Langit gelap. Ayam pun masih membisu. Keheningan
memenuhi jalan. Di sisi kiri jalan terdapat satu rumah tua, disinari cahaya
lampu 20 watt. Dinding-dinding rumah penuh dengan jamur dan bekas kekuningan,
noda dari rembesan air dari atas atap menjadi saksi bisu rumah yang sudah rapuh
ini. Di depan rumah, seorang perempuan paruh baya terlihat sibuk menyiapkan
dagangannya. Tulng kakinya sudah rapuh, menyulitkannya untuk bergerak dengan
cepat.
Sosok itu terlihat jelas dibawah cahaya lampu.
Rambutnya yang keriting sudah memutih, bukti dari waktu yang terus berputar. Kantung
matanya terlihat begitu jelas. Matanya merah berair, warna hitam di pupil
matanya telah memudar. Tubuhnya gempal, hitam berkeriput. Dari kulit dan
wajahnya, pasti tidak ada yang mengira jika ia keturunan tionghoa.Ia tertatih, perlahan
berjalan menuju kompor yang mengeluarkan wangi santan segar.
IalahOei Yoh Mei alias Yoyoh Wijaya. Wanita yang
lahir pada tanggal 14 Agustus tahun 1947 di Jatinegara ini sehari-harinya
bekerja sebagai pedagang kue keliling. Di usia senja yang seharusnya ia sudah
pensiun, dirinya tetap berjualan keliling setiap harinya. Bahkan, untuk
mempersiapkan dagangannya, ia harus bangun mulai dari jam satu pagi.
Meskipun terlahir dalam lingkup keluarga keturunan
Tionghoa, masa kecil Yoyoh diakui dirinya serba dengan kekurangan. Sebagai anak
pertama dari tiga bersaudara ia harus rela hidup dalam jurang kemiskinan. Semua
saudaranyaperempuan, terpaksa harus berhenti sekolah dan hanya sampai jenjang
sekolah dasar. Yoh Mei putus sekolah saat duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar.
Ibunya yang bekerja sebagai penjual kue tidak sanggup membiayai ketiga anaknya.
Ayahnya, sudah meninggal semenjak Yoh Mei lahir.
Yoh Mei tak tinggal diam. Batinnya bergelut.
Pikirnya, ia harus keluar dari jerat kemiskinan. Ia memutuskan ikut ibunya, Ng
Sun Mei untuk berjualan kue keliling. Adik-adiknya yang masih bayi, dititipkan
pada keluarganya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Di hari itu juga, Yoh Mei
kecil belajar membuat kue dan jajanan pasar.
Dengan cara meniru ibunya, Yoh Mei dapat membuat kue
dan jajanan yang rasanya bahkan sama. Dengan cermat, ia memerhatikan setiap
gerak ibunya, sehingga ia dapat membuat “kembaran” dari kue-kue yang akan
dijual. Dengan bantuan Yoh Mei, kue-kue berlipat ganda sehingga keuntungan jadi
lebih besar. Meskipun penghasilannya
tidak seberapa, tapi Ia tetap semangat berjualan kue dari waktu ke waktu.
Ketika itu, ia baru berumur 8 tahun.
Nasib mujur seakan tak pernah datang menghampiri Yoh
Mei. 1 tahun setelah ia berjualan kue keliling, ibunya jatuh sakit dan lumpuh.
Hal itu memaksa Yoh Mei kecil mendapat tugas yang sangat berat, menjadi tulang
punggung keluarga. Setiap hari, Yoh Mei berjalan kaki mengitari gang tempat ia
tinggal. Saat kedua saudarinya masih terlelap, ia harus bersiap berangkat
menjual dagangannya. Kaki dan jemarinya yang kecil, harus melangkah demi
kepastian hidup para saudarinya.
Namun, gang tempat dirinya tinggal seperti gang yang
“terbuang”. Berbagai tindak kriminal dan penyalahgunaan narkoba terjadi di gang
ini. “Banyak jambret suka lari kesini” tutur Yoh mei. Bahkan pada suatu hari,
sebelum ia berangkat menjual dagangan, ada seorang pria tergeletak di depan
rumahnya, dan meminta air untuk menyuntik narkoba berjenis heroin. Tanpa ragu, ia
memberi pria itu air, dan berharap agar pria itu cepat pergi dari rumahnya.
Hari demi hari Yoh Mei lalui berjualan kue, dan ia
tak pernah sekalipun mengeluh. Ketika dagangannya kurang laku di gang tempatnya
tinggal, ia berjalan menuju gang lain, berharap kue dan jajanannya akan habis
sebelum menjadi dingin. Hari-hari itu ia lewati dengan semangat, meski ada
kejadian yang sempat membuatnyaa putus asa.
Suatu hari ia sedang beristirahat dibawah pohon
beringin. Ia meletakkan dagangannya tepat disamping kanannya. Seorang pria yang
sedang berlari menabrak dagangannya, hingga dagangannya tumpah dan tidak bisa
dijual kembali. Kalaupun bisa, tentu tidak ada yang mau membelinya. Pikirnya.
Ia takut untuk pulang. Ia takut dimarahi. Badannya
seakan membeku seketika itu juga. Air matanya tumpah, membasahi kue yang sudah
jatuh ke tanah. Ia memutuskan untuk tidur di bawah pohon itu hingga hari
esoknya. Namun, salah seorang tetangga melihatnya sedang tertidur pulas. Maka,
dibawalah ia kembali pulang.
Saat Yoh mei membuka matanya, ia terkejut. Ibunya
menangis, berusaha memeluk putrinya tapi tidak bisa. ia memutuskan untuk jujur
ke ibunya. Karena tidak dapat apapun malam itu, ia memakan singkong pemberian
dari tetangganya, hadiah ulang tahunnya 3 hari yang lalu. ia pun terpaksa
membuka celengannya untuk modal berjualan esok harinya, dan mengubur impiannya
membeli rumah baru.
Hari demi hari dilalui olehnya, hingga ia kini
beranjak remaja. Ia semakin terlihat hitam, dan seringkali merasa rendah diri
jika berkumpul dengan keluarganya yang lain. Lambat laun, ia juga lupa bahasa
mandarin yang dulu amat fasih ia ucapkan. Kini, yoyoh lebih sering menggunakan
Bahasa Indonesia. Ia yang dulu ogah memakan makanan tradisional seperti tempe,
kini menggemarinya.
Yoh Mei senang bergaul dengan pribumi di sekitarnya.
Menurutnya, orang pribumi jauh lebih apa adanya dibandingkan ornag keturunan
yang seringkali menjaga image.
Semakin lama, ia semakin sering mengobrol dengan para tetangganya, hingga suatu
saat salah seorang pemuda keturunan jatuh hati padanya.
Setiap hari, hujan maupun terik, pria itu duduk di
depan pagarnya, membeli kue-kue jualannya, tapi tak mengucapkan satu patah kata
pun. Sambil menikmati kue-kue, pria itu menatap Yoh Mei dan kadang tersenyum.
Awalnya, ia acuh pada pria itu. Tapi, lama kelamaan, cinta tumbuh di dalam hatinya.
Sama seperti peribahasa Jawa,”withing tresno jalaran soko kulino”. Lama kelamaan ia luluh. Pria itu
pun menyatakan cintanya pada Yoh Mei. “Elu mau kaga, kawin sama gue?” kata pria
itu. Yoh Mei membalas positif lamaran pria itu. Tapi, ia meminta untuk pacaran
dulu. Kala itu, usianya masih 17 tahun, sedangkan si pria 22 tahun.
Ketika si pria
mengajak Yoh Mei ke rumahnya, betapa terkejutnya ia karena rumah si pria hanya
berjarak 3 rumah dari rumahnya . Rupanya, pria itu telah memerhatikan Yoh Mei semenjak
kecil. Bahkan, orangtuanya dulu sering membeli kue Yoh Mei. Diakuinya, kue itu enak.
Jika tak berjualan sehari saja, pria itu pasti kangen.
Nama pria itu
adalah Tan Peng Sui, yang kemudian lebih dikenal sebagai Epeng. Epeng lalu
membantu Yoh Mei berjualan, jika ia sedang libur dari pekerjaannya. Suatu hari,
pada waktu itu malam, sehabis maghrib ketika pulang dari berjualan kue Peng Sui
menyatakan niatnya untuk melamar Yoh Mei. Dengan bahagia, ia menghadap calon
mertuanya malam itu juga.
Mas
kawin berupa uang 300 perak sebanyak 3 lembar telah disiapkan oleh Epeng. Pagi
harinya, pada waktu itu sekitar subuh, di rumah Yoh Mei yang sempit, 11 orang,
saudara dari kedua mempelai sudah berkumpul. Ruang tamu yang kcil dipenuhi dan
sesak. Ketika waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB, barulah Peng Sui mengurus
surat-surat pernikahan, termasuk ke gereja untuk meresmikan pernikahannya.
Hari-hari
baru Yoh Mei dimulai. Di usianya yang baru saja menginjak 20 tahun, kini ia
mempunyai keluarga. Pada waktu itu juga, ia merubah namanya menjadi Yoyoh. Waktu
itu tahun 1967, ia dan suaminya berniat menabung untuk pindah dari gang itu dan
mulai mencari rumah di daerah Bekasi. Sayangnya, kebijakan pemerintah
menyulitkan niat Yoyoh dan Epeng itu.
Pada periode 1960-1965,
perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang berat sebagai akibat dari
kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik. Doktrin ekonomi
terpimpin telah menguras hampir seluruh potensi ekonomi Indonesia akibat
membiayai proyek-proyek politik pemerintah.
Sehingga tidak
mengherankan, jika pada periode ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)
sangat rendah, laju inflasi sangat tinggi hingga mencapai 635% pada 1966, dan
investasi merosot tajam. Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia
(BI) dibebani Multiple Objectives, yaitu selain menjaga stabilitas mata uang
rupiah juga sebagai bank sirkulasi yang memberi pinjaman uang muka kepada
pemerintah, serta menyediakan kredit likuiditas dan kredit langsung kepada
lembaga-lembaga negara dan pengusaha.
Adanya inflasi membuat
harga rumah meninggi, dan hal itu menyulitkan Yoyoh dan Epeng untuk membeli
rumah bahkan secara kredit. Belum lagi kebutuhan yang bertambah karena putri
mereka lahir, dan Epeng yang di PHK dari pabriknya. Selain itu, ia juga tidak
mendapat pesangon. Untuk sementara, keluarga kecil mereka singgah di rumah
orang tua Epeng.
Hidup dalam krisis dan
inflasi yang ekstrim, tidak membuat Epeng dan Yoyoh putus asa. Dalam kondisi
yang serba kekurangan, mereka menyekolahkan anakanya ke SD Santa Monica. Uang
sekolah yang waktu itu 60.000, mereka tawar hingga mencapai nominal 500 rupiah.
Tak disangka, kepala sekolah Santa Monica menyanggupi hal itu.
Sedikit demi sedikit,
Yoyoh mulai dapat menabung, dan bahkan dari hasil tabungannya bersama dengan
sang suami, ia sanggup membeli rumah sederhana di Pondok gede, Bekasi. Yoyoh
pun dikaruniai 1 orang putri lagi, pada tahun 1975.
Kebahagiaannya kembali
terusik pada tahun 1998. Tahun ini merupakan tahun yang mengerikan bagi setiap
keturunan tionghoa, tidak terkecuali Yoyoh. Teror menyebar ke seluruh pelosok, termasuk
rumahnya yang dilempari batu oleh oknum-oknum yang melintas di depannya.
Pada
kerusuhan 1998, orang Tionghoa dituduh menjadi biang krisis ekonomi dan KKN di
Indonesia karena mereka sering menggunakan sogokan untuk mendapatkan kemudahan
dari pemerintah. Ratusan ribu orang Tionghoa di Indonesia, dibunuh, diperkosa,
dan milik mereka dijarah massa. Hal ini menyebabkan banyak orang Tionghoa
memutuskan untuk lari dari Indonesia, dan pindah ke negara2 tetangga seperti
Australia dan New Zealand. Dan bahkan setelah reformasi, sebagian besar
memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia karena mereka menemukan bahwa
negara2 barat lebih menghormati hak2 mereka ketimbang Indonesia.
Lain halnya dengan Yoyoh, jangankan ke luar
negeri, untuk melarikan diri dari rumahnya sendiri pun ia tidak sanggup. Ia
tidak punya pilihan selain bersembunyi dibawah meja, karena saat itu suaminya
sedang diluar rumah. Ia hanya bisa menangis dan berusaha untuk tidak
mengeluarkan suara, karena takut menjadi korban kekejaman oknum pengrusakan.
Ketika Yoyoh melihat
kondisi rumahnya, semua telah dijarah. Foto-foto rusak, radio dan televisi 14
inch yang waktu itu baru saja dibeli Epeng telah raib diambil. Beberapa
perabotan seperti lemari rusak. Tapi, tak banyak yang bisa Yoyoh perbuat. Malam
itu, ketika Epeng pulang, ia hanya bisa berdoa supaya tidak ada yang bernasib
sama dengannya.
Kenangan akan peristiwa
itu masih diingat jelas olehnya, bahkan di tahun 2013 ini. Epeng yang sudah
tidak kuat bekerja, membantunya membuat kue keliling. Sisa-sisa pengrusakan
tahun 1998 sudah tidak terlihat, berkat bantuan menantu-menantunya.
Namun, anak-anaknya
yang kini dewasa, seakan melupakan dirinya dan Yoyoh. Mereka tidak merawat
Yoyoh dan Epeng yang terus hidup dalam kemiskinan. Dan malah menjadikan Yoyoh
seperti pembantu yang beres-beres rumah dan menjaga cucu-cucunya. Ditambah
lagi, untuk menopang hidupnya, Yoyoh tetap harus berjualan karena uang dari
anaknya. 50.000 sebulan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Omah Yoyoh di Masa Kini |
Tapi, Yoyoh pasrah akan
kenyataan ini. Harapan akan keadaan yang lebih baik, ia kubur dalam-dalam di
hatnya. Ia menatap langit-langit rumah, mengambil nafas dalam-dalam, dan
menikmati udara senja itu. Di usianya yang kini lanjut, tak banyak yang ia
harapkan. Ia hanya menginginkan sisa hidup yang tenang dan damai.
“Hidup ini berjalan,
dengan atau tanpa diri kita” tandasnya.
Frederick
11140110148
B1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar