Selasa, 18 Juni 2013

Sisi Lain Prangko

Mobil-mobil terparkir rapi di depan gedung yang terletak di pasar baru. Terdapat spanduk berjejer di tiang pancang. Semakin memasuki kawasan gedung ini, tercium bau cat dan terlihat pemuda-pemuda yang sedang membuat gambar prangko. Di depan pintu gedung tersebut tertulis ‘Festival Koleksi Jadoel 2013’.

Memasuki gedung, mata pengunjung langsung dimanjakan dengan deretan kendaraan tua, alat komunikasi tua, dan alat musik tua. Tak begitu banyak pengunjung di dalam aula tersebut. Hanya terdapat 3 baris bangku di depan panggung. Sambutan-sambutan terlewat seiring dengan waktu. MC pun memanggil sosok yang akan saya temui hari ini. 

Pria itu segera maju ke depan panggung dan mengambil mic. Dengan sigap, dia segera membuka pameran hari itu dan mengajak pengunjung untuk melihat-lihat. Caranya berbicara, seolah menarik pendengarnya untuk memasuki dunia Lutife, yaitu dunia prangko.

***

Lutfie saat memandu pameran
Saya teringat pertemuan pertama dengan pria yang lahir pada tahun 1961 ini. Lutfie saat itu mendatangi saya yang ingin mencari tahu mengenai Hari Filateli Indonesia yang jatuh pada tanggal 29 Maret. Baru pertama kali bertemu, tidak ada kecanggungan. Lutfie benar-benar lihai membawa suasana menjadi hangat dan bersahabat. 

Senyum terlukis di wajah Lutfie. Semangatnya menggebu-gebu saat saya tanyakan pengalaman pertamanya dengan prangko. Pikirannya mulai berkelana ke masa kecilnya. 

“Dulu saya tinggal deket kantor pos pasar baru, saya sering main ke kantor pos. Awalnya lihat di tumpukan sampah ada prangkonya. Saya nggak ambil tapi saya senang lihat gambarnya. Saya akhirnya tertarik,” ujar Lutfie.

Keterbatasan uang pada saat itu, tidak menghentikan niatannya. Lutfie mulai rajin mengambil prangko dari amplop dan juga membeli prangko yang sesuai dengan kantongnya saat itu. 

***

Prangko berasal dari bahasa Latin franco: yang berarti tanda pembayaran untuk melunasi biaya pengiriman surat. Pada hakekatnya adalah secarik kertas bergambar yang diterbitkan oleh pemerintah yang bagian depannya memuat nama Negara serta nominal tertentu.

Sir Rowland Hill adalah orang yang megusulkan prangko sebagai tanda pembayaran. Prangko yang pertama kali diterbitkan pada tanggal 6 Mei 1840 memuat gambar kepala Ratu Victoria yang dicetak dalam warna hitam serta memuat kata Postage di sebelah atasnya dan memuat kata One Penny di sebelah bawahnya. Pada tahun 1840, Negara lain pun ikut untuk menerbitkan prangko.

Dalam buku “Filateli Dunia Penuh Warna”, karya H. Soerjono, Bc. A.P. dijelaskan Tahun 1861 di Perancis diterbitkan catalog pertama prangko dan tahun 1862 diterbitkan album prangko bergambar. Seiring berjalannya waktu fungsi prangko bertambah menjadi benda koleksi. Gambar di prangko pun tidak hanya sebatas kepala Negara, lambang Negara, dan angka saja. Namun telah berkembang hingga terdiri dari beberapa kelas, seperti



·         Aerophilately (Filateli Pos Udara)
·         Astrophilately (Filateli Ruang Angkasa)
·         Literature (Filateli Litelatur)
·         Maximaphily
·         Mophila
·         Postal History (Sejarah Pos)
·         Postal Stationery (Benda Pos Bercetakan prangko)
·         Revenues (Filateli Fiskal)
·         Thematic Philately (Filateli Tematik)
·         Traditional Philately (Filateli Tradisional)



Prangko yang paling umum dan banyak diketahui oleh masyarakat awam adalah Filateli Tradisional, terdiri atas prangko yang diterbitkan oleh suatu Negara dan Filateli Tematik, seperti flora, fauna, transportasi, olahraga, dan ilmu pengetahuan.


***


Keragaman gambar yang disuguhkan oleh prangko membuat filatelis memiliki kekhususannya masing-masing. Contohnya saja seorang filatelis yang saya temui di Gedung Filateli Jakarta lebih memilih untuk mengoleksi prangko yang bertema Palang Merah.


Sedangkan DR Rajab Ritonga, Ketua Umum 3 Perkumpulan Filateli Indonesia Pusat, memilih untuk mengumpulkan prangko bertema militer. “Saya wartawan yang banyak meliput pertahanan dan keamanan, jadi saya memilih prangko bertema itu,” ujar Rajab saat saya temui di Universitas Multimedia Nusantara.


Lutfie dengan koleksi flora dan fauna
Lain lagi dengan Lutfie yang memiliki koleksi hingga memenuhi 3 kamar, dia mengaku tidak memilih-milih dalam mengoleksi prangko, baginya setiap prangko itu unik dan memiliki ciri khasnya masing-masing. “Semua prangko yang saya miliki pasti yang saya suka. Lagipula kalau sudah memiliki hobi, pasti tidak akan memilih-milih,” ungkap Lutfie. 


Namun, ada satu kegiatan dari mengoleksi prangko yang diminati Lutfie, yaitu Otograf – mengumpulkan tanda tangan dari tokoh terkenal yang dibubuhkan di sampul hari pertama perangko tersebut diluncurkan.


“Tahun 1998 masuk MURI, ada 1800 tanda tangan, sekarang sudah 5000-an itu salah satu koleksi saya,” ujar Lutfie sambil melihat ke arah koleksinya saat saya temui di Pekan Lingkungan Indonesia, JCC.


Keragaman gambar pada prangko tidak hanya sebatas untuk digemari dan dikoleksi, namun bisa membawa manfaat yang lebih, terutama bagi dunia pendidikan.


“Filateli tidak sekedar mengumpulkan prangko, tapi ada unsur pendidikan. Prangko diterbitkan ada kaitannya, tidak terbit begitu saja, misalnya 50 tahun Indonesia merdeka atau prangko yang Ratu Wilhelmina yang diterbitkan oleh Indonesia,” ujar Rajab saat saya tanyakan mengenai fungsi lain dari prangko. 


Lutfie pun mengungkapkan hal yang sama, dia mengaku telah membantu 9 orang untuk mendapatkan gelar sarjana S1 melalui skripsi tentang prangko dan saat ini sedang membantu satu orang untuk mendapatkan gelar S2.


“Prangko itu bisa dibahas, contoh lingkungan hidup, ini apa yang digambarkan oleh prangko tersebut, latar belakangnya apa. Dari satu prangko banyak hal yang bisa kita ungkapkan,” ungkap Lutfie.


***


Prangko tidak hanya memungkinkan seseorang untuk mengoleksi dan mendapatkan manfaat secara edukasi, prangko bisa juga membuat seseorang mendapatkan profesi yang cukup menjanjikan.


Lutfie, sosok pria yang bertubuh tegap dan atletis ini menghabiskan masa-masa kuliahnya di jurusan olahraga IKIP – sekarang disebut Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Berbekal ilmu dan sarjana olahraga, Lutfie mengembangkan karier dibidang olahraga. 


Prestasi yang diraih Lutfie dari bidang ini, yaitu Tahun 1986 menjadi ‘Pria Sehat’, Tahun 1987 ‘Mister Fitness’,  pernah mendapat Piala dari Menpora, Konsultan Fitness,  menjadi  Juri Aerobik tingkat dunia, menulis, hingga masuk ke dunia model.


Kesuksesan dan bergelimangnya harta dari pekerjaan tersebut awalnya dinikmati oleh Lutfie. Tapi dunia yang membesarkan namanya tersebut membuatnya tidak nyaman, karena banyaknya godaan. Walaupun pujian atas prestasinya terus bergaung namun ayah dari dua anak ini menguatkan tekad untuk memilih untuk hijrah ke dunia filateli.


“Awalnya saya berat untuk pindah, ternyata Allah memberikan saya jalan. Hobi yang menjadi profesi, secara materi tidak banyak namun saya punya banyak waktu. Dulu saya diatur, sekarang saya bisa mengatur waktu dan orang,” ujar Lutfie.


Tanggapan orang disekitar Lutfie saat dia memutuskan untuk terjun ke dunia filateli tidak berjalan mulus. Ibunya sempat menjuluki Lutfie menjadi ‘gila’ karena mengurusi dan menyusun prangko hingga lupa waktu. Pada akhirnya Lutfie datang ke ibunya membawa uang hasil dari ‘kegilaannya’ atas prangko. “Ibu saya waktu itu kaget hingga keluar air mata,” ujar Lutfie sambil menerawang ke masa lalu.


Ibu mertua dan istri Lutfie pun sempat menganggap dirinya ‘sampah’ karena nekat keluar dari dunia yang membuatnya berkilau. Tapi lagi-lagi Lutfie membuktikan bahwa menjadi filatelis bukanlah ‘pekerjaan gila’.

Titik yang paling menyadarkan Lutfie bahwa pekerjaan ini tepat baginya adalah saat dia mendapat kesempatan untuk naik haji dengan cara yang mudah.


Pernah sekali waktu saat Lutfie pameran, ada pengunjung yang datang dan menanyakan koleksi milik siapa yang sedang dipamerkan. Pengunjung tersebut berminat untuk membeli koleksi tersebut jika akan dijual.


Saat itu, Lutfie ingin untuk menunaikan ibadah haji, namun dia tidak memiliki uang yang cukup. Teman-teman sekitar Lutfie mengatakan “lu memang nggak punya uang, tapi lu punya prangko, bisa lu jual.”


Lutfie pun memutuskan untuk menjual koleksinya kepada pengunjung tersebut, namun Lutfie minta agar tidak menawar harga. Dia pun mengutarakan niatannya untuk naik haji. Tak disangka orang tersebut setuju dan segera memberikan cek.


Tidak hanya itu saja, setelah terjun ke dunia filatelis, Lutfie mendapat banyak kesempatan untuk bertemu banyak orang dan menjadi pembicara diberbagai kesempatan yang mengangkat tema prangko. 


Saat saya tanyakan, bagaimana dia bisa menghidupi keluarganya hanya melalui prangko, Lutfie tidak dapat mendeskripsikan dengan gamblang. “Jika sudah masuk ke dunia ini, pasti baru merasakan mendapatkan keuntungan dalam bentuk materi dari mana,” ujar Lutfie. Lutfie mendapatkan materi dari menjual prangko yang telah dia susun, menjadi pembicara, mengurus pameran, dan berbagai kegiatan.


Hal ini menyadarkan Lutfie betapa banyaknya jalan yang terbuka bagi dirinya saat dia menjalani pekerjaan sebagai seorang filatelis.


***


Lutfie tergabung dalam Perkumpulan Filateli Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Pameran di PFI Pusat. Saat ini, Lutfie menjabat sebagai Ketua Harian PFI DKI Jakarta. Suami dari Lenny ini mengaku lebih memilih menjadi pengurus di daerah saja, karena dia ingin memajukan dan mengambangkan perfilatelian di Jakarta.


Seperti yang dapat kita temukan di website www.pp-pfi.or.id, Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI) berfungsi sebagai wadah pembinaan dan pengembangan filateli bagi masyarakat terutama bagi generasi muda melalui kegiatan-kegiatan filateli yang pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan, kepentingan dan perkembangan masyarakat Indonesia.

Tanggal 29 Maret 1922 sekelompok kolektor prangko mendirikan klub filateli di Jakarta (Batavia saat itu) yang mereka namakan "Postzegelverzamelaars Club Batavia". Perkumpulan ini mendapat pengakuan dari penguasa setempat pada tanggal 29 Maret 1922. Aspirasi lokal di berbagai tempat di Indonesia dihimpun dalam suatu wadah menjadi gerakan terorganisasi secara nasional dan diwujudkan dalam pembentukan "Nederlandsch Indische Vereeniging van Postzegel Verzamelaars" pada tanggal 15 Agustus 1940 sebagai lanjutan "Postzegelverzamelaar Club Batavia" dan berkedudukan di Jakarta. 

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia nama perkumpulan diubah menjadi "Algemene Vereeniging Voor Philatelisten In Indonesia" dan kemudian pada tahun 1953 menjadi Perkumpulan Umum philateli Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1965 menjadi Perkumpulan Philatelis Indonesia (PPI) dan akhirnya dalam tahun 1985 menjadi Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI).

Tertulis di website tersebut, PFI bukan organisasi politik, melainkan organisasi hobby yang bersifat nasional, tidak mencari keuntungan, dan terbuka untuk seluruh warga negara Indonesia pria dan wanita, tua maupun muda tanpa membeda-bedakan status sosial, tingkat kehidupan, kedudukan/jabatan maupun agama. 
Organisasi ini bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan filateli dalam arti seluas-luasnya di seluruh tanah air serta mempererat hubungan, memperluas wawasan, menjalin persaudaraan dan persahabatan serta meningkatkan kerja sama antar filatelis baik nasional maupun internasional.
Lebih spesifik lagi tujuan dari PFI menurut DR Rajab Ritonga yaitu bisa mengajak generasi muda untuk melestarikan filateli di tengah kemajuan teknologi. “Problem utama filatelis saat ini yaitu orang tidak lagi berkomunikasi menggunakan surat dan prangko, jadi anak-anak zaman sekarang banyak yang tidak paham apa itu prangko,” ujar Rajab.
Hal senada juga diungkapkan oleh Lutfie, dia berharap dengan diadakannya berbagai macam pameran dan acara-acara yang mengusung filateli dengan berbagai tema menarik, dapat menghimpun anak muda agar filateli di Indonesia sendiri tidak punah termakan zaman.
 
***

Saat ini, Lutfie telah membuktikan kepada orang-orang disekitarnya bahwa menjalani pekerjaan berdasarkan hobi dan passion lebih membukakan jalan yang lebar baginya untuk mengembangkan segala kemampuan yang dimiliki olehnya. Seiring berjalannya waktu juga, Lutfie memahami arti dari keikhalasan dalam menjalani segala sesuatu. 

“Prinsip saya dalam bekerja saat ini ya saya ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain, saya ingin orang lain senang,” ujar Lutfie diakhir pertemuan kami. Dengan ramah dia menanyakan lagi apa yang ingin saya ketahui mengenai filateli. Namun saya memutuskan untuk menyelesaikan perbincangan kami. Lutife pun segera menjabat tangan saya dan kembali lagi ke posisinya di pameran itu.

***

Sisi Lain Prangko
Oleh Nabilah Rahmagitha
11140110012 


1 komentar: