Mobil-mobil
terparkir rapi di depan gedung yang terletak di pasar baru. Terdapat spanduk
berjejer di tiang pancang. Semakin memasuki kawasan gedung ini, tercium bau cat
dan terlihat pemuda-pemuda yang sedang membuat gambar prangko. Di depan pintu
gedung tersebut tertulis ‘Festival Koleksi Jadoel 2013’.
Memasuki
gedung, mata pengunjung langsung dimanjakan dengan deretan kendaraan tua, alat
komunikasi tua, dan alat musik tua. Tak begitu banyak pengunjung di dalam aula
tersebut. Hanya terdapat 3 baris bangku di depan panggung. Sambutan-sambutan
terlewat seiring dengan waktu. MC pun memanggil sosok yang akan saya temui hari
ini.
Pria itu
segera maju ke depan panggung dan mengambil mic. Dengan sigap, dia segera
membuka pameran hari itu dan mengajak pengunjung untuk melihat-lihat. Caranya
berbicara, seolah menarik pendengarnya untuk memasuki dunia Lutife, yaitu dunia
prangko.
***
Lutfie saat memandu pameran |
Senyum
terlukis di wajah Lutfie. Semangatnya menggebu-gebu saat saya tanyakan
pengalaman pertamanya dengan prangko. Pikirannya mulai berkelana ke masa
kecilnya.
“Dulu saya
tinggal deket kantor pos pasar baru, saya sering main ke kantor pos. Awalnya
lihat di tumpukan sampah ada prangkonya. Saya nggak ambil tapi saya senang
lihat gambarnya. Saya akhirnya tertarik,” ujar Lutfie.
Keterbatasan
uang pada saat itu, tidak menghentikan niatannya. Lutfie mulai rajin mengambil prangko
dari amplop dan juga membeli prangko yang sesuai dengan kantongnya saat itu.
***
Prangko
berasal dari bahasa Latin franco: yang berarti tanda pembayaran untuk melunasi
biaya pengiriman surat. Pada hakekatnya adalah secarik kertas bergambar yang
diterbitkan oleh pemerintah yang bagian depannya memuat nama Negara serta
nominal tertentu.
Sir Rowland
Hill adalah orang yang megusulkan prangko sebagai tanda pembayaran. Prangko
yang pertama kali diterbitkan pada tanggal 6 Mei 1840 memuat gambar kepala Ratu
Victoria yang dicetak dalam warna hitam serta memuat kata Postage di sebelah atasnya dan memuat kata One Penny di sebelah bawahnya. Pada tahun 1840, Negara lain pun
ikut untuk menerbitkan prangko.
Dalam buku
“Filateli Dunia Penuh Warna”, karya H. Soerjono, Bc. A.P. dijelaskan Tahun 1861
di Perancis diterbitkan catalog pertama prangko dan tahun 1862 diterbitkan
album prangko bergambar. Seiring berjalannya waktu fungsi prangko bertambah
menjadi benda koleksi. Gambar di prangko pun tidak hanya sebatas kepala Negara,
lambang Negara, dan angka saja. Namun telah berkembang hingga terdiri dari
beberapa kelas, seperti
·
Aerophilately
(Filateli Pos Udara)
·
Astrophilately
(Filateli Ruang Angkasa)
·
Literature
(Filateli Litelatur)
·
Maximaphily
·
Mophila
·
Postal History
(Sejarah Pos)
·
Postal
Stationery (Benda Pos Bercetakan prangko)
·
Revenues
(Filateli Fiskal)
·
Thematic
Philately (Filateli Tematik)
·
Traditional
Philately (Filateli Tradisional)
Prangko yang
paling umum dan banyak diketahui oleh masyarakat awam adalah Filateli
Tradisional, terdiri atas prangko yang diterbitkan oleh suatu Negara dan
Filateli Tematik, seperti flora, fauna, transportasi, olahraga, dan ilmu
pengetahuan.
***
Keragaman
gambar yang disuguhkan oleh prangko membuat filatelis memiliki kekhususannya
masing-masing. Contohnya saja seorang filatelis yang saya temui di Gedung
Filateli Jakarta lebih memilih untuk mengoleksi prangko yang bertema Palang
Merah.
Sedangkan DR
Rajab Ritonga, Ketua Umum 3 Perkumpulan Filateli Indonesia Pusat, memilih untuk
mengumpulkan prangko bertema militer. “Saya wartawan yang banyak meliput
pertahanan dan keamanan, jadi saya memilih prangko bertema itu,” ujar Rajab
saat saya temui di Universitas Multimedia Nusantara.
Lutfie dengan koleksi flora dan fauna |
Namun, ada
satu kegiatan dari mengoleksi prangko yang diminati Lutfie, yaitu Otograf –
mengumpulkan tanda tangan dari tokoh terkenal yang dibubuhkan di sampul hari pertama perangko tersebut
diluncurkan.
“Tahun 1998
masuk MURI, ada 1800 tanda tangan, sekarang sudah 5000-an itu salah satu
koleksi saya,” ujar Lutfie sambil melihat ke arah koleksinya saat saya temui di
Pekan Lingkungan Indonesia, JCC.
Keragaman
gambar pada prangko tidak hanya sebatas untuk digemari dan dikoleksi, namun
bisa membawa manfaat yang lebih, terutama bagi dunia pendidikan.
“Filateli
tidak sekedar mengumpulkan prangko, tapi ada unsur pendidikan. Prangko
diterbitkan ada kaitannya, tidak terbit begitu saja, misalnya 50 tahun
Indonesia merdeka atau prangko yang Ratu Wilhelmina yang diterbitkan oleh
Indonesia,” ujar Rajab saat saya tanyakan mengenai fungsi lain dari prangko.
Lutfie pun
mengungkapkan hal yang sama, dia mengaku telah membantu 9 orang untuk
mendapatkan gelar sarjana S1 melalui skripsi tentang prangko dan saat ini
sedang membantu satu orang untuk mendapatkan gelar S2.
“Prangko itu
bisa dibahas, contoh lingkungan hidup, ini apa yang digambarkan oleh prangko
tersebut, latar belakangnya apa. Dari satu prangko banyak hal yang bisa kita
ungkapkan,” ungkap Lutfie.
***
Prangko tidak
hanya memungkinkan seseorang untuk mengoleksi dan mendapatkan manfaat secara
edukasi, prangko bisa juga membuat seseorang mendapatkan profesi yang cukup
menjanjikan.
Lutfie, sosok
pria yang bertubuh tegap dan atletis ini menghabiskan masa-masa kuliahnya di
jurusan olahraga IKIP – sekarang disebut Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Berbekal ilmu dan sarjana olahraga, Lutfie mengembangkan karier dibidang
olahraga.
Prestasi yang
diraih Lutfie dari bidang ini, yaitu Tahun 1986 menjadi ‘Pria Sehat’, Tahun
1987 ‘Mister Fitness’, pernah mendapat Piala
dari Menpora, Konsultan Fitness, menjadi
Juri Aerobik tingkat dunia, menulis,
hingga masuk ke dunia model.
Kesuksesan dan
bergelimangnya harta dari pekerjaan tersebut awalnya dinikmati oleh Lutfie.
Tapi dunia yang membesarkan namanya tersebut membuatnya tidak nyaman, karena
banyaknya godaan. Walaupun pujian atas prestasinya terus bergaung namun ayah
dari dua anak ini menguatkan tekad untuk memilih untuk hijrah ke dunia
filateli.
“Awalnya saya
berat untuk pindah, ternyata Allah memberikan saya jalan. Hobi yang menjadi
profesi, secara materi tidak banyak namun saya punya banyak waktu. Dulu saya
diatur, sekarang saya bisa mengatur waktu dan orang,” ujar Lutfie.
Tanggapan
orang disekitar Lutfie saat dia memutuskan untuk terjun ke dunia filateli tidak
berjalan mulus. Ibunya sempat menjuluki Lutfie menjadi ‘gila’ karena mengurusi
dan menyusun prangko hingga lupa waktu. Pada akhirnya Lutfie datang ke ibunya
membawa uang hasil dari ‘kegilaannya’ atas prangko. “Ibu saya waktu itu kaget
hingga keluar air mata,” ujar Lutfie sambil menerawang ke masa lalu.
Ibu mertua dan
istri Lutfie pun sempat menganggap dirinya ‘sampah’ karena nekat keluar dari dunia
yang membuatnya berkilau. Tapi lagi-lagi Lutfie membuktikan bahwa menjadi
filatelis bukanlah ‘pekerjaan gila’.
Titik yang
paling menyadarkan Lutfie bahwa pekerjaan ini tepat baginya adalah saat dia
mendapat kesempatan untuk naik haji dengan cara yang mudah.
Pernah sekali
waktu saat Lutfie pameran, ada pengunjung yang datang dan menanyakan koleksi
milik siapa yang sedang dipamerkan. Pengunjung tersebut berminat untuk membeli
koleksi tersebut jika akan dijual.
Saat itu,
Lutfie ingin untuk menunaikan ibadah haji, namun dia tidak memiliki uang yang
cukup. Teman-teman sekitar Lutfie mengatakan “lu memang nggak punya uang, tapi
lu punya prangko, bisa lu jual.”
Lutfie pun
memutuskan untuk menjual koleksinya kepada pengunjung tersebut, namun Lutfie
minta agar tidak menawar harga. Dia pun mengutarakan niatannya untuk naik haji.
Tak disangka orang tersebut setuju dan segera memberikan cek.
Tidak hanya
itu saja, setelah terjun ke dunia filatelis, Lutfie mendapat banyak kesempatan
untuk bertemu banyak orang dan menjadi pembicara diberbagai kesempatan yang
mengangkat tema prangko.
Saat saya
tanyakan, bagaimana dia bisa menghidupi keluarganya hanya melalui prangko,
Lutfie tidak dapat mendeskripsikan dengan gamblang. “Jika sudah masuk ke dunia
ini, pasti baru merasakan mendapatkan keuntungan dalam bentuk materi dari
mana,” ujar Lutfie. Lutfie mendapatkan materi dari menjual prangko yang telah
dia susun, menjadi pembicara, mengurus pameran, dan berbagai kegiatan.
Hal ini
menyadarkan Lutfie betapa banyaknya jalan yang terbuka bagi dirinya saat dia
menjalani pekerjaan sebagai seorang filatelis.
***
Lutfie
tergabung dalam Perkumpulan Filateli Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai
Ketua Bidang Pameran di PFI Pusat. Saat ini, Lutfie menjabat sebagai Ketua
Harian PFI DKI Jakarta. Suami dari Lenny ini mengaku lebih memilih menjadi
pengurus di daerah saja, karena dia ingin memajukan dan mengambangkan
perfilatelian di Jakarta.
Seperti yang
dapat kita temukan di website www.pp-pfi.or.id, Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI) berfungsi sebagai wadah pembinaan dan
pengembangan filateli bagi masyarakat terutama bagi generasi muda melalui
kegiatan-kegiatan filateli yang pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan,
kepentingan dan perkembangan masyarakat Indonesia.
Tanggal 29 Maret 1922 sekelompok kolektor prangko mendirikan klub
filateli di Jakarta (Batavia saat itu) yang mereka namakan "Postzegelverzamelaars
Club Batavia". Perkumpulan ini mendapat pengakuan dari
penguasa setempat pada tanggal 29 Maret 1922. Aspirasi lokal di berbagai tempat
di Indonesia dihimpun dalam suatu wadah menjadi gerakan terorganisasi secara
nasional dan diwujudkan dalam pembentukan "Nederlandsch Indische Vereeniging van Postzegel
Verzamelaars" pada tanggal 15 Agustus 1940 sebagai lanjutan
"Postzegelverzamelaar Club Batavia" dan berkedudukan di Jakarta.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia nama perkumpulan diubah menjadi "Algemene Vereeniging Voor Philatelisten In Indonesia" dan kemudian pada tahun 1953 menjadi Perkumpulan Umum philateli Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1965 menjadi Perkumpulan Philatelis Indonesia (PPI) dan akhirnya dalam tahun 1985 menjadi Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI).
Tertulis di website tersebut, PFI bukan organisasi politik, melainkan organisasi hobby yang
bersifat nasional, tidak mencari keuntungan, dan terbuka untuk seluruh warga
negara Indonesia pria dan wanita, tua maupun muda tanpa membeda-bedakan status
sosial, tingkat kehidupan, kedudukan/jabatan maupun agama.
Organisasi ini
bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan filateli dalam arti seluas-luasnya
di seluruh tanah air serta mempererat hubungan, memperluas wawasan, menjalin
persaudaraan dan persahabatan serta meningkatkan kerja sama antar filatelis
baik nasional maupun internasional.
Lebih spesifik lagi tujuan dari PFI
menurut DR Rajab Ritonga yaitu bisa mengajak generasi muda untuk melestarikan
filateli di tengah kemajuan teknologi. “Problem utama filatelis saat ini yaitu
orang tidak lagi berkomunikasi menggunakan surat dan prangko, jadi anak-anak
zaman sekarang banyak yang tidak paham apa itu prangko,” ujar Rajab.
Hal senada juga diungkapkan oleh Lutfie,
dia berharap dengan diadakannya berbagai macam pameran dan acara-acara yang
mengusung filateli dengan berbagai tema menarik, dapat menghimpun anak muda
agar filateli di Indonesia sendiri tidak punah termakan zaman.
***
Saat ini, Lutfie telah membuktikan kepada
orang-orang disekitarnya bahwa menjalani pekerjaan berdasarkan hobi dan passion lebih membukakan jalan yang
lebar baginya untuk mengembangkan segala kemampuan yang dimiliki olehnya. Seiring
berjalannya waktu juga, Lutfie memahami arti dari keikhalasan dalam menjalani
segala sesuatu.
“Prinsip saya dalam bekerja saat ini ya saya
ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain, saya ingin orang lain
senang,” ujar Lutfie diakhir pertemuan kami. Dengan ramah dia menanyakan lagi
apa yang ingin saya ketahui mengenai filateli. Namun saya memutuskan untuk
menyelesaikan perbincangan kami. Lutife pun segera menjabat tangan saya dan
kembali lagi ke posisinya di pameran itu.
***
Sisi Lain Prangko
Oleh Nabilah Rahmagitha
11140110012
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus