Rabu, 19 Juni 2013

KUPANCING NAFKAHKU

KUPANCING NAFKAHKU
Leonardus Albert K - 11140110158 


“BREEMMMM, BREMMMMMMMMMMMM”

Dinamo kapal pun akhirnya dinyalakan. Dengan segera Pak Yadi keluar dari lambung kapal yang dimana dinamo tersebut berada. Saya pun menaiki kapal yang dinamakan PapaJaya I. Kapalnya cukup besar untuk kapal seorang nelayan. Panjang kapal tersebut sekitar 6 meter dengan lebar sekitar 1,2 meter. Warna cat biru dan putih mewarnai kapal itu.




Karena hari itu banyak turis datang pak Yadi tidak pergi memancing melainkan menjadi penyedia jasa kapal untuk snorkeling. Saya sedikit tidak puas karena saya pikir saya bisa ikut kegiatan pak Yadi menjadi nelayan namun saya bisa maklumi. Area snorkeling  terletak di pulau payung. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam.

            Dalam perjalanan Pak Yadi menceritakan bagaimana kehidupannya selama menjadi nelayan. Pak Yadi sangat mencintai memancing. Maka dari itu dia sangat mencintai pekerjaannya sebagai Nelayan. 24 tahun sudah dia mengabdi pekerjaanya di laut. Lebih tepatnya pada waktu dia duduk di bangku SMP.

            Pak Yadi bercerita setiap pulang sekolah dia selalu pergi ke pantai untuk memancing dan setiap akhir weekend dia selalu ikut ayahnya yang juga seorang nelayan. Dari hobbynya memancing, dari SMP dia sudah bisa menghasilkan uang yang cukup untuk uang sakunya sendiri. Bagaimana dia mendapatkannya ? tentunya dengan memancing ikan kemudian ikan yang dia tangkap dia jual ke penampung. Dari aktivitas tersebut dia bisa mendapatkan uang sekitar Rp 500 -1000 .penghasilannya pada zaman pak Yadi dulu sudah cukup lumayan untuk dia jajan.

            Ketika sudah mulai menginjak bangku SMA Pak Yadi bercerita dia mempunyai cita-cita lain selain menjadi nelayan.

“ Cita-Cita apa pak selain pingin jadi Nelayan ?” tanya saya

“ Saya mau jadi dokter dulu pas waktu SMA” jawabnya sambil tertawa.

Saya mengkerutkan dahi  dan sedikit terheran-heran. “Kenapa bapak sempet kepikiran mau jadi dokter ?” tanya saya

“ Dokter pas jaman saya dulu itu sedikit susah karena masih terbatas banget fasilitasnya jadi kalo mau berobat harus naik kapal dulu ke Jakarta “ katanya.

Lalu dia melanjutkan bahwa mimpinya menjadi dokter hanyalah sebatas khayalan karena dia tahu kondisi keuangan keluarga tidak mungkin mampu untuk mengkuliahkannya menjadi seorang dokter. Tapi ketika saya lihat mukanya tampaknya dia tidak menyesal karena mimpinya menjadi dokter tidak terpenuhi
.
Ketika dia sudah lulus SMA, pak Yadi memutuskan untuk tidak kuliah melainkan langsung bekerja sebagai nelayan.  Dia mendapatkan banyak ilmu bukan hanya dari ayahnya saja melainkan juga teman-teman ayahnya yang juga bekerja sebagai nelayan.

Tanpa terasa saya sudah sampai di tengah laut dimana banyak sekali terumbu karang dan ikan-ikan yang dapat saya lihat secara jelas. Air nya benar- benar jernih yang membuat saya bisa melihat bagaimana dasar lautnya serta kehidupan di sekitarnya. Tanpa pikir panjang saya langsung membuka baju saya dan mengenakan diving google dan dengan segera “ BYURRRR” saya loncat ke laut dari pinggir kapal tanpa mengenakan jaket pelampung.

Obrolan saya dengan pak Hadi akan dilanjutkan ketika mengadakan barbeque malam nanti. Untuk sementara saya menikmati alam bawah laut yang ada di Pulau Tidung. 4 jam tidak terasa saya terlewati. Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Saya pun bergegas kembali ke tempat penginapan dengan menggunakan kapal PapaJaya I.

Malamnya kami mempersiapkan bahan – bahan untuk barbeque. Ikan Tenggiri bumbu kuning dan sate cumi mentah telah siap untuk dibakar. Dari kegelapan jalan muncul Pak Yadi yang sedang menaiki sepeda. Mengenakan pakaian hitam serta celana pendek selutut. Ternyata Pak Yadi mengenali pemandu saya yaitu mas Edi dan tuan rumah tempat saya menginap Pak Subagiyo. Mereka mengenali satu sama lain.
Malam itu kami kembali melanjutkan obrolan yang tertunda sebelumnya. Kali ini dia menceritakan bagaimana suka dukanya kehidupan seorang nelayan. Dia menarik napas dalam-dalam. Mungkin mengingat-ingat kejadian yang dia tak mau rasakan kembali. Selama 30 detik dia terdiam sejenak. Merangkai kata-kata yang ingin diucapkan.
Akhirnya mulut pak Yadi berbicara. Tahun 1990, dia sedang melakukan aktivitas seperti biasa di laut. Lalu dia kebetulan ingin berenang di tengah laut tersebut. Dengan segera dia loncat ke dalam air. Pertama semua berjalan lancar. Lalu tiba-tiba dia mulai merasakan keram yang sangat parah di kaki-nya. Dia berteriak minta tolong kepada temannya. Diangkatlah pak Yadi dari laut. Kondisinya cukup parah. Kakinya seperti mati rasa katanya.

Bisa dibilang kecelakaan tersebut merupakan titik balik dalam hidup Pak Yadi. Keramnya bukan seperti keram biasa. Selama hampir satu tahun dia tidak bisa berjalan dengan benar. Tongkat menjadi topangannya . Istri menggantikan posisi sebagai pencari nafkah utama.  Hidupnya seperti sudah mati katanya. Wajar karena dia kesehariannya pergi ke laut namun berubah menjadi orang yang hanya berdiam diri di rumah dan tidak bisa melakukan kegiatan nelayan.

Karena tidak tahan melihat istrinya dan anaknya yang terus berjuang demi dirinya, Pak Yadi memutuskan untuk mencari cara mengobati penyakitnya itu. Dia mengunjungi dokter namun tidak ada perubahan yang berarti. Tetap saja mengandalkan tongkat. Sudah mulai tidak tahu harus bagaimana lagi. Akhirnya pak Yadi mencoba cara lain, cara yang cukup beresiko sebenarnya. Suatu pagi dia pergi ke kapalnya. Dia tidak yakin apakah cara yang dilakukan berhasil atau tidak. Akhirnya dia berada di tempat di mana kakinya mengalami keram. Ternyata dia berencana untuk berenang.

“Byurrrrr” meloncatlah dia ke dalam air. Tongkatnya dia tinggalkan di atas kapal. Pak Yadi berkata cara tersebut ibarat pedang bermata dua. Hanya ada dua pilihan sembuh atau tenggelam. Pak Yadi bercerita ketika dia meloncatkan ke dirinya  ke dalam air, tidak ada perubahan malah sepertinya dia bakal tenggelam. Namun dia tetap berjuang dan siapa sangka kakinya tiba-tiba sembuh menjelang dirinya sudah benar-benar akan tenggelam.

“Keajaiban datang pas udah mau tenggelam, tiba-tiba pas udah panic mau tenggelam, kaki udah gak kerasa sakit lagi” katanya sambil tertawa.

Dengan segera dia menaiki tangga kapal dan kembali ke rumah dengan kebahagiaan. Pak yadi sangat senang karena bisa kembali bekerja dan yang paling penting adalah istrinya tidak perlu membanting tulang untuk memenuhi keluarga.

Pak Yadi memang seorang sosok kepala keluarga yang penuh tanggung jawab dan penuh kasih sayang kepada keluarganya. Dengan segala cara dia lakukan agar bisa sembuh dan dengan tekadnya akhirnya keinginannya terwujud.

Setelah menceritakan kisah dukanya dia menjadi nelayan saya menanyakan apa yang sukanya menjadi seorang nelayan yang mengabdi pada laut.

“Banyak banget mas albert, kalo sukanya. Tapi yang paling berkesan saya udah pergi hampir ke semua laut yang ada di Indonesia” katanya sambil tertawa.

Tidak ada laut yang dia tidak pernah hampiri untuk memancing. Bangka Belitung, Kalimantan, Sumatra, Maluku, Irian dan lain-lain sudah pernah dia jajah. Bayaran yang besar juga menjadi tujuan utamanya.

“ Saya kesana ya gak pake kapal sendiri mas albert, saya kerja sama orang. Biasanya sih kapal-kapal yang punya orang kaya yang dimana tujuannya untuk mancing ikan terus dikirim deh ke restoran-restoran yang ada di Jakarta. ” katanya.

Pengalaman tersebut memang tidak bisa dia lupakan. Selama kurang lebih satu tahun dia berlayar di laut Indonesia bersama teman-temannya. Tetapi menurut dia, yang merupakan surga bagi para nelayan adalah laut yang berada di Irian.

“Ikannya banyak banget mas Albert, mancing juga itungan menit udah dapet. Apalagi ya disana ikannya macem-macem jenisnya.” Katanya.

Saya melihat betapa serunya pengalaman dia ketika menceritakan hal tersebut. Terlihat dari cara ceritanya yang penuh semangat. Ketika dia berada di Irian dia tinggal di Kapal. Semua kebutuhan sudah disediakan oleh bossnya seperti nasi, lauk, dan sayur. Setiap orang dapat jatahnya sendiri.

Meskipun begitu tidak mudah tinggal di tengah laut dan hanya di dalam kapal. Banyak sekali perasaan bergejolak serta pikiran mengenai keluarga yang dia tinggalkan di kampung halaman.

“gak enaknya ya mas albert, kalo disana itu pasti kita kangen keluarga juga kita jarang ngeliat daratan karena kehidupan kita sehari-hari hanya berada di kapal. Palingan 2 minggu atau sebulan sekali mampir ke daratan buat beli peralatan mandi bensin dan macem-macem” katanya.

Ternyata meskipun digaji besar, rasa rindu kepada keluarga tetap jauh lebih besar. Tidak tahan lagi hidup di tengah laut akhirnya dia memutuskan untuk menjadi nelayan kembali di Tidung. Memang penghasilannya ketika bekerja di irian tidak sebesar dengan di Tidung. Namun hal tersebut terbayar dengan berkumpul bersama keluarganya kembali.

Begitu kembali menjadi di nelayan di Tidung. Pendapatan jelas menurun. Kalau menjadi nelayan di Tidung itu ada musim pailit sama musim panennya. Kebetulan waktu saya berkunjung sedang pada musim biasa. Tidak panen dan tidak pailit. Bulan Mei dan Juni merupakan musim yang biasa bagi para nelayan disana. Pada bulan itu tongkol dan ikan kembung menjadi pendapatan utama setiap bulannya. Sekitar 4 juta rupiah yang bisa di dapatkan.

Kalau lagi musim panen bisa mendapatkan sekitar 36 juta rupiah setiap bulannya. Musim panen biasa berada di bulan Januari dan Februari. Ikan tenggiri merupakan anugerah bagi para nelayan disana. Harganya yang tinggi juga keberadaan tenggiri pada bulan itu sangatlah banyak. Apalagi ada ikan yang bernama Ikan Menjang. Bentuknya seperti hiu. Berat bisa mencapai lebih dari 100kg. Mempunyai loreng-loreng bergaris merah. Panjang sekitar 3-4 meter. Tapi tidak mudah mendapatkan ikan tersebut. Selama pak Yadi menjadi nelayan, dia hanya bisa mendapatkan sebanyak 4 ekor saja. Harga jualnya ? tidak perlu ditanyakan. Satu ekor ikan menjang dapat bernilai 17-24 juta per ekornya. Tetapi ikan tersebut hanya bisa ditangkap pada bulan Januari dan Februari.

 Musim pailit bagi para nelayan adalah ketika bulan September dan Oktober menghampiri mereka. Sebulannya mereka hanya bisa memperoleh 1 juta sampai 1,5 juta rupiah saja. Bisa dibayangkan betapa sulitnya nelayan pada bulan tersebut. Pak Yadi sendiri memang ketar-ketir pada bulan tersebut. Air laut menjadi kotor. Ikan sangatlah sedikit. Sedangkan keluarga di rumah harus dipenuhi kebutuhannya. Satu-satunya jalan adalah dengan menyimpan uang setiap bulan sebelum musim pailit datang. Meskipun begitu Pak Yadi tetap mengabdikan dirinya kepada pulau Tidung.

Ternyata memang tidak salah pilihan Pak Yadi untuk mengabdikan diri menjadi nelayan di Tidung. Pada tahun 2007 Tidung dijadikan tempat pariwisata. Ini merupakan titik balik dari kehidupan ekonomi Pak Yadi.

            “ saya sih seneng banget ya akhirnya Tidung itu dijadiin tempat pariwisata, soalnya lumayan buat nambahin keuangan keluarga tiap bulan” katanya.

            “ pokoknya ya mas albert, Nelayan di tidung ibarat kaya air laut disini, kadang pasang kadang surut  “ katanya sambil tersenyum.

          Malam semakin larut. Aroma ikan tenggiri bumbu kuning dan cumi bakar sudah mulai tercium. Jalanan pun mulai sepi. Gelap. Kami pun menyudagi pembicaraan karena makan malam sudah matang. Gurauan dan suara serangga memenuhi malam tersebut.

            Meskipun malam tersebut malam terakhir saya di Tidung. Mungkin saya akan banyak merindukan tempat tersebut serta kapal PapaJaya yang membawa saya melihat betapa indahnya alam bawah laut yang ada disana. Pak Yadi memegang teguh tetap akan mengabdikan pekerjaannya di Pulau Tidung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar