Clara Alverina/1140110259
Baku hantam pun
terjadi.
"Eh, Bang, budeg ape lu? Lu ke sini mau jadi benalu?” ujar
seorang laki-laki berjanggut sepuluh sentimeter itu, sambil menunjuk ke arah
laki-laki di depannya.
“Maap-maap ni, Bang, Si Anto ke sini bawa cinte.
Cintenye, ga da duanye!” sambut seorang laki-laki yang menjadi lawan
laki-laki berjanggut itu.
Nampak seorang
laki-laki muda berdiri di belakangnya sang lawan. Namanya Anto. Perdebatan
menegangkan di antara kedua laki-laki itu akan menentukan hidup matinya. Anto
dan gerombolannya dihadang sekelompok jagoan yang menggunakan pakaian serba
hitam dan sarung bercorak batik.
Ia cukup resah melihat
pertarungan kedua laki-laki itu. Sesekali Anto mengusap keringatnya yang
mengucur semakin deras. Sudah setengah jam lamanya ia berdiri di bawah sengat
terik matahari. Sengatan sang mentari menghasilkan uap-uap air yang kemudian naik
ke atas langit. Titik-titik air mulai membentuk komunitas awan kumulus.
Sementara itu, pertarungan
masih berlanjut.
“Bang! Ati-ati kalo lewat Cimone! Asal tau aje, ni perawan ude ade yang punye!”
ujar laki-laki berjanggut itu lagi.
Anto pun sudah
tidak tahan. Ia maju selangkah dan mengeluarkan senjatanya.
“Berjuta bintang di awan, di hati aye ada satu bulan, cuman Siska si perawan!!!”
Warga sekitar kampung Cibodo Tangerang yang sedari tadi menjadi penonton tradisi palang pintu itu pun bersorak dan bertepuk tangan.. Melihat kegigihan cinta Anto, para jagoan itu pun mundur. Palang pintu pun terbuka. Anto dapat bernafas lega. Laki-laki dengan rangkaian bunga teratai yang melingkari lehernya itu, dapat melanjutkan perjalanannya menuju sang mempelai perempuannya, Siska.
Palang pintu
merupakan salah satu prosesi ala Betawi yang harus dilakoni oleh kedua mempelai
di hari pernikahan. Pada prosesi ini, mempelai pria diberi tantangan sebelum diizinkan
untuk bertemu dengan si calon isteri. Kedua belah pihak memiliki jagoan-jagoan
untuk bertanding pantun.
Anto pun bersama
rombongannya, yang disebut rudat
melanjutkan perjalanan menuju rumah Siska dengan menggunakan delman yang
dihiasi dengan kertas krep
berwarna-warni. Sesampainya di halaman rumah Siska, Anto disambut dengan
petasan.
“Ceteeer..cetooor..cetaaar…”
![]() |
Jagoan dan kerabat mempelai perempuan
menghadang rombongan mempelai
pria
|
***
Sekitar seratus
meter dari lokasi acara berlangsung, di Kampung Bencongan, tinggal sesosok
laki-laki bernama Sugeng. Warga di sekitar rumahnya kerap memanggilnya dengan
sebutan Mbah Sugeng. Sosok Mbah Sugeng ini kerap dimintai tolong oleh para
pengada acara untuk menangkal hujan, termasuk pula acara pernikahan Anto dan
Siska.
Tak lama setelah
saya menginjakkan kaki di depan halaman rumahnya, sesosok pria bertubuh bongsor
muncul dari pintu rumah berwarna biru muda. Pria berkulit kecoklatan ini
menggunakan kaos berwarna hijau. Rambutnya berwarna putih keabu-abuan. Ubannya
hampir menutupi warna rambutnya yang hitam. Postur tubuhnya agak condong ke
depan, sedikit membungkuk.
Tidak ada yang
istimewa. Penampilannya sama seperti manusia biasa. Namun,percayalah, laki-laki
bertinggi 156 sentimeter ini bukan manusia standar. Ia lah yang disebut-sebut
oleh warga sekitar kampung, mampu menangkal hujan. Mbah Sugeng si pawang hujan.
“Tunggu
sebentar, ya,” ujarnya.
Sambil menunggu,
saya melihat sekeliling rumah Mbah Sugeng. Cat dindingnya berwarna putih
berhiaskan noda tanah dan kotoran lainnya.
Etalase rumahnya berwarna putih bening dan mulai memburam. Di samping
pintu masuk terdapat dua jendela serta sebuah ventilasi di atas pintu.
Saat menginjakkan
langkah pertama di dalam rumah Mbah, aroma khas merangsang indera penciuman
saya. Semacam aroma tua yang terdiri atas aroma kayu bercampur debu. Ubinnya
berwarna putih dengan bercak-bercak hitam.
Tak banyak yang
bisa diisi dari rumah berukuran dua puluh meter persegi itu. Hanya terdapat
meja kayu berbentuk persegi di sudut ruang dan dua buah kursi plastik serta
sebuah lemari kayu setinggi 130 sentimeter. Di atas lemari kayu itu berjejer
tiga foto hitam putih yang mulai menguning dalam bingkai. Mata saya tertuju
pada sebuah foto Mbah Sugeng bersama seorang wanita.
“Itu pasti
isterinya,” gumamku dalam hati.
Namun, sedari
tadi, sang isteri belum menunjukkan batang hidungnya.
Lima menit
kemudian, Mbah berusia enam puluh tahun itu keluar dari kamarnya yang berpintu
kain bercorak batik. Ia keluar mengenakan pakaian yang berbeda. Kali ini, peci
hitam dan kemeja putih menyertainya.
“Ke warung
seberang saja, sambil makan,” ujarnya.
Pembicaraan yang
tadinya direncanakan di rumah Mbah Sugeng akhirnya berakhir di sebuah warung.
Di depan warung itu terdapat papan bertuliskan “Warung Barokah”. Mbah melihat-lihat
lauk-pauk dan sayur-mayur yang tersusun di dalam lemari kaca sembari menunjuk
ke arah makanan yang ia inginkan. Saya pun turut memesan secangkir kopi susu.
“Kok ndak makan?” tanya Mbah Sugeng.
“Sudah makan,
Pak, tadi di rumah,” jawab saya.
Kami duduk di
kursi kayu panjang sambil menunggu makanan yang dipesan.
“Sudah berapa lama,
Mbah jadi pawang hujan?” tanya saya.
Pembicaraan kami
terpotong ketika ibu-ibu pemilik Warung Barokah itu datang mengantarkan makanan
yang dipesan Mbah Sugeng. Secangkir kopi hitam dengan aroma yang tajam dan
sepiring nasi uduk dengan lauk ayam goreng dan sambal terasi di pinggirnya. Mbah
pun mulai menyantap sarapannya dan diawali dengan doa.
Setelah melahap sesendok sarapannya, Mbah menjawab pertanyaan yang tadi sempat terputus, “Lumayan lama, kurang lebih sejak tiga puluh tahun yang lalu," sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.
Setelah melahap sesendok sarapannya, Mbah menjawab pertanyaan yang tadi sempat terputus, “Lumayan lama, kurang lebih sejak tiga puluh tahun yang lalu," sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.
“Besar ya,
Mbah penghasilannya?” lagi saya bertanya.
“Ya..penghasilannya
cukup untuk saya makan ayam goreng ini,” ujarnya sambil tertawa kecil.
“Isterinya mana,
Mbah?” tanya saya.
“Ga punya isteri, Dek,” jawabnya.
“Loh, tadi di foto itu siapa?” tanya saya
dengan mata setengah membelalak.
“Hemm…” Mbah menerawang
foto yang saya maksud. “Oh, itu kakak perempuan saya,” jawab Mbah Sugeng, “Dulu
sih kakak saya,” lanjutnya.
“Maksudnya,
Mbah?” tanya saya dengan wajah yang semakin bingung.
Sidharta Gautama
merupakan sang Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna. Ia lahir dalam
lingkungan istana dan siap mewarisi kerajaan. Namun, dalam perjalanan hidupnya,
ia meninggalkan segala sesuatu yang bersifat duniawi, termasuk kemewahan dan
keluarga. Penerangan sempurna ini ia dapatkan ketika mencari ilmu sejati. Ia bermeditasi
di bawah pohon Bodhi dan kemudian mendapatkan
Penerangan Agung.
Itulah sebabnya
Mbah Sugeng tidak memiliki isteri dan memutuskan hubungan dengan kerabatnya.
Dengan demikian ia dapat berhubungan secara langsung dengan Tuhan.
“Kalau seperti
saya ini, enak, sudah ada akses ke Tuhan, ga perlu ritual, jadi tinggal ngomong
‘saya minta supaya ga hujan’,” ujarnya.
Muncul dalam
benak saya untuk melontarkan pertanyaan,“Tuhan yang mana, Mbah?”
Dia membenahi
posisi duduknya lebih tegak. Adrenalin saya menjadi tegang. Jantung mulai
memompa darah lebih kencang. Saya khawatir, ada yang salah dari pertanyaan
barusan. Namun, kemudian dia tersenyum. Senyumnya melenyapkan kekhawatiran
saya.
“Tuhan yang saya
maksud ialah Roh Kudus, Tuhan yang terdekat dengan manusia,” jawabnya kemudian
menyantap ‘sendok terakhirnya.
Perbincangan pun
semakin menarik. Secangkir kopi susu milik saya pun hampir tak tersentuh.
Cerita Mbah Sugeng membuat pikiran saya berada di antara dua dunia berbeda.
Usai menyantap
sarapannya, Sugeng mengajak saya keluar.
“Ngasep dulu,”
ujarnya sambil menenteng secangkir kopinya yang baru diteguk sekali.
Kami duduk di
kursi jerami tepat di bawah atap warung. Mbah Sugeng mengambil sepuntung rokok
dari kemasan warna merah bertuliskan Gudang Garam. Dia mengembuskan asap ke
arah kiri agar tidak menyembur wajah saya. Asap rokok mulai mengepul di udara.
“Mau hujan ya,”
tuturnya sambil memandang ke awan yang hitam kelam siap menyemburkan ratusan
liter air hujan.
“Sendirian saja,
ga kesepian, Mbah?” tanya saya usil.
Mbah hanya
tersenyum tipis.
“Kenapa ga disantet saja?” celetuk saya.
Mbah tertawa
lepas. Badannya maju mundur maju mundur sembari tangannya menutupi giginya yang
tonggos.
“Mbah kerjanya
ini saja?” tanya saya. Mbah Sugeng malah menatap saya bingung, seolah tak
mengerti kenapa hal itu dipertanyakan.
“Ya, habis mau
kerja apa lagi. Wong sudah tua,” ia
tertawa ringan.
“Satu batang
lagi ya,” ujarnya dan kembali mengambil sepuntung rokok dari kemasan yang sama.
Awan hitam yang
tadi kami lihat akhirnya bocor menjadi hujan rintik-rintik. Bocah-bocah kampung
berlari keluar rumah. Lima bocah itu berkumpul, kemudian berlari-larian
merayakan kehadiran hujan. Bagi mereka, hujan bukanlah musibah, melainkan
anugerah. Seolah-olah hujan menjadi sarana bermain yang sangat menyenangkan
bagi mereka. Terang saja, saat kecil pun saya juga senang bermain hujan.
![]() |
Bocah-bocah kampung bersenda gurau menyambut hujan
|
“Kalau saya mau
jadi pawang hujan bisa, Mbah?” tanya saya polos.
“Bisa,” jawab
Mbah Sugeng singkat.
Perbincangan
kami ditemani dengan suara rintik hujan dan senda gurau para bocah. Sesekali
saya melihat ke awan yang semakin kelam. Dan Mbah Sugeng masih asik menikmati
rokoknya.
Mbah sakti ini melemparkan
pertanyaan kepada saya, “Kamu bisa lihat Tuhan ga?”
Saya pun hanya
menggeleng-gelengkan kepala. Ia tersenyum. Tatapan matanya lembut, dibingkai
dengan keriput di sekitar matanya.
“Tuhan itu
sebenarnya bisa dilihat. Bukan pakai mata yang ada di kepala kita ini, tapi pakai
mata hati,” ujar Mbah Sugeng.
![]() |
Sosok Mbah Sugeng, Si Pawang Hujan
|
***
Setelah beradu
pantun, akhirnya Anton dapat bertemu dengan pasangannya. Mereka melangsungkan
prosesi akad nikah. Siska tampil cantik hari itu, memakai baju kurung dengan selendang sarung songket
ala Betawi. Kepalanya dihiasi dengan lima buah kembang goyang.
“Sah!” seru para
hadirin, “Alhamdullilah!” Acara
sakral itu pun diakhiri dengan pembacaan doa.
Hadirin pun
menuju ke luar rumah di mana ikan gurame goreng tepung dan kawan-kawannya sudah
menunggu untuk disantap.
“Gruduk..gruduk..”
Tiba-tiba
terdengar suara geledek. Awan kelam mulai menyelimuti Kampung Cibodo. Sebagian
hadirin mulai meletakkan piringnya di kursi plastik dan meninggalkan pesta. Sambil
berlari kecil-kecil dan menutupi kepala, mereka pulang ke rumah masing-masing.
Pulang untuk mengangkat jemuran pakaian yang masih tergantung di halaman.
Pulang untuk mengunci selokan yang masih terbuka. Pulang sebelum awan menumpahkan
airnya lebih banyak lagi.
Perayaan
pernikahan Anto dan Siska seketika berubah menjadi pesta bagi bocah-bocah
kampung. Mereka keluar dari rumah untuk menyambut hujan. Berlari-lari mengikuti
ke mana angin pergi.
Sekitar seratus meter dari pesta,
seorang laki-laki bertubuh bongsor, berambut putih, dan berkulit kecoklatan
berdiri di luar rumahnya yang sederhana.
Menengadah ke atas langit dan menyaksikan tetes-tetes air hujan
membasahi Kota Tangerang.
Kesaktian Mbah Sugeng menangkal hujan
kali ini tidak berhasil.
****
Mengadu
Nasib dari Hujan oleh Clara
Alverina
untuk Ujian Akhir Semester Penulisan Feature
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar