditetapkan untuk semua anak membolos tanpa terkecuali. Tapi hanya dia dengan berani berkata tidak dan menolak secara terang-terangan untuk ikut membolos. Walaupun aku membujuknya untuk ikut membolos namun ia tetap menolaknya,

“Aku gak ikut bolos, gak akan bisa. Kalau nanti ketahuan sama mama bisa mampus.”
Alasan itu membuat kami berhenti membujuknya ikut membolos bersama mengingat ibunya bekerja di sekolah kami.
 
Ibu Agustin memandang mata saya sambil berkata, “Dia itu kreatif, dia mau menulis cerita kelas untuk dimasukkan ke yearbook padahal teman-teman yang lain itu cuek sama yearbook. Dia mau membuat mading sendirian yang akhirnya dibantu beberapa teman walaupun ia tidak diperdulikan oleh sebagian anak di kelas kami waktu itu. Sampai akhirnya kelas XI IPS 3 bisa juara mading kelas waktu itu. Dia telaten guntingin pola satu-satu ditempel di karton, guntingin huruf dan hiasan-hiasan lain. Semua ide awalnya dari dia.”


“Beberapa guru juga kurang menyukai Sisca, karena beberapa menilai Sisca itu tidak mau berusaha dan minta dikasihani. Berlebihan, bahkan dinilai cukup merepotkan.” Lanjutnnya sambil melipat tangannya di atas meja.

“Saya mencoba melihat sisi positif dari semua sikap dia. Walaupun beberapa guru tidak menyukainya termasuk wali kelasnya di tingkat lain sekalipun, tapi dia punya sisi lain di balik semua sikapnya.”
Matanya menerawang ke arah papan tulis sambil bercerita. 

“Sisca itu beda, dia gak bisa dikerasin. Butuh sikap yang beda untuk menghadapi dia. Karena sadar atau tidak sadar yang membentuk dirinya seperti itu juga merupakan buah dari semua sikap yang selama ini ditujukkan orang-orang pada Sisca.”
 Guru yang telah mengajar selama lebih dari 13 tahun itu mengalihkan pandangannya kembali padaku dan melanjutkan ceritanya. “Walaupun ia terlibat dalam acara perlombaan mading antar kelas, tapi dia itu tetap tidak dianggap oleh teman-teman sekelasnya waktu itu. Yang saya kagumi, dia tetap bisa bertahan dengan segala perlakuan yang tidak mengenakkan itu.”

Bu Agustin juga guru yang sering mendengar segala keluh kesah dari Sisca walaupun sudah tidak lagi menjadi wali kelasnya. 


Selain masalah di sekolah, dia juga sering menceritakan berbagai masalah yang sering ia alami saat di rumah. Sisca sering merasa kalau kakaknya lebih disayang orangtuanya.

Namun dibalik semua ketegarannya, ia juga seorang gadis SMA yang butuh teman. Sepulang sekolah kami sering berkunjung ke rumahnya untuk sekedar bermain dan menunggu untuk dijemput. Dia benar-benar menghargai arti pertemanan dan persahabatan, dia bahkan mengajari kami arti dari persahabatan. Tak banyak yang diharapkannya, hanya kehidupan yang layak dan teman-teman yang dapat dijadikannya sandaran juga mencurahkan segala pilunya.

Kami melakukan banyak hal bersama, banyak hal yang cukup memalukan dan dinilai gila. Bersama Jessica yang biasa dipanggil Jeju kami bahkan mengukur panjang hidung, lebar mata, lebar bibir, dan panjang muka. Kami bahkan sengaja membuat candaan mengenai hidungnya yang pesek. Kami memencet hidung satu sama lain dan memencet hidung Sisca lebih lama, dan ternyata di pucuk hidungnya itu tidak ada tulangnya dan itu membuat kami tertawa bersama dan terus memencet hidungnya lebih lama.Semua hasil ukuran pun akhirnya dicatat di selembar kertas yang masih disimpan sampai sekarang. Kami sering juga pergi karaoke bersama, menyanyi berbagai macam genre lagu. Dari KPOP sampai dangdut, tak lupa kami bergoyang mengikuti irama lagu. Cengkok dangdut yang dibuat-buat itu sungguh membuat telinga iritasi. Berbagai macam goyangan ala penyanyi dangdut yang saat itu sedang ramai diperbincangkan kami coba dalam ruangan pengap karaoke yang kami sewa. Berbagai kejadian lucu yang disengaja maupun tak disengaja itu masih segar di ingatanku.

Aku mendengar helaan napas yang berasal dari Bu Agustin tanda ia siap melontarkan kalimat baru.

“Dia itu butuh dukungan. Dukungan keluarga dan teman-temannya.” Tutup Bu Agustin

Di akhir wawancara, Bu Agustin menulis pesan-pesan yang diperuntukkan untuk Sisca di kertas yang telah kusediakan.

Bu Agustin kembali menegaskan bahwa dukungan moril itu sangat diperlukan bagi proses penyembuhan Sisca.

Ironis, ia bukan dari keluarga berada. Hanya anak dari seorang office girl yang bahkan turut bekerja membantu perekonimian keluarganya. Namun ia harus terkena penyakit yang membuatnya tak berdaya.


Penyakit yang hampir merenggut nyawanya. Penyakit itu bahkan pernah membuatnya koma selama satu hari dan membuat jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik. Namun Tuhan masih ingin memanjangkan usianya.
 “Mama nangis-nangis waktu aku koma. Terus waktu itu aku sempet dinyatakan meninggal karena salah penanganan dari pengobatan alternatif mama juga nangis-nangis. Terus aku gak dibawa ke pengobatan alternatif lagi.” kembali kuingat ceritanya saat aku mengunjunginya.

Gadis 21 tahun itu merupakan pribadi yang hangat, murah senyum, blak-blakan dan aktif. Kala ia divonis mengidap penyakit gagal ginjal ia hanya pasrah, bohong jika ia tulus menerima keadaan tubuhnya yang tak lagi sama. Orangtuanya menangis keras, ia hanya diam. Tak berkata-kata, “Waktu divonis ya aku Cuma bisa diam, mau dibilang ikhlas juga gak bisa. Aku diam karena aku pasrah.”



Berita mengenai penyakit yang dideritanya tersebar hingga ke sekolah dan didengar oleh guru-guru yang simpati dan menjenguknya saat diopname. Hanya ada kata-kata penguatan dan aliran simpati yang diterimanya.
 Mentalnya sempat down, semangat hidupnya tak lagi tinggi. Dengan penyakit yang bersarang di tubuhnya itu membuatnya tak mampu beraktifitas seperti biasa. Merasa lemah dan tak berguna. Sanak saudara, kenalan, dan teman datang silih berganti untuk menjenguknya dan memberinya dukungan.

Waktu penyakit itu belum datang di kehidupannya, ia sering kali merasa tidak puas dan merasa kekurangan kasih sayang. Merasa tak disayang dan tak diperhatikan. Jarang berbincang akrab walaupun satu rumah, hanya berbincang seperlunya. Namun saat ini ia merasakan betapa orangtuanya menyayanginya, mereka bertambah dekat dan ia pun menghapus pikiran buruknya tentang orangtuanya. “Kalau aku gak sakit kayak sekarang, mungkin aku gak tau betapa besar rasa sayang orangtua ke aku.” Ia menarik kesimpulan dari ceritanya.


“Kamu kalo minum itu duduk, jangan berdiri. Nanti kena gagal ginjal” kalimat singkat yang sarat akan perhatian dan ketulusan itu terlontar dari mulutnya sambil menarik guling dan mencari posisi duduk yang nyaman. 

Perbincangan pun mengalir, ia tetap menjadi sosok yang hangat. Ia tak lagi ingin merasakan kesakitan yang awalnya tak bisa ia bayangkan saat cuci darah, belum lagi selang infus yang jarumnya ditancapkan di lengannya itu bocor. Itu terasa sangat nyeri, sangat sakit.

Tak terasa tiga jam sudah aku berada di rumahnya, setelah pamit kami sempat sedikit bercanda. Walaupun ia sakit namun ia masih senang bercanda. Yah, dia memang orang yang unik, walau tak banyak yang dapat melihatnya. Namun ia sungguh berharga, permata Tuhan yang nyata. Si aktif yang kini harus terseok menapaki jalanan hidup yang terjal dan curam. Ia butuh orang-orang yang mau menopang jalannya. Merangkul tubuhnya agar tak terseok. Memberi dukungan yang sangat berharga untuknya. 

Sisca dan Jessica
  

“Aku cuma merasa Tuhan gak adil, aku berbuat baik dan bekerja aja harus kena gagal ginjal dan cuma bisa diam di rumah atau rumah sakit, tapi teroris yang menghilangkan banyak nyawa masih bisa berkeliaran dan bebas makan ini itu.” Kalimat itu cukup menggelitik, logis tapi terdengar miris. Senyum tipis tersungging ketika kami saling melambai dan megucapkan kalimat perpisahan saat kalimat itu terlintas di otakku.


Oleh: Mona Kuntara
B1
11140110284



Tidak ada komentar:

Posting Komentar