Selasa, 18 Juni 2013

Penjual Kue dan Arus Waktu




Langit gelap. Ayam pun masih membisu. Keheningan memenuhi jalan. Di sisi kiri jalan terdapat satu rumah tua, disinari cahaya lampu 20 watt. Dinding-dinding rumah penuh dengan jamur dan bekas kekuningan, noda dari rembesan air dari atas atap menjadi saksi bisu rumah yang sudah rapuh ini. Di depan rumah, seorang perempuan paruh baya terlihat sibuk menyiapkan dagangannya. Tulng kakinya sudah rapuh, menyulitkannya untuk bergerak dengan cepat.
Sosok itu terlihat jelas dibawah cahaya lampu. Rambutnya yang keriting sudah memutih, bukti dari waktu yang terus berputar. Kantung matanya terlihat begitu jelas. Matanya merah berair, warna hitam di pupil matanya telah memudar. Tubuhnya gempal, hitam berkeriput. Dari kulit dan wajahnya, pasti tidak ada yang mengira jika ia keturunan tionghoa.Ia tertatih, perlahan berjalan menuju kompor yang mengeluarkan wangi santan segar.
IalahOei Yoh Mei alias Yoyoh Wijaya. Wanita yang lahir pada tanggal 14 Agustus tahun 1947 di Jatinegara ini sehari-harinya bekerja sebagai pedagang kue keliling. Di usia senja yang seharusnya ia sudah pensiun, dirinya tetap berjualan keliling setiap harinya. Bahkan, untuk mempersiapkan dagangannya, ia harus bangun mulai dari jam satu pagi.
Meskipun terlahir dalam lingkup keluarga keturunan Tionghoa, masa kecil Yoyoh diakui dirinya serba dengan kekurangan. Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara ia harus rela hidup dalam jurang kemiskinan. Semua saudaranyaperempuan, terpaksa harus berhenti sekolah dan hanya sampai jenjang sekolah dasar. Yoh Mei putus sekolah saat duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Ibunya yang bekerja sebagai penjual kue tidak sanggup membiayai ketiga anaknya. Ayahnya, sudah meninggal semenjak Yoh Mei lahir.
Yoh Mei tak tinggal diam. Batinnya bergelut. Pikirnya, ia harus keluar dari jerat kemiskinan. Ia memutuskan ikut ibunya, Ng Sun Mei untuk berjualan kue keliling. Adik-adiknya yang masih bayi, dititipkan pada keluarganya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Di hari itu juga, Yoh Mei kecil belajar membuat kue dan jajanan pasar.
Dengan cara meniru ibunya, Yoh Mei dapat membuat kue dan jajanan yang rasanya bahkan sama. Dengan cermat, ia memerhatikan setiap gerak ibunya, sehingga ia dapat membuat “kembaran” dari kue-kue yang akan dijual. Dengan bantuan Yoh Mei, kue-kue berlipat ganda sehingga keuntungan jadi lebih besar.  Meskipun penghasilannya tidak seberapa, tapi Ia tetap semangat berjualan kue dari waktu ke waktu. Ketika itu, ia baru berumur 8 tahun.
Nasib mujur seakan tak pernah datang menghampiri Yoh Mei. 1 tahun setelah ia berjualan kue keliling, ibunya jatuh sakit dan lumpuh. Hal itu memaksa Yoh Mei kecil mendapat tugas yang sangat berat, menjadi tulang punggung keluarga. Setiap hari, Yoh Mei berjalan kaki mengitari gang tempat ia tinggal. Saat kedua saudarinya masih terlelap, ia harus bersiap berangkat menjual dagangannya. Kaki dan jemarinya yang kecil, harus melangkah demi kepastian hidup para saudarinya.
Namun, gang tempat dirinya tinggal seperti gang yang “terbuang”. Berbagai tindak kriminal dan penyalahgunaan narkoba terjadi di gang ini. “Banyak jambret suka lari kesini” tutur Yoh mei. Bahkan pada suatu hari, sebelum ia berangkat menjual dagangan, ada seorang pria tergeletak di depan rumahnya, dan meminta air untuk menyuntik narkoba berjenis heroin. Tanpa ragu, ia memberi pria itu air, dan berharap agar pria itu cepat pergi dari rumahnya.
Hari demi hari Yoh Mei lalui berjualan kue, dan ia tak pernah sekalipun mengeluh. Ketika dagangannya kurang laku di gang tempatnya tinggal, ia berjalan menuju gang lain, berharap kue dan jajanannya akan habis sebelum menjadi dingin. Hari-hari itu ia lewati dengan semangat, meski ada kejadian yang sempat membuatnyaa putus asa.
Suatu hari ia sedang beristirahat dibawah pohon beringin. Ia meletakkan dagangannya tepat disamping kanannya. Seorang pria yang sedang berlari menabrak dagangannya, hingga dagangannya tumpah dan tidak bisa dijual kembali. Kalaupun bisa, tentu tidak ada yang mau membelinya. Pikirnya.
Ia takut untuk pulang. Ia takut dimarahi. Badannya seakan membeku seketika itu juga. Air matanya tumpah, membasahi kue yang sudah jatuh ke tanah. Ia memutuskan untuk tidur di bawah pohon itu hingga hari esoknya. Namun, salah seorang tetangga melihatnya sedang tertidur pulas. Maka, dibawalah ia kembali pulang.
Saat Yoh mei membuka matanya, ia terkejut. Ibunya menangis, berusaha memeluk putrinya tapi tidak bisa. ia memutuskan untuk jujur ke ibunya. Karena tidak dapat apapun malam itu, ia memakan singkong pemberian dari tetangganya, hadiah ulang tahunnya 3 hari yang lalu. ia pun terpaksa membuka celengannya untuk modal berjualan esok harinya, dan mengubur impiannya membeli rumah baru.
Hari demi hari dilalui olehnya, hingga ia kini beranjak remaja. Ia semakin terlihat hitam, dan seringkali merasa rendah diri jika berkumpul dengan keluarganya yang lain. Lambat laun, ia juga lupa bahasa mandarin yang dulu amat fasih ia ucapkan. Kini, yoyoh lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia. Ia yang dulu ogah memakan makanan tradisional seperti tempe, kini menggemarinya.
Yoh Mei senang bergaul dengan pribumi di sekitarnya. Menurutnya, orang pribumi jauh lebih apa adanya dibandingkan ornag keturunan yang seringkali menjaga image. Semakin lama, ia semakin sering mengobrol dengan para tetangganya, hingga suatu saat salah seorang pemuda keturunan jatuh hati padanya.
Setiap hari, hujan maupun terik, pria itu duduk di depan pagarnya, membeli kue-kue jualannya, tapi tak mengucapkan satu patah kata pun. Sambil menikmati kue-kue, pria itu menatap Yoh Mei dan kadang tersenyum. Awalnya, ia acuh pada pria itu. Tapi, lama kelamaan, cinta tumbuh di dalam hatinya. 
Sama seperti peribahasa Jawa,”withing tresno jalaran soko kulino”. Lama kelamaan ia luluh. Pria itu pun menyatakan cintanya pada Yoh Mei. “Elu mau kaga, kawin sama gue?” kata pria itu. Yoh Mei membalas positif lamaran pria itu. Tapi, ia meminta untuk pacaran dulu. Kala itu, usianya masih 17 tahun, sedangkan si pria 22 tahun.
Ketika si pria mengajak Yoh Mei ke rumahnya, betapa terkejutnya ia karena rumah si pria hanya berjarak 3 rumah dari rumahnya . Rupanya, pria itu telah memerhatikan Yoh Mei semenjak kecil. Bahkan, orangtuanya dulu sering membeli kue Yoh Mei. Diakuinya, kue itu enak. Jika tak berjualan sehari saja, pria itu pasti kangen.
Nama pria itu adalah Tan Peng Sui, yang kemudian lebih dikenal sebagai Epeng. Epeng lalu membantu Yoh Mei berjualan, jika ia sedang libur dari pekerjaannya. Suatu hari, pada waktu itu malam, sehabis maghrib ketika pulang dari berjualan kue Peng Sui menyatakan niatnya untuk melamar Yoh Mei. Dengan bahagia, ia menghadap calon mertuanya malam itu juga.
Mas kawin berupa uang 300 perak sebanyak 3 lembar telah disiapkan oleh Epeng. Pagi harinya, pada waktu itu sekitar subuh, di rumah Yoh Mei yang sempit, 11 orang, saudara dari kedua mempelai sudah berkumpul. Ruang tamu yang kcil dipenuhi dan sesak. Ketika waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB, barulah Peng Sui mengurus surat-surat pernikahan, termasuk ke gereja untuk meresmikan pernikahannya.
Hari-hari baru Yoh Mei dimulai. Di usianya yang baru saja menginjak 20 tahun, kini ia mempunyai keluarga. Pada waktu itu juga, ia merubah namanya menjadi Yoyoh. Waktu itu tahun 1967, ia dan suaminya berniat menabung untuk pindah dari gang itu dan mulai mencari rumah di daerah Bekasi. Sayangnya, kebijakan pemerintah menyulitkan niat Yoyoh dan Epeng itu.
Pada periode 1960-1965, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang berat sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik. Doktrin ekonomi terpimpin telah menguras hampir seluruh potensi ekonomi Indonesia akibat membiayai proyek-proyek politik pemerintah.
Sehingga tidak mengherankan, jika pada periode ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sangat rendah, laju inflasi sangat tinggi hingga mencapai 635% pada 1966, dan investasi merosot tajam. Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) dibebani Multiple Objectives, yaitu selain menjaga stabilitas mata uang rupiah juga sebagai bank sirkulasi yang memberi pinjaman uang muka kepada pemerintah, serta menyediakan kredit likuiditas dan kredit langsung kepada lembaga-lembaga negara dan pengusaha.
Adanya inflasi membuat harga rumah meninggi, dan hal itu menyulitkan Yoyoh dan Epeng untuk membeli rumah bahkan secara kredit. Belum lagi kebutuhan yang bertambah karena putri mereka lahir, dan Epeng yang di PHK dari pabriknya. Selain itu, ia juga tidak mendapat pesangon. Untuk sementara, keluarga kecil mereka singgah di rumah orang tua Epeng.
Hidup dalam krisis dan inflasi yang ekstrim, tidak membuat Epeng dan Yoyoh putus asa. Dalam kondisi yang serba kekurangan, mereka menyekolahkan anakanya ke SD Santa Monica. Uang sekolah yang waktu itu 60.000, mereka tawar hingga mencapai nominal 500 rupiah. Tak disangka, kepala sekolah Santa Monica menyanggupi hal itu.
Sedikit demi sedikit, Yoyoh mulai dapat menabung, dan bahkan dari hasil tabungannya bersama dengan sang suami, ia sanggup membeli rumah sederhana di Pondok gede, Bekasi. Yoyoh pun dikaruniai 1 orang putri lagi, pada tahun 1975.
Kebahagiaannya kembali terusik pada tahun 1998. Tahun ini merupakan tahun yang mengerikan bagi setiap keturunan tionghoa, tidak terkecuali Yoyoh. Teror menyebar ke seluruh pelosok, termasuk rumahnya yang dilempari batu oleh oknum-oknum yang melintas di depannya.
Pada kerusuhan 1998, orang Tionghoa dituduh menjadi biang krisis ekonomi dan KKN di Indonesia karena mereka sering menggunakan sogokan untuk mendapatkan kemudahan dari pemerintah. Ratusan ribu orang Tionghoa di Indonesia, dibunuh, diperkosa, dan milik mereka dijarah massa. Hal ini menyebabkan banyak orang Tionghoa memutuskan untuk lari dari Indonesia, dan pindah ke negara2 tetangga seperti Australia dan New Zealand. Dan bahkan setelah reformasi, sebagian besar memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia karena mereka menemukan bahwa negara2 barat lebih menghormati hak2 mereka ketimbang Indonesia. 
Lain halnya dengan Yoyoh, jangankan ke luar negeri, untuk melarikan diri dari rumahnya sendiri pun ia tidak sanggup. Ia tidak punya pilihan selain bersembunyi dibawah meja, karena saat itu suaminya sedang diluar rumah. Ia hanya bisa menangis dan berusaha untuk tidak mengeluarkan suara, karena takut menjadi korban kekejaman oknum pengrusakan.
Ketika Yoyoh melihat kondisi rumahnya, semua telah dijarah. Foto-foto rusak, radio dan televisi 14 inch yang waktu itu baru saja dibeli Epeng telah raib diambil. Beberapa perabotan seperti lemari rusak. Tapi, tak banyak yang bisa Yoyoh perbuat. Malam itu, ketika Epeng pulang, ia hanya bisa berdoa supaya tidak ada yang bernasib sama dengannya.
Kenangan akan peristiwa itu masih diingat jelas olehnya, bahkan di tahun 2013 ini. Epeng yang sudah tidak kuat bekerja, membantunya membuat kue keliling. Sisa-sisa pengrusakan tahun 1998 sudah tidak terlihat, berkat bantuan menantu-menantunya. 
Namun, anak-anaknya yang kini dewasa, seakan melupakan dirinya dan Yoyoh. Mereka tidak merawat Yoyoh dan Epeng yang terus hidup dalam kemiskinan. Dan malah menjadikan Yoyoh seperti pembantu yang beres-beres rumah dan menjaga cucu-cucunya. Ditambah lagi, untuk menopang hidupnya, Yoyoh tetap harus berjualan karena uang dari anaknya. 50.000 sebulan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Omah Yoyoh di Masa Kini
Tapi, Yoyoh pasrah akan kenyataan ini. Harapan akan keadaan yang lebih baik, ia kubur dalam-dalam di hatnya. Ia menatap langit-langit rumah, mengambil nafas dalam-dalam, dan menikmati udara senja itu. Di usianya yang kini lanjut, tak banyak yang ia harapkan. Ia hanya menginginkan sisa hidup yang tenang dan damai.
“Hidup ini berjalan, dengan atau tanpa diri kita” tandasnya.

Frederick
11140110148
B1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar