“BREEMMMM, BREMMMMMMMMMMMM”
Dinamo
kapal pun akhirnya dinyalakan. Dengan segera Pak Yadi keluar dari lambung kapal
yang dimana dinamo tersebut berada. Saya pun menaiki kapal yang dinamakan
PapaJaya I. Kapalnya cukup besar untuk kapal seorang nelayan. Panjang kapal
tersebut sekitar 6 meter dengan lebar sekitar 1,2 meter. Warna cat biru dan
putih mewarnai kapal itu.
Karena hari
itu banyak turis datang pak Yadi tidak pergi memancing melainkan menjadi
penyedia jasa kapal untuk snorkeling.
Saya sedikit tidak puas karena saya pikir saya bisa ikut kegiatan pak Yadi
menjadi nelayan namun saya bisa maklumi. Area snorkeling terletak di pulau
payung. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam.
Dalam
perjalanan Pak Yadi menceritakan bagaimana kehidupannya selama menjadi nelayan.
Pak Yadi sangat mencintai memancing. Maka dari itu dia sangat mencintai
pekerjaannya sebagai Nelayan. 24 tahun sudah dia mengabdi pekerjaanya di laut.
Lebih tepatnya pada waktu dia duduk di bangku SMP.
Pak
Yadi bercerita setiap pulang sekolah dia selalu pergi ke pantai untuk memancing
dan setiap akhir weekend dia selalu ikut ayahnya yang juga seorang nelayan.
Dari hobbynya memancing, dari SMP dia sudah bisa menghasilkan uang yang cukup
untuk uang sakunya sendiri. Bagaimana dia mendapatkannya ? tentunya dengan
memancing ikan kemudian ikan yang dia tangkap dia jual ke penampung. Dari
aktivitas tersebut dia bisa mendapatkan uang sekitar Rp 500 -1000
.penghasilannya pada zaman pak Yadi dulu sudah cukup lumayan untuk dia jajan.
Ketika
sudah mulai menginjak bangku SMA Pak Yadi bercerita dia mempunyai cita-cita
lain selain menjadi nelayan.
“ Cita-Cita apa pak selain pingin
jadi Nelayan ?” tanya saya
“ Saya mau jadi dokter dulu pas
waktu SMA” jawabnya sambil tertawa.
Saya mengkerutkan dahi dan sedikit terheran-heran. “Kenapa bapak
sempet kepikiran mau jadi dokter ?” tanya saya
“ Dokter pas jaman saya dulu itu
sedikit susah karena masih terbatas banget fasilitasnya jadi kalo mau berobat
harus naik kapal dulu ke Jakarta “ katanya.
Lalu dia
melanjutkan bahwa mimpinya menjadi dokter hanyalah sebatas khayalan karena dia
tahu kondisi keuangan keluarga tidak mungkin mampu untuk mengkuliahkannya
menjadi seorang dokter. Tapi ketika saya lihat mukanya tampaknya dia tidak
menyesal karena mimpinya menjadi dokter tidak terpenuhi
.
Ketika dia
sudah lulus SMA, pak Yadi memutuskan untuk tidak kuliah melainkan langsung
bekerja sebagai nelayan. Dia mendapatkan
banyak ilmu bukan hanya dari ayahnya saja melainkan juga teman-teman ayahnya
yang juga bekerja sebagai nelayan.
Tanpa
terasa saya sudah sampai di tengah laut dimana banyak sekali terumbu karang dan
ikan-ikan yang dapat saya lihat secara jelas. Air nya benar- benar jernih yang
membuat saya bisa melihat bagaimana dasar lautnya serta kehidupan di
sekitarnya. Tanpa pikir panjang saya langsung membuka baju saya dan mengenakan diving google dan dengan segera “
BYURRRR” saya loncat ke laut dari pinggir kapal tanpa mengenakan jaket
pelampung.
Obrolan
saya dengan pak Hadi akan dilanjutkan ketika mengadakan barbeque malam nanti. Untuk sementara saya menikmati alam bawah
laut yang ada di Pulau Tidung. 4 jam tidak terasa saya terlewati. Waktu
menunjukkan pukul 12 siang. Saya pun bergegas kembali ke tempat penginapan
dengan menggunakan kapal PapaJaya I.
Malamnya
kami mempersiapkan bahan – bahan untuk barbeque.
Ikan Tenggiri bumbu kuning dan sate cumi mentah telah siap untuk dibakar. Dari
kegelapan jalan muncul Pak Yadi yang sedang menaiki sepeda. Mengenakan pakaian
hitam serta celana pendek selutut. Ternyata Pak Yadi mengenali pemandu saya
yaitu mas Edi dan tuan rumah tempat saya menginap Pak Subagiyo. Mereka
mengenali satu sama lain.
Malam itu kami
kembali melanjutkan obrolan yang tertunda sebelumnya. Kali ini dia menceritakan
bagaimana suka dukanya kehidupan seorang nelayan. Dia menarik napas
dalam-dalam. Mungkin mengingat-ingat kejadian yang dia tak mau rasakan kembali.
Selama 30 detik dia terdiam sejenak. Merangkai kata-kata yang ingin diucapkan.
Akhirnya
mulut pak Yadi berbicara. Tahun 1990, dia sedang melakukan aktivitas seperti
biasa di laut. Lalu dia kebetulan ingin berenang di tengah laut tersebut.
Dengan segera dia loncat ke dalam air. Pertama semua berjalan lancar. Lalu
tiba-tiba dia mulai merasakan keram yang sangat parah di kaki-nya. Dia
berteriak minta tolong kepada temannya. Diangkatlah pak Yadi dari laut.
Kondisinya cukup parah. Kakinya seperti mati rasa katanya.
Bisa
dibilang kecelakaan tersebut merupakan titik balik dalam hidup Pak Yadi.
Keramnya bukan seperti keram biasa. Selama hampir satu tahun dia tidak bisa
berjalan dengan benar. Tongkat menjadi topangannya . Istri menggantikan posisi
sebagai pencari nafkah utama. Hidupnya
seperti sudah mati katanya. Wajar karena dia kesehariannya pergi ke laut namun
berubah menjadi orang yang hanya berdiam diri di rumah dan tidak bisa melakukan
kegiatan nelayan.
Karena
tidak tahan melihat istrinya dan anaknya yang terus berjuang demi dirinya, Pak
Yadi memutuskan untuk mencari cara mengobati penyakitnya itu. Dia mengunjungi
dokter namun tidak ada perubahan yang berarti. Tetap saja mengandalkan tongkat.
Sudah mulai tidak tahu harus bagaimana lagi. Akhirnya pak Yadi mencoba cara
lain, cara yang cukup beresiko sebenarnya. Suatu pagi dia pergi ke kapalnya.
Dia tidak yakin apakah cara yang dilakukan berhasil atau tidak. Akhirnya dia
berada di tempat di mana kakinya mengalami keram. Ternyata dia berencana untuk
berenang.
“Byurrrrr”
meloncatlah dia ke dalam air. Tongkatnya dia tinggalkan di atas kapal. Pak Yadi
berkata cara tersebut ibarat pedang bermata dua. Hanya ada dua pilihan sembuh
atau tenggelam. Pak Yadi bercerita ketika dia meloncatkan ke dirinya ke dalam air, tidak ada perubahan malah
sepertinya dia bakal tenggelam. Namun dia tetap berjuang dan siapa sangka
kakinya tiba-tiba sembuh menjelang dirinya sudah benar-benar akan tenggelam.
“Keajaiban
datang pas udah mau tenggelam, tiba-tiba pas udah panic mau tenggelam, kaki
udah gak kerasa sakit lagi” katanya sambil tertawa.
Dengan
segera dia menaiki tangga kapal dan kembali ke rumah dengan kebahagiaan. Pak
yadi sangat senang karena bisa kembali bekerja dan yang paling penting adalah
istrinya tidak perlu membanting tulang untuk memenuhi keluarga.
Pak Yadi
memang seorang sosok kepala keluarga yang penuh tanggung jawab dan penuh kasih
sayang kepada keluarganya. Dengan segala cara dia lakukan agar bisa sembuh dan
dengan tekadnya akhirnya keinginannya terwujud.
Setelah
menceritakan kisah dukanya dia menjadi nelayan saya menanyakan apa yang sukanya
menjadi seorang nelayan yang mengabdi pada laut.
“Banyak
banget mas albert, kalo sukanya. Tapi yang paling berkesan saya udah pergi
hampir ke semua laut yang ada di Indonesia” katanya sambil tertawa.
Tidak ada
laut yang dia tidak pernah hampiri untuk memancing. Bangka Belitung,
Kalimantan, Sumatra, Maluku, Irian dan lain-lain sudah pernah dia jajah.
Bayaran yang besar juga menjadi tujuan utamanya.
“ Saya
kesana ya gak pake kapal sendiri mas albert, saya kerja sama orang. Biasanya
sih kapal-kapal yang punya orang kaya yang dimana tujuannya untuk mancing ikan
terus dikirim deh ke restoran-restoran yang ada di Jakarta. ” katanya.
Pengalaman
tersebut memang tidak bisa dia lupakan. Selama kurang lebih satu tahun dia
berlayar di laut Indonesia bersama teman-temannya. Tetapi menurut dia, yang
merupakan surga bagi para nelayan adalah laut yang berada di Irian.
“Ikannya
banyak banget mas Albert, mancing juga itungan menit udah dapet. Apalagi ya
disana ikannya macem-macem jenisnya.” Katanya.
Saya
melihat betapa serunya pengalaman dia ketika menceritakan hal tersebut.
Terlihat dari cara ceritanya yang penuh semangat. Ketika dia berada di Irian
dia tinggal di Kapal. Semua kebutuhan sudah disediakan oleh bossnya seperti
nasi, lauk, dan sayur. Setiap orang dapat jatahnya sendiri.
Meskipun
begitu tidak mudah tinggal di tengah laut dan hanya di dalam kapal. Banyak
sekali perasaan bergejolak serta pikiran mengenai keluarga yang dia tinggalkan
di kampung halaman.
“gak
enaknya ya mas albert, kalo disana itu pasti kita kangen keluarga juga kita
jarang ngeliat daratan karena kehidupan kita sehari-hari hanya berada di kapal.
Palingan 2 minggu atau sebulan sekali mampir ke daratan buat beli peralatan
mandi bensin dan macem-macem” katanya.
Ternyata
meskipun digaji besar, rasa rindu kepada keluarga tetap jauh lebih besar. Tidak
tahan lagi hidup di tengah laut akhirnya dia memutuskan untuk menjadi nelayan
kembali di Tidung. Memang penghasilannya ketika bekerja di irian tidak sebesar
dengan di Tidung. Namun hal tersebut terbayar dengan berkumpul bersama
keluarganya kembali.
Begitu
kembali menjadi di nelayan di Tidung. Pendapatan jelas menurun. Kalau menjadi
nelayan di Tidung itu ada musim pailit sama musim panennya. Kebetulan waktu
saya berkunjung sedang pada musim biasa. Tidak panen dan tidak pailit. Bulan
Mei dan Juni merupakan musim yang biasa bagi para nelayan disana. Pada bulan
itu tongkol dan ikan kembung menjadi pendapatan utama setiap bulannya. Sekitar
4 juta rupiah yang bisa di dapatkan.
Kalau lagi
musim panen bisa mendapatkan sekitar 36 juta rupiah setiap bulannya. Musim
panen biasa berada di bulan Januari dan Februari. Ikan tenggiri merupakan
anugerah bagi para nelayan disana. Harganya yang tinggi juga keberadaan tenggiri
pada bulan itu sangatlah banyak. Apalagi ada ikan yang bernama Ikan Menjang.
Bentuknya seperti hiu. Berat bisa mencapai lebih dari 100kg. Mempunyai
loreng-loreng bergaris merah. Panjang sekitar 3-4 meter. Tapi tidak mudah
mendapatkan ikan tersebut. Selama pak Yadi menjadi nelayan, dia hanya bisa
mendapatkan sebanyak 4 ekor saja. Harga jualnya ? tidak perlu ditanyakan. Satu ekor
ikan menjang dapat bernilai 17-24 juta per ekornya. Tetapi ikan tersebut hanya
bisa ditangkap pada bulan Januari dan Februari.
Musim pailit bagi para nelayan adalah ketika
bulan September dan Oktober menghampiri mereka. Sebulannya mereka hanya bisa
memperoleh 1 juta sampai 1,5 juta rupiah saja. Bisa dibayangkan betapa sulitnya
nelayan pada bulan tersebut. Pak Yadi sendiri memang ketar-ketir pada bulan
tersebut. Air laut menjadi kotor. Ikan sangatlah sedikit. Sedangkan keluarga di
rumah harus dipenuhi kebutuhannya. Satu-satunya jalan adalah dengan menyimpan
uang setiap bulan sebelum musim pailit datang. Meskipun begitu Pak Yadi tetap
mengabdikan dirinya kepada pulau Tidung.
Ternyata
memang tidak salah pilihan Pak Yadi untuk mengabdikan diri menjadi nelayan di
Tidung. Pada tahun 2007 Tidung dijadikan tempat pariwisata. Ini merupakan titik
balik dari kehidupan ekonomi Pak Yadi.
“
saya sih seneng banget ya akhirnya Tidung itu dijadiin tempat pariwisata,
soalnya lumayan buat nambahin keuangan keluarga tiap bulan” katanya.
“
pokoknya ya mas albert, Nelayan di tidung ibarat kaya air laut disini, kadang
pasang kadang surut “ katanya sambil
tersenyum.
Malam
semakin larut. Aroma ikan tenggiri bumbu kuning dan cumi bakar sudah mulai
tercium. Jalanan pun mulai sepi. Gelap. Kami pun menyudagi pembicaraan karena
makan malam sudah matang. Gurauan dan suara serangga memenuhi malam tersebut.
Meskipun
malam tersebut malam terakhir saya di Tidung. Mungkin saya akan banyak
merindukan tempat tersebut serta kapal PapaJaya yang membawa saya melihat
betapa indahnya alam bawah laut yang ada disana. Pak Yadi memegang teguh tetap
akan mengabdikan pekerjaannya di Pulau Tidung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar