Tugas Matakuliah Penulisan Feature
(Heribertus Ratu 11140110300)
“Mengelola
media itu gampang-gampang susah di zaman sekarang. Jika berminat, prosesnya
mudah, dan anda pun bisa memulainya sekarang. Tetapi yang sulit adalah
bagaimana menjawab tuntutan pasar dan menghadapi persaingan antarmedia.” Kalimat
itu diungkap oleh Paul Darminto.
Nama Paul Darminto tidak banyak dikenal oleh para
pengguna media. Ia bukan seorang wartawan atau penulis buku. Ia bukan juga
tokoh yang menjadi sorotan berita media massa. Akan tetapi di kalangan
pengelola media, Paul Darminto bukanlah sosok yang asing. Paul, demikian
sapaannya, sudah lama berkecimpung di dunia media.
Setelah menyelesaikan studi manajemen di University of
Western Sydney pada 2001, Pria kelahiran Semarang dan bapak dari dua anak ini bergabung
dengan Grup Kompas Gramedia dengan menduduki posisi Licensing Manager di
Kelompok Majalah Kompas Gramedia.
Ia mengakui, Grup Kompas Gramedia memang
telah berkembang menjadi salah satu industri media raksasa di Indonesia.“Kompas Gramedia memiliki manajemen yang sudah mapan
dan didukung oleh sumber daya yang bagus,” ungkap Paul saat diwawancari penulis
di sela-sela kesibukan kantornya yang terletak di Ruko Virgin Islands NB002 De
Latinos BSD Tangerang pada Jumat (7/6).
Bekerja selama hampir sepuluh tahun di Kompas
menambahkan segudang pengalaman bagi Paul untuk memulai usaha sendiri pada
bidang yang sama. Oktober 2009, Paul memilih untuk keluar dari Grup Kompas
Gramedia. Ia lalu merintis usaha penerbitan sendiri dengan label International
Media Licensing (IML) Indonesia.
Untuk mendukung penerbitan itu, Paul mendirikan CV
Media Center dan percetakan M33 pada 2012. Pendirian percetakan ini didasari
oleh pertimbangan bisnis juga. Menurut Paul, memiliki percetakan sendiri lebih
menguntungkan daripada menyewa percetakan lain untuk penerbitan majalah.
Produk-Produk International Media
Licensing
Sejak didirikan pada 2009, International Media
Licensing (ILM) menangani penerbitan beberapa majalah cetak. Majalah-majalah
yang sedang beredar adalah J-POP Culture, AIRLINER World Indonesia, KOREA DRAMA, dan SUPERKIDS. Selain majalah, ILM
menerbitkan Military Series Books.
Dari namanya, kelihatan jelas bahwa majalah-majalah bulanan
tersebut membahas tema-tema khusus dan menargetkan konsumen-konsumen tertentu. Kesan
yang sama terlintas dalam pikiran penulis saat melihat dan membuka
halaman-halamannya. Mereka yang tidak berminat pada tema yang disajikan mungkin
akan beralih melihat majalah lain. Sebaliknya mereka berminat pasti langsung
terpikat.
Majalah memang mempunyai tradisi penampilan yang
berbeda dari surat Kabar. Kalau suratkabar memuat berita-berita apa saja, majalah dituntut lebih fokus untuk menjangkau
khalayak atau target audiens tertentu. “Majalah tampil dengan strategi
segmentasi, mengupayakan kemasan yang eye
cathing, permainan warna, desain, dan kualitas kertas sebagai selling point,” kata Iwan Awaluddin
Yusuf pada blog pribadinya (http://bincangmedia.wordpress.com). Iwan Awaluddin
adalah seorang Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di
Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan
Regulator Media (PR2MEDIA) Yogyakarta.
ILM menawarkan produk-produk mereka ke publik tidak
hanya karena mengikuti tradisi konvensional penerbitan majalah. Paul
menambahkan satu pertimbangan. Menurut Paul, pola konsumsi media masyarakat
sekarang sudah berubah. Masyarakat tidak hanya aktif mengonsumsi media. Mereka
juga bisa memilih media yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka.
“Kami mengikuti trend yang berkembang. Beberapa tahun
terakhir, kalangan remaja dan juga orang-orang dewasa menggandrungi budaya-budaya
populer Korea dan Jepang. Kami pun menerbitkan majalah yang sesuai. Kami pernah menerbitkan majalah Korean Enternainment. Akan tetapi karena
animo masyarakat terhadap topik-topik majalah itu kurang tinggi, kami
menghentikan penerbitannya,” jelas Paul dengan mengambil contoh dari fenomena
yang melatari penerbitan J-POP Culture, dan Korea Drama.
Dengan latarbelakang itu, ILM meluncurkan
produk-produk mereka ke pasar. J-POP
Culture menyajikan informasi dan topik pembahasan tentang pop culture,
entertainment dan lifestyle yang berasal dari Jepang. Majalah ini membahas
secara tuntas, mulai dari anime, tokusatsu, musik, film, dan berbagai hiburan
lainnya.
Korea Drama mengemas informasi seputar drama-drama
Korea yang sedang populer. Majalah yang sudah terbit beberapa edisi ini secara
membahas sinopsis dan behind the scene
dari drama-drama Korea. Tidak ketinggalan gosip-gosip hot tentang aktor dan
aktris Korea, lengkap dengan poster-pospter mereka disertakan dalam majalah.
AIRLINER World Indonesia merupakan versi Indonesia
dari majalah AIRLNINER World yang diterbitkan oleh Key Pubishing LTD di
Inggris. Isinya aneka informasi mengenai dunia penerbangan, baik lokal maupun
internasional. Selain itu, ada juga profil selebriti, hotel, tempat wisata, dan
lain-lain.
Versi Indonesia majalah ini mempunyai sejarah yang
cukup menarik. Awalnya diterbitkan oleh Ganesha pada tahun 2010. Namun Ganesha
hanya mengorbitkannya selama satu tahun. Airliner World Indonesia lalu diterbitkan
lagi oleh Kartini Group. Akhirnya, sejak awal 2013, ILM mengakuisisi majalah ini
dari kartini. Di bawah ILM, Airliner
World Indonesia edisi lima sudah terbit pada Mei lalu dengan Konten yang
bervariasi yaitu 80% konten internasional 20 % konten lokal.
ILM menerbitkan majalah SUPERKIDS secara khusus untuk
anak-anak. Rubrik-rubrik di dalamnya lebih edukatif. Cerita-cerita dan
informasi disesuaikan dengan selara anak-anak. Hampir setiap halaman dihiasi
dengan foto-foto dan gambar yang menarik.
Pilihan pada media Cetak
Sejalan dengan perkembangan internet, dewasa ini
sedang berkembang apa yang disebut media digital. Format digital, seperti PDF,
memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan majalah cetak. Dengan format
digital, industri media tidak lagi membutuhkan biaya percetakan yang mahal. Pengguna
media tidak perlu menunggu berjam-jam, bahkan berhari-hari, untuk mendapatkan
majalah atau surat kabar langganan mereka karena distribusi yang membutuhkan
waktu lama. Sekali diterbitkan, konsumen dapat menikmati informasi yang
dibutuhkan dalam sekecap mata. Pengguna juga tidak perlu repot-repot membuka
lembaran – lembaran majalah dan koran yang umumnya lebar dan berat.
Kelebihan-kelebihan media digital itu telah membawa
kegelisahan pada sejumlah media konvensional. Sejumlah industri media dewasa
ini mulai menerbitkan tulisan-tulisan dalam format digital di samping versi
cetak yang biasa. Bahkan beberapa industri media raksasa dunia telah
meninggalkan penerbitan majalah cetak dan beralih sepenuhnya ke versi digital.
Contohnya adalah News Week, yang
setelah bertahun-tahun diedarkan ke berbagai penjuru dunia, penerbitan versi
cetaknya dihentikan pada 2012 silam.
Tidak demikian halnya dengan ILM. Sejauh ini ILM masih
tetap bertahan pada penerbitan majalah dalam bentuk cetak. Menurut Paul, pilihan
untuk tetap pada penerbitan media cetak memiliki sejumlah alasan. Alasan
pertama adalah konsumen media di Indonesia belum banyak yang berminat dengan
media digital. Hasil pantauannya menunjukkan fenomena ini.
“Dulunya kita gelisah juga dengan perkembangan media
digital, tetapi saya mengamati di lapangan, masyarakat kita masih lebih suka
membeli majalah dan koran cetak di lapak-lapak atau toko majalah. Mungkin
negara kita masuk area pengecualian dari perkembangan media digital,” ungkapnya.
Alasan kedua, menurut Paul, media digital sangat
rentan akan pembajakan.
“Masyarakat Indonesia itu sangat kreatif dalam bidang
komputer, termasuk dalam mengopy ataupun menjual produk-produk digital secara
ilegal. Kami memilih jalan paling aman dengan tetap memproduksi majalah cetakan,”
kata Paul.
Pemikiran Paul tidak salah. Negara Indonesia memang
masih dihantui oleh maraknya aksi pembajakan. Tidak heran jika Amerika - sebagaimana diberitakan Vivanews.com pada
Selasa, 1 Mei 2012 - turut prihatin dan menggolongkan Indonesia dalam daftar
negara sangat bermasalah dalam pelanggaran hak cipta atau kekayaan intelektual.
Pilihan untuk setia pada penerbitan majalah cetak tidak
berarti ILM sama sekali mengabaikan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh perkembangan
teknologi komunikasi digital. Internet memudahkan komunikasi di antara redaksi
dan sumber-sumber tulisan. Paul menceritakan kontent pada majalah mereka
bersumber dari majalah versi internasional. Untuk itu mereka bekerjasama dengan
penerjemah di luar perusahan mereka. Selain itu, sumber-sumber tulisan lainnya
adalah para penulis dan fotografer lepas. Fasilitas internet digunakan untuk
memperlancar komunikasi dengan sumber-sumber tersebut.
Halaman website (www.licensing-media.com) dan media
jejaring sosial (facebook dan twitter) memberikan dukungan yang cukup
signifikan bagi kelancaran bisnis media ini. Penulis sendiri menemukan sejumlah
aktivitas menarik saat memasuki akun-akun tersebut. Fasilitas internet tidak
hanya menjadi tempat promosi tetapi juga saluran komunikasi dengan para agen
dan pelanggan setia. Media komunikasi digital itu mempertemukan sejumlah orang
dengan minat sama dan memfasilitasi diskusi yang seru terkait topik pemberitaan
majalah terbitan ILM. Selain itu, sejumlah permintaan (request), anjuran, dan kritikan untuk redaksi juga terlihat pada
komentar-komentar di jejaring sosial.
Salah satu manfaat yang paling besar pengaruhnya bagi
industri media adalah pengurangan jumlah karyawan. Dulu, industri media
membutuhkan banyak karyawan, mulai dari para wartawan, redaksi, layout,
keuangan, sampai distribusi dan pemasaran. Dengan adanya internet, proses
penerbitan setiap edisi majalah hanya membutuhkan beberapa karyawan. Dan ini
mengurangi sebagian besar biaya produksi.
“Kami banyak memakai tenaga lepas untuk mendapatkan
tulisan berita, artikel, dan foto-foto. Koordinasinya berjalan lancar dengan
melalui komunikasi internet. Untuk penerbitan satu majalah, kami hanya
membutuhkan beberapa karyawan tetap; seorang editor, penata letak, dan bagian
sirkulasi” jelas Paul.
Menghadapi Persaingan di antara
industri media
Hal yang paling menarik dari cerita Paul Darminto
tentang kiprahnya di industri media adalah bagaimana menyiasati persaingan
antarmedia. Dia katakan, “Mengelola
media itu gampang-gampang susah di zaman sekarang. Jika berminat, prosesnya
mudah, dan anda pun bisa memulainya sekarang. Tetapi yang sulit adalah
bagaimana menjawab tuntutan pasar dan mengahadapi persaingan antarmedia.”
Sebagai sebuah penerbit yang baru dan kecil, PT
International Licensing Media menghadapi tantangan persaingan ketat di antara
industri media. Paul mengakui bahwa beberapa industri media di Indonesia,
seperti Kompas Gramedia dan Media Indonesia, terbilang raksasa.
Perusahan-perusahan media itu memiliki sumber daya yang kuat. Mereka juga telah
menguasai sebagian besar konsumen media.
Sementara itu, pada era reformasi, sejak kejatuhan
Soeharto, perusahan-perusahan media baru terus bermunculan. Hal ini terjadi
karena proses pendirian sebuah penerbit tidak lagi serumit pada era Soeharto.
Demikian pula pengawasan terhadap kontent, para awak media mengalami kebebasan
untuk berkarya tanpa harus takut dibredel karena dianggap mengkritik
pemerintah.
Persaingan menjadi semakin ketat ketika sejumlah media
menawarkan tema yang sama. Bayangkan saja kalau seseorang berdagang di pasar,
menjual produk-produk yang sama dengan pedagang-pedangan di sebelah kiri dan
kanannya. Seperti tulah yang terjadi saat majalah-majalah terbitan ILM ada di
antara majalah-majalah lain yang berisikan tema yang sama. Majalah AIRLINER
World Indonesia, contohnya, bukanlah satu-satunya majalah tentang penerbangan.
Majalah Angkasa dari penerbit lain juga membahas hal yang sama. Demikian pula
SUPERKIDS. Majalah anak-anak ini berada di antara majalah Bobo yang usianya
jauh lebih tua.
Menghadapi persaingan antarmedia, Paul menceritakan
beberapa strateginya. “Kalau pun tema sama, kita harus tetap tampil beda,”
katanya. Bagi Paul, kreativitas sangat penting baik dalam pengolahan kontent
maupun strategi pemasaran.
Kreativitas dalam pengolahan kontent terlihat jelas
dalam fokus yang khas pada majalah-majalah ILM. AIRLINER World Indonesia
mengupas topik-topik seputar perkembangan terbaru dan gaya hidup dalam dunia
penerbangan sipil. Dengan itu ia tampil beda dengan majalah lain yang lebih
menyoroti penerbangan militer.
Untuk menjangkau para pembaca, ILM menerapkan berbagai
strategi penjualan. Sebagian produk mereka dititipkan di toko-toko buku,
seperti Gramedia, dan lapak-lapak penjualan koran dan majalah. Bagian pemasaran
ILM juga melayani pengiriman langsung bagi mereka yang berlangganan.
Belakangan, ILM bekerja sama dengan Indomaret untuk distribusi dan penjualan
majalah, sebuah langkah baru yang belum banyak dilakukan perusahaan media
lainnya.
Akhir kata, Paul Darminto boleh dikatakan sebagai
seorang pengelola media yang ulung. Sepak terjangnya dalam industri media
menyingkapkan apa yang terjadi di balik halaman-halaman majalah yang dibaca.
Liku-liku perjalanannya menghadapi persaingan industri media kiranya memberikan
gambaran bagi setiap pembaca tentang arti sebuah perjuangan untuk meraih
kesuksesan.