Rabu, 19 Juni 2013

Mengenal Paul Darminto dan Kiprahnya dalam Industri Media


Tugas Matakuliah Penulisan Feature 
(Heribertus Ratu 11140110300)

 “Mengelola media itu gampang-gampang susah di zaman sekarang. Jika berminat, prosesnya mudah, dan anda pun bisa memulainya sekarang. Tetapi yang sulit adalah bagaimana menjawab tuntutan pasar dan menghadapi persaingan antarmedia.” Kalimat itu diungkap oleh Paul Darminto.

Nama Paul Darminto tidak banyak dikenal oleh para pengguna media. Ia bukan seorang wartawan atau penulis buku. Ia bukan juga tokoh yang menjadi sorotan berita media massa. Akan tetapi di kalangan pengelola media, Paul Darminto bukanlah sosok yang asing. Paul, demikian sapaannya, sudah lama berkecimpung di dunia media.

Setelah menyelesaikan studi manajemen di University of Western Sydney pada 2001, Pria kelahiran Semarang dan bapak dari dua anak ini bergabung dengan Grup Kompas Gramedia dengan menduduki posisi Licensing Manager di Kelompok Majalah Kompas Gramedia. 
Ia mengakui, Grup Kompas Gramedia memang telah berkembang menjadi salah satu industri media raksasa di Indonesia.“Kompas Gramedia memiliki manajemen yang sudah mapan dan didukung oleh sumber daya yang bagus,” ungkap Paul saat diwawancari penulis di sela-sela kesibukan kantornya yang terletak di Ruko Virgin Islands NB002 De Latinos BSD Tangerang pada Jumat (7/6).

Bekerja selama hampir sepuluh tahun di Kompas menambahkan segudang pengalaman bagi Paul untuk memulai usaha sendiri pada bidang yang sama. Oktober 2009, Paul memilih untuk keluar dari Grup Kompas Gramedia. Ia lalu merintis usaha penerbitan sendiri dengan label International Media Licensing (IML) Indonesia.

Untuk mendukung penerbitan itu, Paul mendirikan CV Media Center dan percetakan M33 pada 2012. Pendirian percetakan ini didasari oleh pertimbangan bisnis juga. Menurut Paul, memiliki percetakan sendiri lebih menguntungkan daripada menyewa percetakan lain untuk penerbitan majalah.



Produk-Produk International Media Licensing

Sejak didirikan pada 2009, International Media Licensing (ILM) menangani penerbitan beberapa majalah cetak. Majalah-majalah yang sedang beredar adalah J-POP Culture, AIRLINER World Indonesia,  KOREA DRAMA, dan SUPERKIDS. Selain majalah, ILM menerbitkan Military Series Books.

Dari namanya, kelihatan jelas bahwa majalah-majalah bulanan tersebut membahas tema-tema khusus dan menargetkan konsumen-konsumen tertentu. Kesan yang sama terlintas dalam pikiran penulis saat melihat dan membuka halaman-halamannya. Mereka yang tidak berminat pada tema yang disajikan mungkin akan beralih melihat majalah lain. Sebaliknya mereka berminat pasti langsung terpikat.

Majalah memang mempunyai tradisi penampilan yang berbeda dari surat Kabar. Kalau suratkabar memuat berita-berita apa saja,  majalah dituntut lebih fokus untuk menjangkau khalayak atau target audiens tertentu. “Majalah tampil dengan strategi segmentasi, mengupayakan kemasan yang eye cathing, permainan warna, desain, dan kualitas kertas sebagai selling point,” kata Iwan Awaluddin Yusuf pada blog pribadinya (http://bincangmedia.wordpress.com). Iwan Awaluddin adalah seorang Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA) Yogyakarta.

ILM menawarkan produk-produk mereka ke publik tidak hanya karena mengikuti tradisi konvensional penerbitan majalah. Paul menambahkan satu pertimbangan. Menurut Paul, pola konsumsi media masyarakat sekarang sudah berubah. Masyarakat tidak hanya aktif mengonsumsi media. Mereka juga bisa memilih media yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka.

“Kami mengikuti trend yang berkembang. Beberapa tahun terakhir, kalangan remaja dan juga orang-orang dewasa menggandrungi budaya-budaya populer Korea dan Jepang. Kami pun menerbitkan majalah yang sesuai. Kami pernah menerbitkan majalah Korean Enternainment. Akan tetapi karena animo masyarakat terhadap topik-topik majalah itu kurang tinggi, kami menghentikan penerbitannya,” jelas Paul dengan mengambil contoh dari fenomena yang melatari penerbitan J-POP Culture, dan Korea Drama.

Dengan latarbelakang itu, ILM meluncurkan produk-produk mereka ke pasar. J-POP Culture menyajikan informasi dan topik pembahasan tentang pop culture, entertainment dan lifestyle yang berasal dari Jepang. Majalah ini membahas secara tuntas, mulai dari anime, tokusatsu, musik, film, dan berbagai hiburan lainnya.

Korea Drama mengemas informasi seputar drama-drama Korea yang sedang populer. Majalah yang sudah terbit beberapa edisi ini secara membahas sinopsis dan behind the scene dari drama-drama Korea. Tidak ketinggalan gosip-gosip hot tentang aktor dan aktris Korea, lengkap dengan poster-pospter mereka disertakan dalam majalah.

AIRLINER World Indonesia merupakan versi Indonesia dari majalah AIRLNINER World yang diterbitkan oleh Key Pubishing LTD di Inggris. Isinya aneka informasi mengenai dunia penerbangan, baik lokal maupun internasional. Selain itu, ada juga profil selebriti, hotel, tempat wisata, dan lain-lain.

Versi Indonesia majalah ini mempunyai sejarah yang cukup menarik. Awalnya diterbitkan oleh Ganesha pada tahun 2010. Namun Ganesha hanya mengorbitkannya selama satu tahun. Airliner World Indonesia lalu diterbitkan lagi oleh Kartini Group. Akhirnya, sejak awal 2013, ILM mengakuisisi majalah ini dari kartini.  Di bawah ILM, Airliner World Indonesia edisi lima sudah terbit pada Mei lalu dengan Konten yang bervariasi yaitu 80% konten internasional 20 % konten lokal.

ILM menerbitkan majalah SUPERKIDS secara khusus untuk anak-anak. Rubrik-rubrik di dalamnya lebih edukatif. Cerita-cerita dan informasi disesuaikan dengan selara anak-anak. Hampir setiap halaman dihiasi dengan foto-foto dan gambar yang menarik.



Pilihan pada media Cetak

Sejalan dengan perkembangan internet, dewasa ini sedang berkembang apa yang disebut media digital. Format digital, seperti PDF, memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan majalah cetak. Dengan format digital, industri media tidak lagi membutuhkan biaya percetakan yang mahal. Pengguna media tidak perlu menunggu berjam-jam, bahkan berhari-hari, untuk mendapatkan majalah atau surat kabar langganan mereka karena distribusi yang membutuhkan waktu lama. Sekali diterbitkan, konsumen dapat menikmati informasi yang dibutuhkan dalam sekecap mata. Pengguna juga tidak perlu repot-repot membuka lembaran – lembaran majalah dan koran yang umumnya lebar dan berat.

Kelebihan-kelebihan media digital itu telah membawa kegelisahan pada sejumlah media konvensional. Sejumlah industri media dewasa ini mulai menerbitkan tulisan-tulisan dalam format digital di samping versi cetak yang biasa. Bahkan beberapa industri media raksasa dunia telah meninggalkan penerbitan majalah cetak dan beralih sepenuhnya ke versi digital. Contohnya adalah News Week, yang setelah bertahun-tahun diedarkan ke berbagai penjuru dunia, penerbitan versi cetaknya dihentikan pada 2012 silam.

Tidak demikian halnya dengan ILM. Sejauh ini ILM masih tetap bertahan pada penerbitan majalah dalam bentuk cetak. Menurut Paul, pilihan untuk tetap pada penerbitan media cetak memiliki sejumlah alasan. Alasan pertama adalah konsumen media di Indonesia belum banyak yang berminat dengan media digital. Hasil pantauannya menunjukkan fenomena ini.

“Dulunya kita gelisah juga dengan perkembangan media digital, tetapi saya mengamati di lapangan, masyarakat kita masih lebih suka membeli majalah dan koran cetak di lapak-lapak atau toko majalah. Mungkin negara kita masuk area pengecualian dari perkembangan media digital,” ungkapnya.

Alasan kedua, menurut Paul, media digital sangat rentan akan pembajakan.

“Masyarakat Indonesia itu sangat kreatif dalam bidang komputer, termasuk dalam mengopy ataupun menjual produk-produk digital secara ilegal. Kami memilih jalan paling aman dengan tetap memproduksi majalah cetakan,” kata Paul.

Pemikiran Paul tidak salah. Negara Indonesia memang masih dihantui oleh maraknya aksi pembajakan. Tidak heran jika Amerika -  sebagaimana diberitakan Vivanews.com pada Selasa, 1 Mei 2012 - turut prihatin dan menggolongkan Indonesia dalam daftar negara sangat bermasalah dalam pelanggaran hak cipta atau kekayaan intelektual.

Pilihan untuk setia pada penerbitan majalah cetak tidak berarti ILM sama sekali mengabaikan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh perkembangan teknologi komunikasi digital. Internet memudahkan komunikasi di antara redaksi dan sumber-sumber tulisan. Paul menceritakan kontent pada majalah mereka bersumber dari majalah versi internasional. Untuk itu mereka bekerjasama dengan penerjemah di luar perusahan mereka. Selain itu, sumber-sumber tulisan lainnya adalah para penulis dan fotografer lepas. Fasilitas internet digunakan untuk memperlancar komunikasi dengan sumber-sumber tersebut.

Halaman website (www.licensing-media.com) dan media jejaring sosial (facebook dan twitter) memberikan dukungan yang cukup signifikan bagi kelancaran bisnis media ini. Penulis sendiri menemukan sejumlah aktivitas menarik saat memasuki akun-akun tersebut. Fasilitas internet tidak hanya menjadi tempat promosi tetapi juga saluran komunikasi dengan para agen dan pelanggan setia. Media komunikasi digital itu mempertemukan sejumlah orang dengan minat sama dan memfasilitasi diskusi yang seru terkait topik pemberitaan majalah terbitan ILM. Selain itu, sejumlah permintaan (request), anjuran, dan kritikan untuk redaksi juga terlihat pada komentar-komentar di jejaring sosial.

Salah satu manfaat yang paling besar pengaruhnya bagi industri media adalah pengurangan jumlah karyawan. Dulu, industri media membutuhkan banyak karyawan, mulai dari para wartawan, redaksi, layout, keuangan, sampai distribusi dan pemasaran. Dengan adanya internet, proses penerbitan setiap edisi majalah hanya membutuhkan beberapa karyawan. Dan ini mengurangi sebagian besar biaya produksi.

“Kami banyak memakai tenaga lepas untuk mendapatkan tulisan berita, artikel, dan foto-foto. Koordinasinya berjalan lancar dengan melalui komunikasi internet. Untuk penerbitan satu majalah, kami hanya membutuhkan beberapa karyawan tetap; seorang editor, penata letak, dan bagian sirkulasi” jelas Paul.



Menghadapi Persaingan di antara industri media

Hal yang paling menarik dari cerita Paul Darminto tentang kiprahnya di industri media adalah bagaimana menyiasati persaingan antarmedia.  Dia katakan, “Mengelola media itu gampang-gampang susah di zaman sekarang. Jika berminat, prosesnya mudah, dan anda pun bisa memulainya sekarang. Tetapi yang sulit adalah bagaimana menjawab tuntutan pasar dan mengahadapi persaingan antarmedia.”

Sebagai sebuah penerbit yang baru dan kecil, PT International Licensing Media menghadapi tantangan persaingan ketat di antara industri media. Paul mengakui bahwa beberapa industri media di Indonesia, seperti Kompas Gramedia dan Media Indonesia, terbilang raksasa. Perusahan-perusahan media itu memiliki sumber daya yang kuat. Mereka juga telah menguasai sebagian besar konsumen media.

Sementara itu, pada era reformasi, sejak kejatuhan Soeharto, perusahan-perusahan media baru terus bermunculan. Hal ini terjadi karena proses pendirian sebuah penerbit tidak lagi serumit pada era Soeharto. Demikian pula pengawasan terhadap kontent, para awak media mengalami kebebasan untuk berkarya tanpa harus takut dibredel karena dianggap mengkritik pemerintah.

Persaingan menjadi semakin ketat ketika sejumlah media menawarkan tema yang sama. Bayangkan saja kalau seseorang berdagang di pasar, menjual produk-produk yang sama dengan pedagang-pedangan di sebelah kiri dan kanannya. Seperti tulah yang terjadi saat majalah-majalah terbitan ILM ada di antara majalah-majalah lain yang berisikan tema yang sama. Majalah AIRLINER World Indonesia, contohnya, bukanlah satu-satunya majalah tentang penerbangan. Majalah Angkasa dari penerbit lain juga membahas hal yang sama. Demikian pula SUPERKIDS. Majalah anak-anak ini berada di antara majalah Bobo yang usianya jauh lebih tua.

Menghadapi persaingan antarmedia, Paul menceritakan beberapa strateginya. “Kalau pun tema sama, kita harus tetap tampil beda,” katanya. Bagi Paul, kreativitas sangat penting baik dalam pengolahan kontent maupun strategi pemasaran.

Kreativitas dalam pengolahan kontent terlihat jelas dalam fokus yang khas pada majalah-majalah ILM. AIRLINER World Indonesia mengupas topik-topik seputar perkembangan terbaru dan gaya hidup dalam dunia penerbangan sipil. Dengan itu ia tampil beda dengan majalah lain yang lebih menyoroti penerbangan militer.

Untuk menjangkau para pembaca, ILM menerapkan berbagai strategi penjualan. Sebagian produk mereka dititipkan di toko-toko buku, seperti Gramedia, dan lapak-lapak penjualan koran dan majalah. Bagian pemasaran ILM juga melayani pengiriman langsung bagi mereka yang berlangganan. Belakangan, ILM bekerja sama dengan Indomaret untuk distribusi dan penjualan majalah, sebuah langkah baru yang belum banyak dilakukan perusahaan media lainnya.

Akhir kata, Paul Darminto boleh dikatakan sebagai seorang pengelola media yang ulung. Sepak terjangnya dalam industri media menyingkapkan apa yang terjadi di balik halaman-halaman majalah yang dibaca. Liku-liku perjalanannya menghadapi persaingan industri media kiranya memberikan gambaran bagi setiap pembaca tentang arti sebuah perjuangan untuk meraih kesuksesan.