Wanita itu paling tinggi di antara
teman-temannya. Dia mengenakan almamater khas kampusnya, Universitas Multimedia
Nusantara, dengan kemeja merah di dalamnya. Matanya sibuk memerhatikan sekitar.
Sesekali dia melihat ponsel yang ia genggam. Dia melempar senyuman ketika
melihat saya.
Jam tangan saya menunjukkan pukul
15.40 WIB, saya sudah menunggunya selama 30 menit. Matahari sore pun menembus
kaca kampus yang terlihat biru dari luar. Kami berjabat tangan, kemudian lesehan di lobby rektorat kampus.
Penampilannya dengan make up yang tidak menonjol dan tinggi badannya
yang melebihi saya memang membuatnya tampak anggun.
Dia menghadiri salah satu seminar di Communication Festival yang diadakan
oleh organisasi mahasiswa komunikasi UMN. Selain itu, dia juga berkesempatan
untuk bertemu dengan pembicara di seminar tersebut, Daniel Mananta.
Sore itu, 23 Mei 2013, tepat hari ke
tiga acara itu berlangsung. Ada seminar dari salah satu produsen baju ternama
di Indonesia, Damn I Love Indonesia.
Dengan mudah dia bisa bertemu dan
bercengkrama dengan Daniel, wanita itu tidak lain adalah Mey Diana Sari, Miss
Banten yang sekaligus finalis Miss Indonesia 2013. Meskipun tidak memenangi
gelar Miss Indonesia, namun prestasinya sudah membanggakan bagi orang tua,
teman-teman, kampus, dan dirinya sendiri.
Seperti yang dilansir
ultimagz-online.com, Daniel Mananta adalah presenter dari ajang Miss Indonesia
2013, di awal acara dia sempat mengutip syair Kahlil Gibran bahwa kecantikan
bukan terdapat pada raut wajah, tapi terpancar bagai serunai sinar dari dalam
hati.
Miss Indonesia ini memang merupakan
ajang tahunan yang diselenggarakan oleh MNC melalui Yayasan Miss Indonesia.
Ajang ini diperuntukkan untuk mempersiapkan figur seorang wanita Indonesia yang
akan menjadi duta di bidang sosial, budaya, dan ekonomi di forum-forum
internasional.
Aspek yang dipakai dalam penilaian
Miss Indonesia sejak 2008 adalah MISS,
yakni Manner (Tingkah Laku), Impressive (Mengesankan), Smart (Pintar), Social (Berjiwa Sosial). Pemenang yang bergelar Miss Indonesia
ini bertugas untuk melanjutkan kompetisi ke ajang Miss World.
“Itu awalnya saya langsung datang ke
RCTI waktu audisi dibuka,” katanya pada
saya sore itu.
Pada ajang tahun 2013 ini, gelar Miss
Indonesia disematkan kepada Vanisa Larissa, perwakilan Kalimantan Barat.
Meydi, sapaan akrabnya, mewakili provinsi
Banten dalam ajang ini. Namun dia tidak berhasil memasuki sepuluh besar dari
ajang yang memiliki slogan “Semua Mata Tertuju Padamu” tersebut. Namun melalui
penghitungan suara Miss Favourite, Meydi berhasil menduduki posisi ketiga.
Meydi berkesempatan untuk mengikuti
ajang tahunan tersebut, namun dia mengaku, memang tidak mudah untuk bersaing
dengan 32 kontestan lainnya. Selain itu dia juga susah untuk berbaur pada
awalnya, dikarenakan perbedaan budaya dari tiap pribadi yang berada di
karantina.
“Jadi yang awalnya sih mungkin sehari
dua hari berbaur itu emang agak susah sedikit, tapi berhubungan saya orangnya
cukup friendly, saya yang cukup
humoris jg, jadi bisa lebih cpt berbaur,” kata Meydi.
Sifat humorisnya memang terlihat saat
pertama kali saya bertanya tentang hambatan selama masa karantina, “Selama
karantina? Kesulitannya adalah karena saya tidak boleh memegang hp,” ujarnya
kemudian tertawa dan berusaha mengonfirmasi bahwa pernyataannya tadi hanya
candaan.
Meydi lahir dari pasangan Jap Tjoen Beng dan Octavianti di
Jakarta, 20 Mei 1992. Keduanya
asli dari Jakarta, namun sejak tahun 1999 mereka pindah ke Tangerang. Dia memiliki
seorang adik laki-laki bernama Samuel Ade Putra.
Meydi kecil
adalah seorang anak gadis yang supel dan periang. “Dia selalu perhatian
banget dengan keadaan orang-orang di sekitarnya,” Ujar Octavianti.
Gadis
periang itu tumbuh menjadi wanita yang menarik perhatian pria, badannya yang
proporsional, tinggi, paras yang cantik, serta keramahannya membuat semua orang
senang dengan dirinya.
Octavianti
sendiri mengaku tidak menuntut banyak dari anak sulungnya ini sejak kecil. Dia
hanya membekali Meydi dengan ilmu pengetahuan umum dan agama.
“Kalau Meydi bisa berprestasi itu smua
karena anugrah Tuhan,” ujarnya pada saya.
Meydi
merupakan tipikal anak yang terbuka dengan orang tua, dia bisa menceritakan
semua hal secara blak-blakan pada mamanya.
Enam tahun
yang lalu, wanita yang suka makan gado-gado ini masuk ke SMA Santa Patricia,
Tangerang.
Tahun 2010,
gadis berzodiak Taurus ini menginjakkan kakinya di jenjang kuliah, dia memilih
salah satu universitas yang umurnya masih muda, yaitu Universitas Multimedia
Nusantara (UMN), jurusan Ilmu Komunikasi dengan konsentrasi Public Relations.
Dukungan
dari sahabat dan orang tua membuatnya bahagia. Mereka hadir saat malam puncak
ajang Miss Indonesia 2013 di Kemayoran, Jakarta pada Rabu 20 Februari 2013.
“Luar biasa,
papa dan mama mereka paling mensupport saya!” ujarnya.
Octavianti
juga menegaskan bahwa, dia dan suaminnya mendukung prestasi anaknya. “Bangga pastilah, kalau untuk dukungan ya
mensupport saja, dan yang pasti mendoakan supaya Tuhan memberikan yang terbaik”.
Octavianti
juga mengaku bahwa anaknya baru pertama kali mengikuti ajang-ajang kecantikan
seperti ini. “Kalau untuk ikutan ajang-ajang pemilihan baru sekarang-sekarang
ini,” ujar wanita berwajah ramah itu pada saya.
Selama di
karantina, Meydi dan kontestan lainnya diajari untuk menjalin rasa kekeluargaan
yang besar. “kita diajarin bagaimana sama yang lebih tua harus panggil kakak,
bahkan hanya beda sehari,” ujarnya.
Kegiatan
sosial dari para finalis Miss Indonesia yang kita saksikan di televisi ternyata
bukan hanya aksi di depan kamera, mereka benar-benar berkunjung dan merasakan
kebersamaan dengan orang lain. Meydi sendiri mengaku bahwa itu merupakan
pengalaman yang tidak dapat ia lupakan. “Kita mengadakan banyak kunjungan,
salah satunya itu yang paling saya tertarik adalah kunjungan ke balai kota dan
panti jompo,” ujar wanita yang hobi main piano ini.
Meydi
mengaku ingin berkecimpung di dunia hiburan Indonesia nantinya, namun dengan
statusnya yang masih seorang mahasiswi, dia ingin kembali fokus ke dunia
pendidikannya dulu. “Saya lebih fokus sekarang di kuliah, karena saya udah
semester 6, sebentar lagi mau skripsi dan magang. Jadi lebih fokus ke sana biar
cepat lulus,” kata Meydi.
Wanita yang
sekarang sibuk dengan dunia modelling
dan aktivitas sosial untuk gerejanya juga mengaku memiliki banyak teman yang
sangat baik dan membantunya dalam mengejar ketertinggalannya dalam perkuliahan
yang sempat ia tinggalkan sejenak saat mengikuti ajang tahunan tersebut.
“Kebetulan
saya punya teman-teman yang sangat luar biasa, jadi mereka yang catat apa-apa
aja yang materi-materi yang selama dua minggu saya ketinggalan,” ujarnya sambil
mengarahkan tangan kanannya pada teman-temannya.
“Terus kalau
materi untuk menghadapi uts kemarin, ya mereka juga yang ngebantu, ‘ini ada
slide ini, lu pelajarin ini terus
kisi-kisinya ini’,” tutur Meydi semangat.
Setelah
mengikuti ajang Miss Indonesia, Meydi mengaku bahwa beberapa hal berubah, mulai
dari lebih sering merias diri, memerhatikan tutur kata, dan tingkah laku.
“Kenapa begitu, karena pas saya keluar rumah nanti, dilihat sama orang, nanti
orang bakal bilang ‘oh ya, dia memang pantas jadi Miss Banten’,” ujarnya pada
saya sore itu.
Namun, tidak
ada aksi sosial lainnya yang berkaitan dengan Miss Indonesia itu sendiri. Dia
masih berkonsentrasi di dunia pendidikannya.
“Dari
februari keluar dari karantina sampai saat ini belum ada kegiatan sosial yang
saya lakukan, tapi saya emang tergabung di orang tua asuh di gereja saya,” kata
wanita yang berumur 21 tahun ini.
“Untuk
kehidupan hihihi hahaha dengan mereka
(sahabat) tidak ada yang berubah,” tambahnya.
Windyanarti,
sahabat Meydi di kampus mengaku bahwa tidak ada perubahan, terutama dari sikap
Meydi setelah mengikuti ajang tersebut. “Gak ada yang berubah, dia sama seperti
yang dulu, masih baik,” ujarnya pada saya.
Windy,
sapaan akrabnya, sudah berada di kelas yang sama bersama Meydi sejak semester
satu, mereka semakin dekat di semester dua sampai saat ini.
Memang bukan
rahasia lagi, Meydi menjadi cukup terkenal di kampus karena prestasinya.
Mengikuti ajang sebesar Miss Indonesia tentu membuatnya menjadi “incaran” para
pria di kampus yang berada di Serpong tersebut.
Raut wajahnya
nampak terkejut dan ia spontan tertawa saat saya menanyakan soal kehidupan
cintanya. ”Belum
punya pacar, karena saya berpikirnya kalau saya punya pacar saat ini akan
terbagi ya,” ujarnya kepada saya.
Dia menyenderkan punggungnya pada
tembok putih di belakangnya. Teman-temannya duduk di sisi lain, berusaha untuk
tidak mencampuri perbincangan kami. Wajahnya agak tirus, namun pipinya merah
merona dan senyumannya yang manis, pria mana yang tidak dibuat meleleh olehnya.
Namun, belum adanya keinginan untuk membangun sebuah hubungan lagi, membuat
beberapa pria yang mendekatinya harus gigit jari.
“Kalau yang
deketin ada, ada beberapa cowok yg coba deketin, tapi ya langsung di cut dari awal,” kata Meydi.
Meydi juga
mengaku bahwa akan terasa bingung baginya untuk membagi waktu bila dia memiliki
pacar saat ini, melihat juga pada kesibukannya saat ini. “Tapi kalau saat ini
punya pacar, agak bingung cara bagi waktunya dengan keluarga, ada teman juga, pacar
jg,” katanya pada saya.
Namun, Meydi
sendiri memiliki kriteria pria yang dia ingin jadikan pacar, “Tipe cowokku yang
seiman pastinya dewasa, lebih tinggi dari aku,”
Hal serupa juga dinyatakan Octavianti,
putri sulungnya ini belum mau punya pacar. “Takutnya
ribet kuliah, ada pacar jadi takut gak fokus kuliah,” ujarnya pada saya.
“Meydi gak pernah cerita soal cowok, tapi dia
emang belum mau pacaran,” ujar Windy.
Meydi
sendiri ternyata pernah menjalin hubungan dengan seorang pria di kampusnya,
yang tidak disebutkan namanya, namun tidak berlanjut. “Pacaran terakhir tahun
lalu,” ujarnya pada saya.
Memang bukan
rahasia umum lagi bahwa dirinya sekarang menjadi pujaan banyak pria. Banyak
juga yang berusaha mendekatinya, namun mereka harus mengurungkan niat mereka,
karena Meydi sendiri juga mengaku punya kriteria umur untuk kembali menjalin
hubungan.
“Kalau saya
udah umur 22 dan sudah selesai kuliah masih bisa menghabiskan waktu dengan dia(pacar),”
ujarnya pada saya sebelum kami mengakhiri perbincangan kami.
Lobby kampus
sudah mulai sepi, beberapa stand dari
acara tersebut mulai tutup. Jam tangan saya menunjukkan pukul 16.00 WIB.
Meydi sudah
harus beranjak, teman-temannya sudah menunggu. Di akhir perbincangan kami,
Meydi kembali melemparkan senyumannya pada saya saat saya mengucapkan terima
kasih padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar