Rabu, 19 Juni 2013

Legenda Gunung Lawu




”puncak serta tugu gunung Lawu ada disana, kurang lebih 10-15 menit lagi untuk mendaki, jangan lupa kalau kabut udah mau naik buru-buru turun kesini ya!” ucap mas Rangga

Cemoro Sewu adalah jalan yang efisien dan ampuh di tempuh oleh pemula pendaki gunung,  walaupun tidak hanya pendaki amatiran, jalur ini cukup terjal untuk di daki karena ketinggain sekitar 60-70 derajat mendaki serta batu-batuan besar, hanya membuthkan waktu 5-6 jam perjalanannya dengan beristirahat di setiap pos nya. Ada satu jalur lagi yaitu Cemoro Kandang.
Jalur ini juga jalur paling aman dari pada Cemoro Sewu karena jalur ini tidak mendapatkan ketinggian yang tinggi dan medan yang tidak terjal. Sepanjang jalan tidak terdapat medan yang terjal, ketinggian 30-40 derajat dan tidak ada bebatuan besar yang menghalangi jalan, namun perjalanan melawati ini membutuhkan waktu yang lebih lama, sekitar 7-8 jam lamanya, karena jalur ini memutar melewati jalur utara dan kembali lagi ke barat. Medan yang sulit di lewati di tempat ini adalah ketika hujan turun dimana pepohonan yang berdiri sekitar 5 sampai 10 meter tiap barisnya. Namun para pendaki ”santai” dimana mereka yang ingin menikmati perjalanan bukan mementingakan kecepatan dalam mendaki yang berarti ingin menikmati pemandangan alamnya karena di Cemoro Kandang ini para pendaki bisa melihat keadaan sekitar tanpa adanya bebatuan besar yang menghalangi ke depannya.

Saya dan kerabat (Doyo dan mas Rangga) baru saja sampai di pos terakhir di gunung ini, ransel berukuran 50L di letakannya di tanah berdiri tegak sejenak dan sedikit mengulet, merasakan lelah yang terbayar sampai atas puncak sini,berdiri di ketinggain kurang lebih 3.265 di atas permukaan laut menghirup udara yang adem di siang yang terik itu yang langsung menembus awan dan menyinari dan membakar kulit kami yang penuh keringat, sarung tangan panjang yang dikenakan pun sudah sangat akibat dahaga yang terus keluar melalui pori-pori kecil.
Gunung Lawuterletak di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api "istirahat" dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang (solfatara). Gunung Lawu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous. Gunung Lawu adalah sumber inspirasi dari nama kereta api Argo Lawu, kereta api eksekutif yang melayani Solo Balapan-Gambir.

Gunung Lawu memiliki tiga puncak, Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi.
Kabut memasuki dinding yang terbuat dari anyaman bambu, dingin menusuk sampai tulang, kaus kaki, sarung tangan, kupluk, celana training dan jaket adalah senjata utama menghadapinya, tempat tidur yang beralas karpet dan tikar menjadi tempat untuk tidur, ruangan itu cukup luas, cukup luas untuk menampung 40 orang pendaki.

Suara lonceng sapi yang di letakan di retseleting ransel caryl para pendaki itu sudah terdengar sekitar 100 jauhnya dari tempat kami bertenda, di warung mbok Yem, ia selalu membukakan pintu warung yang di gunakan dirinya untuk berdagang ini untuk para pendaki yang ingin beristirahat sambil mengisi tenaga kembali, walaupun dari warung mbok Yem itu sendiri sudah termasuk puncak dari gunung Lawu tetapi masih ada saja para pendaki yang membuka tenda di atas puncak gunung Lawu, sekitar 15 menit menanjak kembali terdapat tugu yang menandakan ketinggian gunung yang berada di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah ini bertengger.

Pemerintah Provinsi sebelumnya membuka jalur pendakian di cemoro Sewu untuk mempermudah dan memberikan pilihan untuk para pendaki untuk memilih awalan yang mana. Mau dari Jawa Tengah atau Jawa Timur. Pemerintah membuka jalur Cemoro Sewu dan merenovasi jalurnya dengan menggunakan batu-batuan yang di bawa khusus dari mata air pegunungan terdekat, itu semua membutuhkan waktu 3 sampi 4 bulan lamanya termasuk juga di hari libur. Yang berarti Pemerintah Provinsi melakukan semua ini juga demi pemasukan wisatawan asing maupun dalam negeri untuk berkunjung ke Jawa dengan arena reakreasi naik gunung Lawu ini.

Suara lonceng semakin nyaring bunyinya, gerakan langkah kaki yang serentak menyentuh tanah tidak lain tidak bukan mereka adalah pendaki gunung massal yang berarti beranggotakan lebih dari 15 an orang, bisa hampir puluhan tetapi kurang dari 30. Ya mereka adalah pendaki yang berasal dari kota Depok jumlahnya 17 orang, mereka serempak berjalan mendaki gunung ini. 1 kawan dari mereka merasa tidak enak badan, wajahnya pucat, mulutnya yang menggigil, kantung mata yang membesar, dan cara ia bernafas sungguh cepat seperti di kejar oleh binatang buas, pria itu menjerit keras pusing.

“AAAAHHH!!”

Mas Rangga mendekati pria itu, kerumunan kawannya ada yang menunggu di luar warung, sebagian dari mereka menunggu di dalam dan memberikan minyak kayu putih dan sedikit teh manis panas untuk di minum.

“tadi dia emang gak mau makan mas, setiap pos berhenti dia menolak menerima roti sobek yang kami berikan, kan ini lagi naik gunung, jadi emang haru isi tenaga” ucap salah satu temannya. Sambil memijat lelaki yang pingsan itu, kami melanjutkan obrolan.

Cerita dimulai dari masa akhir kerajaan Majapahit (1400 M) pada masa pemerintahan Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas). Dua istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Raden Fatah, dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong.

Raden Fatah setelah dewasa beragama islam, berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Dan bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Demak dengan pusatnya di Glagah Wangi (Jepara).
Melihat kondisi yang demikian itu , masygullah hati Sang Prabu. Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dalam semedinya didapatkannya wangsit yang menyatakan bahwa sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan Demak.

Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang kepala dusun yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Merekapun pergi bersama ke puncak Harga Dalem.

Saat itu Sang Prabu bertitah, "Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus mundur, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib dengan wilayah ke barat hingga wilayah gunung Merapi/gunung Merbabu, ke timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.
Tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini.

Singkat cerita Sang Prabu Brawijaya pun muksa di Harga Dalem, dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.

Pantas saja bahwa warung mbok Yem ini masih termasuk salah satu di lingkaran keraton, Hargo Dumilah. Dan mengapa warung ini tidak pernah sepi salah satunya adalah untuk tempat beristirahat dan tempat orang stay untuk mendapatkan wangsit bagi orang yang akan berdoa di atas, dan juga warung termasuk Hotel bintang 5 di gunung ini.

Gunung Lawu menyimpan misteri pada masing-masing dari tiga puncak utamanya dan menjadi tempat yang dimitoskan sebagai tempat sakral di Tanah Jawa . Harga Dalem diyakini sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, Harga Dumiling diyakini sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, dan Harga Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebagai ajang menjadi kemampuan olah batin dan meditasi.

Konon gunung Lawu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan berhubungan erat dengan tradisi dan budaya Praja Mangkunegara. Setiap orang yang hendak pergi ke puncaknya harus memahami berbagai larangan tidak tertulis untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan. Bila pantangan itu dilanggar si pelaku diyakini bakal bernasib naas.Tempat-tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat yakni: Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat Kepanasan/Cakrasurya, dan Pringgodani.

Walaupun seorang pendaki yang sudah yakin dengan dirinya siap mental dan raga untuk mendaki gunung dengan santai atau juga dengan rekreasi jika tidak mematuhi segala perintah yang ada, maka pendaki tersebut bisa di bilang melanggar atau melawan alam, yang tadi sebelum naik ia sudah bersiap namun mengentengkan diri dan tidak membawa bekal yang baik untuk di jalan, pantas saja alam menegurnya.

Berbeda dengan orang yang mencari wangsit di atas, ia sudah mempunyai keyakinan bahwa hanya dengan sendal gunung, jaket, kupluk, dan kain yang di ikat di ujung kayu ia yakin dirinya akan sampai di atas dengan selamat, karena mitos yang terjadi adalah “siapa yang yakin dirinya akan sampai tujuan dan memiliki bekal yang cukup dan tidak mengentengkan, maka alam bertujuan untuk itu juga, dan siapa yang yakin namun mengentengkan alam, alam percaya orang itu dalam kesulitan”

Itu lah yang hendaknya terjadi kepada pendaki itu, ia menolak untuk mengisi perutnya, ia melahap mie instant yang baru saja di rebus oleh temannya sambil mendengarkan Mas Rangga berbicara, kami membuka selimut dan hendak untuk istirahat.

Para pendaki sudah selesai membuka tenda, bagi yang di dalam warung mbok Yem, sebagian dari mereka ada yang memainkan gadgetnya, ada yang sedang mendengar musik, banyak sisanya sudah tidur pulas hingga mendengkur, kami menutup bagian kepala hingga mata agar sedikit merasakan kegelapan untuk larut dalam tidur.

Sang Surya sudah menampakkan dirinya dari pukul 5.00 WIB, cukup cerah untuk menerangi tiap-tiap sudut pepohonan yang membuatnya berbayang, kabut sudah mulai menyebar menjadi awan, sudah 06.30 WIB, saatnya untuk kembali turun,  kami membeli 1 botol liter air mineral seharga Rp.10.000,- di warung mbok Yem  untuk bekal di jalan.

Muhammad Nauval

11140110294

B1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar