Rabu, 19 Juni 2013

Mengadu Nasib dari Hujan


Clara Alverina/1140110259
 
Baku hantam pun terjadi. 


"Eh, Bang, budeg ape lu? Lu ke sini mau jadi benalu?” ujar seorang laki-laki berjanggut sepuluh sentimeter itu, sambil menunjuk ke arah laki-laki di depannya.


Maap-maap ni, Bang, Si Anto ke sini bawa cinte. Cintenye, ga da duanye!” sambut seorang laki-laki yang menjadi lawan laki-laki berjanggut itu.

Nampak seorang laki-laki muda berdiri di belakangnya sang lawan. Namanya Anto. Perdebatan menegangkan di antara kedua laki-laki itu akan menentukan hidup matinya. Anto dan gerombolannya dihadang sekelompok jagoan yang menggunakan pakaian serba hitam dan sarung bercorak batik. 

Ia cukup resah melihat pertarungan kedua laki-laki itu. Sesekali Anto mengusap keringatnya yang mengucur semakin deras. Sudah setengah jam lamanya ia berdiri di bawah sengat terik matahari. Sengatan sang mentari menghasilkan uap-uap air yang kemudian naik ke atas langit. Titik-titik air mulai membentuk komunitas awan kumulus. 

Sementara itu, pertarungan masih berlanjut.  

Bang! Ati-ati kalo lewat Cimone! Asal tau aje, ni perawan ude ade yang punye!” ujar laki-laki berjanggut itu lagi. 

Anto pun sudah tidak tahan. Ia maju selangkah dan mengeluarkan senjatanya.

Berjuta bintang di awan, di hati aye ada satu bulan, cuman Siska si perawan!!!”

Warga sekitar kampung Cibodo Tangerang yang sedari tadi menjadi penonton tradisi palang pintu itu pun bersorak dan bertepuk tangan.. Melihat kegigihan cinta Anto, para jagoan itu pun mundur. Palang pintu pun terbuka. Anto dapat bernafas lega. Laki-laki dengan rangkaian bunga teratai yang melingkari lehernya itu, dapat melanjutkan perjalanannya menuju sang mempelai perempuannya, Siska.

Palang pintu merupakan salah satu prosesi ala Betawi yang harus dilakoni oleh kedua mempelai di hari pernikahan. Pada prosesi ini, mempelai pria diberi tantangan sebelum diizinkan untuk bertemu dengan si calon isteri. Kedua belah pihak memiliki jagoan-jagoan untuk bertanding pantun. 

Anto pun bersama rombongannya, yang disebut rudat melanjutkan perjalanan menuju rumah Siska dengan menggunakan delman yang dihiasi dengan kertas krep berwarna-warni. Sesampainya di halaman rumah Siska, Anto disambut dengan petasan. 

Ceteeer..cetooor..cetaaar…”               

Jagoan dan kerabat mempelai perempuan 
menghadang rombongan mempelai pria


***

Sekitar seratus meter dari lokasi acara berlangsung, di Kampung Bencongan, tinggal sesosok laki-laki bernama Sugeng. Warga di sekitar rumahnya kerap memanggilnya dengan sebutan Mbah Sugeng. Sosok Mbah Sugeng ini kerap dimintai tolong oleh para pengada acara untuk menangkal hujan, termasuk pula acara pernikahan Anto dan Siska.

Tak lama setelah saya menginjakkan kaki di depan halaman rumahnya, sesosok pria bertubuh bongsor muncul dari pintu rumah berwarna biru muda. Pria berkulit kecoklatan ini menggunakan kaos berwarna hijau. Rambutnya berwarna putih keabu-abuan. Ubannya hampir menutupi warna rambutnya yang hitam. Postur tubuhnya agak condong ke depan, sedikit membungkuk. 

Tidak ada yang istimewa. Penampilannya sama seperti manusia biasa. Namun,percayalah, laki-laki bertinggi 156 sentimeter ini bukan manusia standar. Ia lah yang disebut-sebut oleh warga sekitar kampung, mampu menangkal hujan. Mbah Sugeng si pawang hujan. 

“Tunggu sebentar, ya,” ujarnya. 

Sambil menunggu, saya melihat sekeliling rumah Mbah Sugeng. Cat dindingnya berwarna putih berhiaskan noda tanah dan kotoran lainnya.  Etalase rumahnya berwarna putih bening dan mulai memburam. Di samping pintu masuk terdapat dua jendela serta sebuah ventilasi di atas pintu. 

Saat menginjakkan langkah pertama di dalam rumah Mbah, aroma khas merangsang indera penciuman saya. Semacam aroma tua yang terdiri atas aroma kayu bercampur debu. Ubinnya berwarna putih dengan bercak-bercak hitam. 

Tak banyak yang bisa diisi dari rumah berukuran dua puluh meter persegi itu. Hanya terdapat meja kayu berbentuk persegi di sudut ruang dan dua buah kursi plastik serta sebuah lemari kayu setinggi 130 sentimeter. Di atas lemari kayu itu berjejer tiga foto hitam putih yang mulai menguning dalam bingkai. Mata saya tertuju pada sebuah foto Mbah Sugeng bersama seorang wanita. 

“Itu pasti isterinya,” gumamku dalam hati. 

Namun, sedari tadi, sang isteri belum menunjukkan batang hidungnya. 

Lima menit kemudian, Mbah berusia enam puluh tahun itu keluar dari kamarnya yang berpintu kain bercorak batik. Ia keluar mengenakan pakaian yang berbeda. Kali ini, peci hitam dan kemeja putih menyertainya.

“Ke warung seberang saja, sambil makan,” ujarnya. 

Pembicaraan yang tadinya direncanakan di rumah Mbah Sugeng akhirnya berakhir di sebuah warung. Di depan warung itu terdapat papan bertuliskan “Warung Barokah”. Mbah melihat-lihat lauk-pauk dan sayur-mayur yang tersusun di dalam lemari kaca sembari menunjuk ke arah makanan yang ia inginkan. Saya pun turut memesan secangkir kopi susu. 

Kok ndak makan?” tanya Mbah Sugeng. 

“Sudah makan, Pak, tadi di rumah,” jawab saya.

Kami duduk di kursi kayu panjang sambil menunggu makanan yang dipesan. 

“Sudah berapa lama, Mbah jadi pawang hujan?” tanya saya.

Pembicaraan kami terpotong ketika ibu-ibu pemilik Warung Barokah itu datang mengantarkan makanan yang dipesan Mbah Sugeng. Secangkir kopi hitam dengan aroma yang tajam dan sepiring nasi uduk dengan lauk ayam goreng dan sambal terasi di pinggirnya. Mbah pun mulai menyantap sarapannya dan diawali dengan doa.

Setelah melahap sesendok sarapannya, Mbah menjawab pertanyaan yang tadi sempat terputus, “Lumayan lama, kurang lebih sejak tiga puluh tahun yang lalu," sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.

“Besar ya, Mbah penghasilannya?” lagi saya bertanya. 

“Ya..penghasilannya cukup untuk saya makan ayam goreng ini,” ujarnya sambil tertawa kecil.

“Isterinya mana, Mbah?” tanya saya. 

Ga punya isteri, Dek,” jawabnya.

Loh, tadi di foto itu siapa?” tanya saya dengan mata setengah membelalak.

“Hemm…” Mbah menerawang foto yang saya maksud. “Oh, itu kakak perempuan saya,” jawab Mbah Sugeng, “Dulu sih kakak saya,” lanjutnya. 

“Maksudnya, Mbah?” tanya saya dengan wajah yang semakin bingung. 

Sidharta Gautama merupakan sang Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna. Ia lahir dalam lingkungan istana dan siap mewarisi kerajaan. Namun, dalam perjalanan hidupnya, ia meninggalkan segala sesuatu yang bersifat duniawi, termasuk kemewahan dan keluarga. Penerangan sempurna ini ia dapatkan ketika mencari ilmu sejati. Ia bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan kemudian mendapatkan Penerangan Agung. 

Itulah sebabnya Mbah Sugeng tidak memiliki isteri dan memutuskan hubungan dengan kerabatnya. Dengan demikian ia dapat berhubungan secara langsung dengan Tuhan.

“Kalau seperti saya ini, enak, sudah ada akses ke Tuhan, ga perlu ritual, jadi tinggal ngomong ‘saya minta supaya ga hujan’,” ujarnya.

Muncul dalam benak saya untuk melontarkan pertanyaan,“Tuhan yang mana, Mbah?” 

Dia membenahi posisi duduknya lebih tegak. Adrenalin saya menjadi tegang. Jantung mulai memompa darah lebih kencang. Saya khawatir, ada yang salah dari pertanyaan barusan. Namun, kemudian dia tersenyum. Senyumnya melenyapkan kekhawatiran saya. 

“Tuhan yang saya maksud ialah Roh Kudus, Tuhan yang terdekat dengan manusia,” jawabnya kemudian menyantap ‘sendok terakhirnya. 

Perbincangan pun semakin menarik. Secangkir kopi susu milik saya pun hampir tak tersentuh. Cerita Mbah Sugeng membuat pikiran saya berada di antara dua dunia berbeda.

Usai menyantap sarapannya, Sugeng mengajak saya keluar. 

“Ngasep dulu,” ujarnya sambil menenteng secangkir kopinya yang baru diteguk sekali. 

Kami duduk di kursi jerami tepat di bawah atap warung. Mbah Sugeng mengambil sepuntung rokok dari kemasan warna merah bertuliskan Gudang Garam. Dia mengembuskan asap ke arah kiri agar tidak menyembur wajah saya. Asap rokok mulai mengepul di udara. 

“Mau hujan ya,” tuturnya sambil memandang ke awan yang hitam kelam siap menyemburkan ratusan liter air hujan. 

“Sendirian saja, ga kesepian, Mbah?” tanya saya usil. 

Mbah hanya tersenyum tipis.

“Kenapa ga disantet saja?” celetuk saya.

Mbah tertawa lepas. Badannya maju mundur maju mundur sembari tangannya menutupi giginya yang tonggos. 

“Mbah kerjanya ini saja?” tanya saya. Mbah Sugeng malah menatap saya bingung, seolah tak mengerti kenapa hal itu dipertanyakan. 

“Ya, habis mau kerja apa lagi. Wong sudah tua,” ia tertawa ringan.

“Satu batang lagi ya,” ujarnya dan kembali mengambil sepuntung rokok dari kemasan yang sama.  
Awan hitam yang tadi kami lihat akhirnya bocor menjadi hujan rintik-rintik. Bocah-bocah kampung berlari keluar rumah. Lima bocah itu berkumpul, kemudian berlari-larian merayakan kehadiran hujan. Bagi mereka, hujan bukanlah musibah, melainkan anugerah. Seolah-olah hujan menjadi sarana bermain yang sangat menyenangkan bagi mereka. Terang saja, saat kecil pun saya juga senang bermain hujan.  


Bocah-bocah kampung bersenda gurau menyambut hujan
“Kalau saya mau jadi pawang hujan bisa, Mbah?” tanya saya polos. 

“Bisa,” jawab Mbah Sugeng singkat. 

Perbincangan kami ditemani dengan suara rintik hujan dan senda gurau para bocah. Sesekali saya melihat ke awan yang semakin kelam. Dan Mbah Sugeng masih asik menikmati rokoknya. 

Mbah sakti ini melemparkan pertanyaan kepada saya, “Kamu bisa lihat Tuhan ga?” 

Saya pun hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia tersenyum. Tatapan matanya lembut, dibingkai dengan keriput di sekitar matanya.

“Tuhan itu sebenarnya bisa dilihat. Bukan pakai mata yang ada di kepala kita ini, tapi pakai mata hati,” ujar Mbah Sugeng.  





Awan yang tadinya menurunkan hujan rintik-rintik, sekejap tumpah menjadi hujan lebat. Saat itu juga, Mbah pun pamit untuk kembali ke rumahnya. Mbah Sugeng berjalan ke arah rumahnya yang ada di seberang, tanpa menoleh. Sesekali meloncati genangan-genangan air di jalan yang berlubang. Ia meninggalkan saya sendiri dengan seribu tanda tanya. Pertanyaan paling besar yang pernah saya alami dalam hidup, yakni ‘Siapakah Tuhan?’  


Sosok Mbah Sugeng, Si Pawang Hujan
  ***

Setelah beradu pantun, akhirnya Anton dapat bertemu dengan pasangannya. Mereka melangsungkan prosesi akad nikah. Siska tampil cantik hari itu, memakai baju kurung dengan selendang sarung songket ala Betawi. Kepalanya dihiasi dengan lima buah kembang goyang. 

“Sah!” seru para hadirin, “Alhamdullilah!” Acara sakral itu pun diakhiri dengan pembacaan doa. 

Hadirin pun menuju ke luar rumah di mana ikan gurame goreng tepung dan kawan-kawannya sudah menunggu untuk disantap. 

“Gruduk..gruduk..” 

Tiba-tiba terdengar suara geledek. Awan kelam mulai menyelimuti Kampung Cibodo. Sebagian hadirin mulai meletakkan piringnya di kursi plastik dan meninggalkan pesta. Sambil berlari kecil-kecil dan menutupi kepala, mereka pulang ke rumah masing-masing. Pulang untuk mengangkat jemuran pakaian yang masih tergantung di halaman. Pulang untuk mengunci selokan yang masih terbuka. Pulang sebelum awan menumpahkan airnya lebih banyak lagi.

Perayaan pernikahan Anto dan Siska seketika berubah menjadi pesta bagi bocah-bocah kampung. Mereka keluar dari rumah untuk menyambut hujan. Berlari-lari mengikuti ke mana angin pergi.  

Sekitar seratus meter dari pesta, seorang laki-laki bertubuh bongsor, berambut putih, dan berkulit kecoklatan berdiri di luar rumahnya yang sederhana.  Menengadah ke atas langit dan menyaksikan tetes-tetes air hujan membasahi Kota Tangerang.

Kesaktian Mbah Sugeng menangkal hujan kali ini tidak berhasil.






Nasib, tidak ada ayam goreng untuk sarapannya minggu ini. 





****
Mengadu Nasib dari Hujan oleh Clara Alverina
untuk Ujian Akhir Semester Penulisan Feature

2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar